20. Rengkuh Rindu

484 44 8
                                    

Saat salju turun dengan lebat di luar sana, memang paling menggiurkan untuk menggelung diri di tumpukan selimut yang tebal. Harusnya sih begitu. Dalam pikiran (Name), selepas sarapan pasti mereka semua kembali menghabiskan waktu di kamar. Tetapi ternyata tidak. Kini, (Name) terjebak di theatre Room yang bisingnya di dominasi oleh suara film. Beberapa sofa kini terisi oleh mereka yang ikut andil. Pun dengan (Name) dan Suna. Mereka duduk di sofa paling belakang, paling ujung, di deretan dimana 4 orang lainnya juga duduk di sana.

"Mereka nggak ada niatan buat pindah ke kamar?" bisik Oikawa pada Iwaizumi di sampingnya.

Iwaizumi beri atensi sejenak pada Suna dan (Name). Meski pencahayaan di ruangan itu cukup remang, tetapi kegiatan keduanya masih nampak cukup jelas di penglihatan yang lain.

Iwaizumi menggelengkan kepalanya, kembali fokuskan pandangan pada film yang terputar. "Biarkan saja."

"Kau bilang begitu seolah tidak merasa terganggu,"

"Ya memang tidak."

"Ya terus ini nasibku gimana?!"

Iwaizumi mengangkat bahu, lalu menatap sebentar Oikawa yang tampak kesal. Lelaki itu menahan tawanya. "Nikmati saja. Lumayan tontonan gratis." katanya dan tak lagi hiraukan gerutuan Oikawa.

Sedangkan Oikawa, kini suntuk setengah mampus. Tangan kirinya menyangga kepala, mencoba untuk fokus pada film dan mengabaikan suara intim yang terdengar disampingnya. Sudah lebih dari 15 menit seperti itu. Dan jika ditanya Oikawa muak atau tidak, sepertinya tidak perlu diperjelas lagi jawabannya.

Semakin lama dibiarkan, semakin membuat telinga panas saja. Dengan gusar Oikawa usap wajahnya. Lelaki itu menghela nafas, tak tahan ingin mengumpat dan meneriaki Suna agar membawa (Name) pindah ke ruangan yang lebih privat. Daripada tidak leluasa membuat kebisingan kan?

Maka dengan tekad yang kuat, Oikawa mencoba memberanikan diri untuk menginterupsi. Masih cukup ragu sebenarnya. Tetapi demi kedamaian yang lainnya, maka mau tak mau Oikawa harus melakukannya.

Oikawa menggulirkan pandangannya, ke arah Suna dan (Name) yang masih terjebak dalam dunia mereka sendiri. Seketika tujuan awalnya menguap begitu saja, ketika melihat bagaimana perlakuan Suna pada (Name). Intens, dan penuh hati-hati. Dalam cumbuan itu tersirat rasa rindu yang luar biasa. Dengan susah payah Oikawa telan salivanya. Kini ia merasa tak tega menjadi pengganggu.

"Let's go to my room." samar Oikawa dapat mendengar apa yang Suna katakan. Kini Oikawa alihkan pandangannya, dan beberapa saat kemudian Suna dan (Name) pergi dari ruangan tersebut.

Suna itu adalah orang yang egois. Mungkin di depan yang lain sosok Suna adalah sosok yang diam dan minim ekspresi. Apapun yang ia katakan adalah mutlak. Perintah yang sekali diucap, harus segera terlaksana.

Tetapi jika Suna sudah bersama (Name), semuanya jauh berbeda. Dominan nya memang tidak menghilang, tetapi hanya melunak. Jika pada yang lain Suna tak akan basa-basi. Tetapi jika dengan (Name), semua harus atas izin perempuan itu. Termasuk apa yang kini Suna lakukan.

Berpisah dengan belahan jiwanya membuat Suna sempat hampir putus asa. Namun kini Suna sudah bisa mendekapnya kembali. Mencumbunya dengan hati-hati, seolah (Name) adalah benda yang gampang pecah.

Suna menduduki ranjang dengan (Name) di pangkuannya. Tak saling melepas cumbuan, keduanya justru kian memperdalam nya. Usapan lembut pada pinggang (Name) terasa amat menggetarkan. Suna mengambil jarak, amati sekali lagi keelokan sang puan yang begitu membuatnya berdebar.

Miracle in December Where stories live. Discover now