BAB 25 : Kesalahan di Masa Lalu

262 37 0
                                    

Tangan Rullin akhirnya terlepas dari pundak Rhaella, dia membeku dan kehilangan kata-kata di tenggorokannya. Dia pada akhirnya hanya mampu menatap Rhaella yang manik matanya terus bergerak ke sembarangan arah, mungkin juga bingung harus bersikap seperti apa.

Rullin tidak pernah menyangka bahwa wanita yang ada di hadapannya itu adalah orang yang membuat asap pengendali pikiran dan menjadi alasan atas kehancuran negaranya.

“Rhaella …,” bisik Rullin, bingung harus mengatakan apa.

Rhaella, “Kenapa? Apa yang ingin kamu katakan, Rullin?”

Rullin akhirnya mengeluarkan dengusan kasar, sejenak pria itu membelakangi Rhaella dan menendang kerikil yang ada di depan kakinya.

Rasanya baru kemarin mereka menyatakan cinta dan bersenang-senang di bawah hujan, tapi kini malah harus menghadapi kenyataan pahit yang menyayat hatinya.

Bagi Rullin, keruntuhan Alcander merupakan sebuah mimpi buruk yang tak mampu Rullin lupakan, sehingga segala hal yang berhubungan dengan runtuhnya Alcander akan terasa menyakitkan di hati Rhaella.

Setelah beberapa saat berdiri di bawah langit malam yang dipadu dengan angin dingin, akhirnya Rullin berbalik kembali dan menatap Rhaella dengan ekspresi kacau.

“Pertama-tama, sebaiknya kita pergi ke ruanganmu dulu dan berbicara di sana,” kata Rullin, masih memperdulikan kesehatan Rhaella yang baru saja pulih.

Rhaella tidak membantah, dia berjalan menuju Istana Barat dalam diam, begitu pun dengan Rullin.

Sesampainya mereka di dalam ruangan Rhaella, Rullin segera mendudukan Rhaella di tempat tidur, sementara dia duduk pada kursi di hadapan Rhaella.

“Rullin.” Rhaella menghela napas lelah, kepalanya merunduk karena tak sanggup menatap mata Rullin lama-lama. “Katakan hal yang ingin kamu sampaikan kepadaku. Kamu juga boleh melampiaskan amarahmu kepadaku jika ingin, aku pasti akan mener—”

Rhaella menghentikan ucapannya tatkala Rullin memotong ucapannya dengan kepala tertunduk juga. “Hentikan, jangan katakan apapun dulu, kamu membuatku semakin sakit kepala.”

Akhirnya Rhaella mengunci mulutnya rapat-rapat selagi Rullin berusaha menenangkan hatinya.

Setelah Rullin mampu mengangkat kepalanya untuk berhadapan dengan Rhaella, dia lekas mengajukan sebuah pertanyaan. “Jawab aku terlebih dahulu, Rhaella. Kenapa kamu membuat asap pengendali pikiran?”

Rhaella mencengkram selimut yang menutupi kakinya, tampak ragu untuk mengutarakan jawabannya sendiri.

“Seperti namanya, aku menciptakan asap itu untuk mengendalikan pikiran manusia.” Rhaella memejamkan mata, hatinya terasa begitu berat saat dia menjelaskan, “Satu tahun setelah kenaikanku sebagai Panglima Perang, aku berhasil menciptakan asap pengendali pikiran sebagai senjata utama.”

Pada masa itu, Rhaella Rhoxolany masih berada di dalam kobaran semangat anak muda. Dia kerap melakukan banyak hal demi terlihat membanggakan di mata ayahnya. Karena itulah, Rhaella melakukan berbagai macam percobaan untuk menciptakan sebuah senjata yang mampu menempatkan Milana pada strata tertinggi.

Setelah melakukan berbagai macam percobaan pada binatang iblis, akhirnya Rhaella menciptakan asap pengendali mimpi.

Dan korban pertama yang Rhaella gunakan untuk mencoba penemuan barunya adalah Negara Valeon. Sebuah negara kecil yang letaknya berdampingan dengan Negara Milana.

Rhaella melakukan itu karena Ayah Kaisarnya meminta Rhaella untuk memperluas wilayah Negara Milana. Oleh sebab itu, dia tidak segan-segan menggunakan asap pengendali mimpi ke para prajurit Negara Valeon.

Asap itu berfungsi dengan sangat baik, Rhaella mengendalikan para prajurit itu untuk menyerah tanpa pertumpahan darah dan Rhaella juga tidak menyentuh prajurit Negara Valeon.

Akan tetapi, sebuah tragedi yang tidak pernah bisa dilupakan oleh Rhaella terjadi.

Rhaella kehilangan kendali atas benda ciptaannya sendiri. Prajurit-prajurit yang diminta untuk menyerahkan Valeon secara baik-baik, malah secara mengejutkan bertindak liar seperti binatang iblis.

