15. Retak

588 55 3
                                    

14 hari berlalu tanpa hasil. Keeratan hubungan Shiratorizawa ikut memburuk seiring berjalannya waktu. Yang biasanya berisik, kini menjadi lebih diam dan enggan berinteraksi. Kuroo, Akaashi, dan Bokuto jarang berada di mansion lantaran sudah jengah dengan keributan. Yang lain pun juga begitu. Terlebih Ushijima.

Lelaki itu, kini mulai hilang arah. Tak absen tiap harinya, Ushijima akan membawa perempuan yang berbeda ke mansion. Entah berakhir buruk atau tidak, setidaknya kerinduannya terhadap (Name) tersalurkan melalui emosi. Tak sedikit perempuan yang berakhir tak sadarkan diri setelah beberapa jam sibuk serukan desahan. Lagipula setelahnya bukan Ushijima yang membereskan, melainkan Mika yang akan mengomel atau bahkan menampar serta mencekik Ushijima agar lelaki itu sadar.

Lantas Alisa?

Setelah kepulangannya dari Russia, perempuan itu bahkan tak pernah lelah menangisi hilangnya (Name). Alisa menjadi sering melamun, lalu tanpa sadar menangisinya lagi, dan lagi. Tanpa dijelaskan pun semuanya tau, (Name) adalah sosok berharga bagi Alisa dan Shiratorizawa. Tak heran, hilangnya sosok (Name) dari mansion tersebut benar-benar mengakibatkan hal yang fatal. Memicu keretakan hubungan mereka yang dulu tak terpisahkan. Perlahan-lahan Shiratorizawa mulai pecah. Jika (Name) belum juga didapatkan kembali, mau jadi apa Shiratorizawa nantinya?

Jika ditanya siapa yang paling depresi di Shiratorizawa, mungkin jawabannya sudah jelas bukan? Namun tanpa orang tau, seseorang yang paling hancur di bangunan mewah nan megah itu adalah Semi Eita. Tingkat kedepresian Semi mungkin tak jauh berbeda dengan Ushijima. Hanya saja bedanya, Ushijima menunjukkan itu semua secara terang-terangan. Lain halnya dengan Semi yang justru menyembunyikan rasa sakitnya dengan pintar. Mungkin kini ia enggan bertegur sapa kembali dengan penghuni mansion tersebut. Itu karena, Semi lebih memilih untuk merasakan sakitnya sendiri, menghukum dirinya sendiri, dan memaki dirinya sendiri yang tidak becus menjaga partnernya.

Tentu saja ia akan seperti itu. (Name) adalah satu-satunya partner yang bisa Semi andalkan. (Name) telah mengajarinya banyak hal meski Semi lah yang lebih lama di Shiratorizawa. Tidak kaget ketika (Name) disandera, Semi lah yang benar-benar marah saat itu.

Namun pada akhirnya Semi tidak dapat melakukan apapun. Dan lagi ia tak lagi menaruh kepedulian terhadap rekan-rekan satu timnya yang mungkin akan berimbas pada Shiratorizawa jika mereka masih terus-menerus bertengkar. Semi lebih memilih menjauh dari suasana mansion yang tak lagi hangat. Mengendarai mobil yang ia beli dengan pilihan (Name), mengelilingi kota dengan tanpa arah, dan selalu berhenti di tempat (Name) melaksanakan misinya untuk yang terakhir kali.

Tiap kali Semi berada di gedung tempat titik terakhir (Name), lelaki itu akan pandangi bangunan yang menjulang tinggi itu dengan kosong. Selalu menyalahkan dirinya sendiri dan berkata, "Harusnya aku kan, bukan (Name)." Dan itu akan berakhir menjadi tangisan yang sakitnya hanya Semi Eita sendiri yang tau rasanya.

◖⚆ᴥ⚆◗

Rintik salju sudah turun semenjak 1 minggu yang lalu. Selama sepekan itu juga, (Name) banyak habiskan waktu dengan pandangi kristal putih yang dingin itu melalui jendela kamar yang beberapa hari terakhir ini ia tempati.

"Apa yang membuatmu melamun?" tegur seseorang yang sontak alihkan atensi (Name).

Suna menarik kursi dan duduk di hadapan (Name). Dan bersamaan dengan itu, (Name) mengambil 1 batang dari sebungkus rokok yang Suna bawa.

Dengan senang hati Suna menyulut rokok yang berada diantara belah bibir (Name) menggunakan pemantik. Tatap (Name) yang hisap batangan nikotin itu lamat-lamat, lantas hembuskan asapnya hingga tanpa sengaja menerpa permukaan wajah Suna.

"I feel so depressed," adu (Name) dengan senyum kecut. Wajahnya kembali berpaling guna pandangi hamparan hijau yang tertutup putih di bawah sana.

"Kau tidak suka ada di sini?"

