36. Ikatan

208 19 2
                                    

Meian tahu, ia bukanlah orang yang mampu segalanya. Ia tidak bisa menyetir segala keinginan orang, atau bahkan mengatur takdir. Sebagai seorang kakak tertua dari dua adiknya, Meian merasa dirinya masih merasa gagal. Dia tidak bisa menjaga adik-adiknya. Semua jalan adik-adiknya sangat melenceng jauh dari apa yang ia inginkan. Jujur Meian kecewa, dan juga ada sedikit rasa sesal dalam dirinya. Yang mana harusnya mereka bertiga bisa hidup bersama dengan damai, dan rukun, tapi yang ada hinggy saat ini hanyalah permusuhan tak berujung. Meian ingin ia berakhir. Ingin anak tengah yang terus-menerus membawa permusuhan itu diberi kesadaran.

Ia hela nafas dengan lelah. Ditatapnya lagi sebuah foto yang tercetak besar di ruangannya. Air matanya lagi-lagi menetes. Dadanya sesak sekali. Tak berselang lama, atensinya beralih pada sebuah peluru yang dialasi oleh kain di atas meja. Meian ingat, adik tengahnya pernah menembakkan peluru itu padanya. Tepat di sisi kiri dada yang hampir mengenai jantungnya. Berharap Meian mati saat itu juga, karena merasa dengan adanya Meian, semua rencana yang ia susun dengan matang seolah sia-sia. Tapi beruntungnya Meian selamat saat itu. Seolah-olah mendiang kedua orang tuanya turut melindunginya agar tetap hidup, agar Meian tetap berusaha untuk merengkuh kembali kedua adiknya ke dalam ikatan persaudaraan mereka. Namun hingga saat ini, masih belum ada hasil yang bisa Meian tunjukkan. Yang ada, semuanya semakin parah. Adik tengahnya makin tak tanggung-tanggung untuk melenyapkannya, hanya untuk cinta terlarang yang kian membuatnya menjadi orang lain.

"Aku pikir sudah saatnya kau diam. Untuk apa lagi panggil aku ke sini?"

Meian memutar kursinya untuk menatap keberadaan seseorang yang baru saja memasuki ruangannya. "Ayo bicarakan ini sekali lagi dengan kepala dingin. Aku benar-benar menaruh harapan padamu."

"Tidak ada yang perlu dibicarakn lagi. Keputusanku sudah bulat, dan jangan menentangnya."

"Kiyoomi," Meian menghela nafas. "(Name) adikmu. Aku tidak masalah jika ini perempun lain. Tapi, apa kau sadar yang kau lakukan itu tidak benar? Bagaimana aku harus menegaskan lagi kalau (Name) itu adikmu, Kiyoomi?"

Sakusa Kiyoomi, memilih tidak menjawab. Pandangannya menyorot kosong pada Meian yang benar-benar lelah dengan perilakunya.

"Kau mau bunuh aku, bunuh saja. Asal, lepaskan (Name). Biarkan (Name) hidup tentram dengan Rin,"

"NO!" Sakusa berseru tak suka. Dahinya mengernyit karena marah. Nafasnya berhembus dengan tergesa, seakan-akan Meian yang tengah menjalankan perannya sebagai seorang Kakak itu, adalah musuh yang membuatnya gila.

"Kau harusnya paham perasaanku, Shugo. I love her! Kau bilang kau ingin kita kembali seperti dulu. So, just give her to me!"

Meian hanya bisa menghela nafasnya kembali, karena ia tak ingin meledakkan emosinya. Dia sendiri yang bilang bahwa ia ingin berbicara dengan keadaan kepala dingin. Maka Meian sebisa mungkin menahan amarahnya. Menarik lantas menghembuskan nafasnya, seraya melihat Sakusa yang mondar-mandir meremas rambutnya frustrasi.

"Kalau kau tidak mau memberikan (Name) padaku, akan ku bunuh kau!"

"Just kill me, Kiyoomi. Percuma saja. Jika aku membiarkan kalian terjerat cinta terlarang itu, itu sama saja membunuhku dengan perlahan. Jadi lebih baik aku mati tapi (Name) tetap bersama Rintarou, daripada aku hidup tapi melihat kedua adikku saling menjalin hubungan yang kotor itu. Mama dan Papa, pasti akan kecewa padamu, Kiyoomi."

Meian berdiri. Ia berjalan menghampiri si anak tengah untuk menepuk bahunya dan meremasnya perlahan. Ditatapnya penuh harap netra jelaga yang tak sama seperti dulu itu.

Miracle in December Where stories live. Discover now