Kekacauan lantas terjadi di Negara Valeon. Para prajurit bersenjata membantai penduduk mereka sendiri, menciptakan lautan darah yang selalu menghantui mimpi Rhaella setiap malam.

Ketika Rhaella berhasil mengembalikan kesadaran para prajurit itu, mereka langsung menyayat leher mereka sendiri karena tak sanggup menahan rasa bersalah atas matinya penduduk yang seharusnya mereka jaga dengan sepenuh hati.

Dari tragedi itu, Negara Valeon berhasil menjadi bagian dari Negara Milana. Namun, Rhaella tidak merasa senang atas prestasinya itu, karena prestasi itu didapatkan dari hasil pertumpahan darah orang-orang yang tak berdosa.

Sampai seumur hidup, Rhaella harus memikul dosa dan rasa bersalah di hatinya. Dia bahkan tak dapat menghapusnya meski sudah berusaha melakukan seribu kebaikan sekalipun.

“Akibat kejadian itu, aku tidak pernah lagi menggunakan asap pengendali pikiran. Efeknya memang kuat, tetapi kekacauan yang ditimbulkan bisa sangat tak terkendali. Hanya aku dan Ayah yang mengetahui cara pembuatannya, jadi aku tidak perlu khawatir orang lain juga bisa membuatnya ulang.”

Hati Rhaella kian berat tatkala dia melanjutkan. “Namun, aku tidak menyangka bila Yeva akan naik takhta alih-alih diriku. Sebagai Kaisar, Yeva tentu mewarisi seluruh pengetahuan yang dimiliki oleh Kaisar terdahulu karena segala hal yang diketahui oleh Kaisar terdahulu tersimpan di dalam permata penyimpan memori.”

Rullin menyandarkan punggungnya ke kursi, merasa seluruh energinya terkuras habis hanya karena mendengar cerita dari Rhaella.

“Jadi, Yeva mampu meruntuhkan negaraku karena dia tahu cara membuat asap pengendali ingatan dari Kaisar terdahulu?” tanya Rullin, memastikan hal yang ia pahami.

“Ya, Rullin. Negaramu hancur karena penemuanku. Maafkan aku, Rullin,” sesal Rhaella tatkala hatinya sudah tak lagi dipenuhi emosi.

Rullin memijat keningnya yang terasa sakit killdan membutuhkan waktu cukup lama untuk membalas, “Tidak. Tidak. Seharusnya kamu tidak perlu meminta maaf.”

“Kenapa? Bukankah aku yang bertanggung jawab atas kejatuhanmu? Rakyatmu bahkan harus menderita karena asap pengendali pikiran. Tolong, Rullin. Tolong jangan mengampuni dosaku.”

Rhaella menambahkan, “Benci aku sepuasmu, aku juga tidak akan menyalahkan sikapmu. Aku sudah pernah merasakan cintamu dalam satu hari, jadi tidak akan berani untuk meminta lebih.”

Ada perasaan mengganjal yang sulit untuk dijelaskan di hati Rullin. Meski Rhaella berulang kali berkata bahwa dia rela mendapatkan kebencian dan kemarahan dari Rullin, pria itu tetap saja tak mampu melakukannya.

Sebab tujuan Rhaella dalam menciptakan sihir pengendali pikiran adalah supaya tidak ada pertumpahan darah. Namun, efek yang ditimbulkan malah tidak sesuai dengan harapannya.

“Rhaella … aku tidak bisa menyalahkan kamu. Orang yang menciptakan asap pengendali pikiran memanglah kamu, tetapi orang yang menghancurkan Alcander bukan kamu, melainkan Yeva. Karena itu, tidak sepatutnya aku menumpahkan amarah kepadamu.”

“Kamu tidak marah?” tanya Rhaella.

“Marah, tentu saja marah.” Rullin tiba-tiba menggenggam tangan Rhaella. “Tapi, apa gunanya aku melampiaskan marahku kepadamu?”

Rullin tidak pernah menjadi orang yang sabar, begitupun dengan Rhaella. Keduanya sama-sama memiliki kecenderungan untuk selalu meluapkan emosi yang tergenang di dalam hati. Namun, anehnya mereka bisa meredakan emosi begitu cepat saat berhadapan satu sama lain.

“Meski begitu, tetap saja aku adalah orang yang patut disalahkan. Karena, seandainya saja asap pengendali pikiran tidak kuciptakan, penduduk Valeon mungkin masih hidup dan kamu juga tidak akan kehilangan kekuasaanmu.”

Rullin, “Siapa yang tahu tentang itu? Kalau kamu tidak menciptakan asap pengendali pikiran, mungkin saja Yeva akan melakukan cara lain untuk menjatuhkanku.”

Keserakahan sudah menggerogoti hati Yeva, sehingga dia mampu melakukan banyak hal untuk mendapatkan sesuatu yang dia inginkan, walau harus menggunakan cara kotor sekalipun.

My Fallen KingWhere stories live. Discover now