Chapter 37 - Hard Choice

Mulai dari awal
                                    

"Aku benci tidak berdaya seperti ini." Aku mendengarnya membisik. Bahkan suaranya kesakitan. "Jika menemui keadaan genting, tinggalkan aku. Kau kabur."

Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Membayangkan kejadian seperti itu saja, aku tidak bisa. "Kau diam saja dan tabung energimu. Apa pun yang terjadi, kali ini kita akan kabur bersama."

Kali ini. Pasti.

Ledakan lagi-lagi terdengar, kian memekakkan telinga. Aku mempercepat langkahku, walau sembari membawa Jona, tidak banyak energi yang bisa kukerahkan. Beruntung, ukuran bungker ini relatif kecil. Untuk mencapai pintu evakuasi di belakang tidaklah sulit. Devan meminta kami untuk bersiaga di ambang pintu evakuasi sembari menunggu jemputan. Seketika ada bawahan yang bisa kabur dari pertikaian, Devan akan mengirimnya langsung untuk menjemput. Karena itu, kami berdua duduk di tangga menuju pintu belakang, kaos biru kelam Jona, dipenuhi darah di bagian perutnya. Bajuku juga memiliki nasib sama setelah menopangnya. Lukanya yang anyar belum tertutup. Jalan sedikit lebih lama, aku khawatir dia akan anemia.

Genggaman tangan kami tidak sama sekali melerai. Namun seiring waktu, aku merasakan miliknya melemah.

"Papa selalu mengatakan kalau dilindungi adalah hal memalukan. Dan kondisi apa pun, lebih baik mati ketimbang lemah." Ucapan Jona berupa bisikan. Berbicara terlalu keras menguras energi. "Aku berusaha payah menghapus semua dampaknya bagiku. Namun kurasa omongannya masih membekas. Aku merasa sangat payah."

Aku menggenggam tangannya kian erat. "Kalau begitu ini waktumu membangkang ajaran sesat itu. Kau boleh di pihak terlindungi, ini tidak membuatmu buruk."

Jona menyandarkan wajahnya ke dinding, matanya memejam. "Aku gatal ingin mengambil senapan dan menghentikan keparat mana pun itu yang mengusik kedamaian kita."

"Maka aku akan menjadi yang paling pertama mendampratmu dan menghentikan kau kian terluka." Dia tahu aku tidak main-main. Aku tahu dia menganggapku serius, lewat senyum tipis miringnya. "Kali-kali, biarkan aku yang menjagamu."

Dari semua kesusahanmu. Dari kehidupanmu yang penuh kesesakan. Dari masa lalu kelammu. Dari segalanya. Selagi aku bisa.

Aku terpaku ketika suara tembakan, suara ledakan, juga jerit-jerit kesakitan mulai terdengar. Ledakan pertama, berhasil memadamkan lampu bungker, menjadikan lorong yang tadi kita lewati tidak tampak ujungnya. Yang jelas, di balik sana hanya ada kekacauan yang mencekam. Aku tahu Jona ingin mengacir ke sana. Bertindak alih-alih melemah. Tentu, aku tidak bisa membiarkannya.

Pintu menuju jalan keluar bungker tiba-tiba diketuk. Aku menoleh spontan, dan jantungku mulai berpacu kencang. "Diam di sini." Setelah membisik begitu kepada Jona, aku bangkit untuk meraih kenop pintu, menaruh jariku pada tuas kunci. Jemputan kami datang, Tapi mungkin saja, musuh yang memunculkan diri di balik sana. Aku mual saking cemasnya. Kubuka pelan kunci, kutarik kenop pintu, kubiarkan pintu berdecit, namun kuhentikan hanya terbuka sebesar 5 cm.

Aku bertanya. "Sebut untuk apa kau kemari."

Seorang pria menyahut dari balik pintu. "Untuk menjemput Tuan dan Nona."

Aku nyaris jatuh merosot saking leganya. Aku hampir saja akan membuka lebar pintu kalau Jona tidak menahan tanganku. Aku menoleh kepadanya, dan dia membisik tanpa suara kepadaku. "Tanyakan nomor ID pengenalnya."

Aku tidak tahu apa itu. Namun aku tebak, cara tertentu untuk mengenali mana bawahannya, dan mana musuh yang berpura-pura menjadi bawahannya. Lagi-lagi dadaku memberat karena tegang. Namun aku mengangguk.

"Sebut nomor ID pengenalmu."

"Ya!" Aku mendengar pria itu merogoh kantongnya, mengeluarkan sebuah kartu. "ID XX-0078-22. Divisi pengawal kepemimpinan, di bawah komando Devan Lorey."

Madame MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang