22. Reuni

288 43 10
                                    

Hanya satu kata yang dapat mendeskripsikan apa yang kini (Name) tengah rasakan. Rindu. Tubuh semampai dan perawakan yang begitu anggun, keberadaan Alisa di hadapannya sanggup membuat (Name) goyah. Ia tak tahan. Ingin rasanya mendekap tubuh itu, meraung limpahkan segala tangis karena rindu yang membumbung. Namun (Name) tahan itu semua, sebab Suna masih erat merangkulnya serta menatap figur Alisa dengan curiga.

"Datang sendiri?" lelaki itu bertanya.

"Tidak. Aku bersama Mika. But she's at another room."

(Name) spontan menatap Suna.

"You sure?"

Alisa mengangguk kaku. "I swear to God."

Suna lepas rangkulannya pada (Name) serta memberi jarak antara dirinya dengan perempuan tersebut.

"Cool. You can talk with her." ujar Suna seraya membelai rambut (Name).

"Thank you."

"Aku tidak akan mengganggu. Jadi aku akan duduk di sana saja." (Name) mengikuti arah tunjuk Suna pada sebuah sofa yang ada di sudut ruangan.

"Tidak makan malam?" Suna tarik sudut bibirnya. Lelaki itu sekali lagi usap rambut (Name), lalu kedua belah pipinya sebelum mengecup kening (Name).

"Take your time, Babe."

Suna berlalu begitu saja, meninggalkan (Name) dengan Alisa yang mematung dengan bibir yang sedikit menganga. Meski masih berada dalam satu ruangan, namun Suna berada di jarak beberapa meter dari posisi kedua perempuan tersebut. Jadi ketika mereka berdua memutuskan untuk berbicara dengan bisik-bisik, setidaknya Suna tidak mendengarnya.

"What the hell is that, (Name)? He is call you what? Babe?!"

"Shh, lets go." masih dengan raut terkejut, Alisa mengikuti (Name) yang mengajaknya untuk duduk di kursi. Suna pun abai akan apa yang kedua perempuan itu lakukan, beri privasi setidaknya tak mencampuri obrolan mereka.

Alisa mengawali dengan memeluk (Name) erat-erat. Kedua tangannya dengan tak sabaran mengusap punggung (Name), salurkan rasa rindu yang tak dapat dijelaskan dengan kata. Tak ayal keduanya menjadi begitu emosional. Derai air mata sibuk membanjiri kedua pipi yang merona itu. Terutama Alisa, yang tak henti meracau.

Setelah begitu lama, mereka lantas menenangkan diri untuk sejenak. Suna dapat mendengar tawa keduanya yang tak lagi canggung. Sebelumnya, kedua perempuan yang kini tengah berbincang sama-sama meluapkan perasaan yang begitu asing. Suna sadar akan hal itu. Namun sekarang, keduanya tampak berinteraksi seperti biasa. Layaknya keduanya masih tinggal bersama. Maka Suna labih baik sibukkan diri dengan ponselnya, memasang airpods seraya menunggu kedua perempuan yang berjarak cukup jauh darinya itu selesai dengan apa yang akan mereka lakukan.

"Jawab dulu, (Name). Hubunganmu dengannya, terlihat sangat baik. Bagaimana bisa?"

(Name) menggelengkan kepala, kemudian lirik ke arah Suna sebentar. "I don't know," suaranya melirih.

"Aku tidak mau berbohong tapi, dia memperlakukanku begitu baik. Aku bingung, Alisa. Aku hampir melupakan, kenyataan bahwa dirinya yang memisahkan aku dengan kalian."

Alisa menghela nafas. Ia paham akan posisi (Name). Meski ada perasaan ragu, namun begitu melihat kondisi (Name) yang tampak begitu baik membuat Alisa memberikan rasa sedikit percaya pada sosok Suna.

"Alisa, is he okay?" (Name) bertanya dengan raut sendu. Alisa paham siapa yang (Name) maksud.

"No, (Name). He's not okay." jawabnya. "Dia bukan lagi seperti Ushijima yang aku kenal. Jika kau melihat keadannya sekarang, mungkin saja kau akan berpikir bahwa itu bukan Ushijima mu. He is so mad. He is crazy as fuck."

Miracle in December Where stories live. Discover now