Beberapa detik (Name) hanya bungkam. Namun di detik berikutnya perempuan tersebut menoleh sekilas pada Suna lalu berbisik, "I don't know,"

"Aneh. Aku pernah tinggal di dua rumah yang berbeda, dan diantara kalian maupun Shiratorizawa, aku sama sekali tidak pernah merasa terancam. Jujur ini membuatku takut sekaligus bingung. Aku tidak bisa membedakan, siapa yang 'rumah' diantara kalian."

Suna hela nafasnya, mengambil alih rokok milik (Name) yang masih menyala lantas menghisapnya sekali sebelum Suna padamkan. Tak ada protesan, dan lelaki itu hanya pandangi kosongnya sorot mata (Name).

Suna dapati dengan jelas raut frustasi pujaan hatinya. Diamnya hanya terpikir satu hal. Apakah, ini semua kesalahannya? Alasan Suna membawa (Name) bukan semata-mata karena Shiratorizawa. Melainkan Suna hanya ingin miliknya kembali. Perempuan di hadapannya ini, adalah miliknya seorang. Bukan Shiratorizawa, terlebih Ushijima. Tentu saja Suna akan lakukan apapun agar (Name) kembali padanya.

Maka di detik itu juga Suna bangkit dan mendekati (Name). Lutut kanannya Suna posisikan berada di antara belah kaki perempuan tersebut. Seraya mengikis jarak diantara mereka, Suna menyelusupkan tangannya ke leher (Name) dan menyatukan kedua belah bibir beraroma tembakau itu ke dalam sebuah ciuman yang intens.

5 detik pertama (Name) beri respon terkejut. Alih-alih menjauh, (Name) justru sandarkan tubuhnya di detik-detik berikutnya. Lantas buka mulutnya untuk beri akses agar Suna dapat mengeksplorasi sesuka hati. Rasanya basah dan memusingkan. Namun hal tersebut terlawan oleh decak erotis yang mendebarkan. Bibir (Name) dikecap, dikulum, dan dihisap tanpa celah. Suna bahkan mampu rasakan tangan (Name) yang bergetar di sekitar bisepnya.

Setelah ciuman itu berakhir, (Name) hanya gigit pipi dalamnya gugup. Sedangkan Suna, ia sembunyikan wajahnya yang sudah pasti merona ke bahu (Name).

Tak ada sepatah kata terucap dari keduanya dalam waktu yang lama. Satu-satunya suara yang terdengar mendominasi di ruangan tersebut hanya deru nafas mereka yang bersahutan. Namun jika itu Suna dan (Name), mereka hanya bisa mendengar detak jantung satu sama lain. Yang berdebar lebih kencang dari normalnya, yang mana hal tersebut justru membuat keduanya makin salah tingkah.

"Fuck, I'm sorry. I miss you so bad, and I want you to know how big it is." Suna berbisik dengan sendu. Beberapa kali ia juga bubuhkan kecupan ringan pada bahu (Name).

"I love you more than anyone and anything. Aku kehilangan duniaku waktu kamu pergi, (Name). Kamu segalanya untuk aku. Aku tidak bisa, jika harus kehilangan kamu lagi jika kamu memutuskan untuk kembali ke Shiratorizawa,"

"I'm so confused. Suna Rintarou, aku ini pernah ikut berambisi menghabisi mu. Aku ini orang yang pernah ditugaskan untuk membunuhmu. Aku pikir memang Shiratorizawa lah rumahku," jeda, (Name) tarik nafasnya yang kian memberat.

"Aku mungkin bukanlah perempuan dari masa lalumu, Rintarou. Kamu seharusnya tidak mudah percaya dengan keberadaan ku. Dan kamu, bukan rumahku."

"Shut up (Name), you're mine. And I, I always to be your home, forever."

Pernyataan mutlak itu telak membungkam (Name). Seperti memang tak berguna saja (Name) lontarkan ancaman. Nyatanya, Suna justru eratkan dekapannya, seolah-olah tak memperbolehkan (Name) nya pergi darinya. Lantas (Name) bisa apa jika sudah begini. Berontak? Konyol. Dekapan sehangat dan senyaman ini, (Name) baru bisa rasakan lagi setelah 2 pekan kakinya tak lagi menginjak tanah di mana mansion Shiratorizawa berdiri. Bagaimana bisa ia sia-siakan begitu saja?

Maka (Name) balas dekapan itu sama eratnya. Hirup dalam-dalam lembutnya aroma kayu gaharu yang menguar di sekeliling Suna. Hangat. Nyaman sekali. Benar-benar membuat (Name) linglung. Sampai-sampai (Name) tak lagi hiraukan pikiran nya yang selalu menyangkal, bahwa Suna Rintarou adalah rumahnya.

◖⚆ᴥ⚆◗

Miracle in December Where stories live. Discover now