🍇36🍇

12.8K 1.7K 163
                                    

UPDATE MINGGU-SENIN

TAMAT DI WATTPAD

HAI, APA KABAR DI HARI SENIN INI?
SPAM 🍇🍇🍇 BANYAK-BANYAK YAAAA

____________________

Arlan mendesah, dengan mata yang tak lepas dari semua gerak-gerik Anya. Wanita itu mengoleskan banyak selai stroberi ke roti sembari mengacuhkan keberadaannya.

Sejak beberapa hari lalu, sikap sang istri berubah secara tiba-tiba.

Dan tentu Arlan kesal, sungguh. Ia tak tahu, tak mengerti, kesalahan dan masalah apa yang sudah diperbuatnya hingga mengundang kemarahan Anya begini.

Kemarahan yang ditunjukan dengan, irit bicara, acuh tak acuh akan kehadiran Arlan. Tak lagi membantu menyiapkan pakaian, tak lagi menunggunya pulang bekerja, tak lagi mau repot-repot menyiapkan sarapan.

Bisa, Arlan sungguh bisa sendiri. Tapi, entah kenapa, ia senang saja jika Anya terlibat dalam kegiatan-kegiatan itu. Rasanya hangat, menentramkan.

Arlan tak yakin tapi, ia merasa bahwa, hawa rumah ini begitu negatif. Sehingga baru beberapa hari pindahan saja, keduanya sudah dibuat bertengkar. Apa mereka harus pindah lagi ke apartemen?

“Kamu pulang jam berapa?” tanya Arlan kemudian. Ia mengambil sehelai roti dan langsung memakannya. Tanpa menambahkan toping apa-apa.

“Enggak tahu.”

“Enggak mau dijemput?” Arlan melihat Anya menggeleng, sembari menyantap rotinya tenang. “Kalau sarapannya udah selesai, kita berangkat.” Arlan menyesap air putih hangatnya.

“Aku pergi sendiri.” Anya menutup toples selai dihadapannya. Menyimpan ke sisi bar kemudian. “Biar kamu enggak repot.”

Arlan yang baru saja mengangkat tubuh dari stool, langsung menatap Anya kaget. Ia kembali duduk, tatapannya berubah tajam. “Kita punya masalah?”

Anya berhenti dari kegiatannya sesaat. Tangan wanita itu melayang di udara. “Enggak—mungkin? Menurut kamu gimana?”

Arlan tidak mengerti, kenapa wanita sangat menyukai sesuatu yang meribetkan dan menyusahkan. Padahal, bilang saja dengan jelas, kalau ada ya ada, kalau tidak ya tidak. Kenapa Arlan disuruh menebak-nebak begini?

Setelah membasahi bibir bawah, Arlan pun menarik napas dalam untuk melegakan sesak yang kini memenuhi ruang dadanya. “Kalau kita enggak punya masalah, kamu enggak mungkin tiba-tiba bersikap kayak gini. Acuh tak acuh terhadap saya. Kalau kita memang punya masalah, saya enggak mengerti, letak dan akarnya di mana? Bisa kamu jelaskan?”

Anya mendengus. Ia menyimpan dua gelas bekas di tempat cuci piring. Sebelum mengambil tasnya. “Pikir aja sendiri.” Lalu beranjak.

Mendengar itu, erangan pelan dan prustasi terdengar dari Arlan. Mata laki-laki itu memejam erat, tangannya terangkat untuk menyugar rambut sebelum dengan cepat menurunkan tubuh dari stool dan mengejar Anya. “Terus kamu mau naik apa ke kampus?”

Motor Anya masih berada di apartemen. Jadi beberapa hari terakhir ini, Galih atau Arlan yang akan menjemput juga mengatarnya.

“Naik gojek.” Anya mengotak-atik ponsel. Lalu, saat Arlan merebut barang itu dari tangannya begitu saja, kedua bola mata Anya memutar malas.

“Kamu bisa naik ke mobil. Saya yang akan antar. Kalau ada yang gampang, kenapa kamu milih yang susah sih?”

“Terserah gue dong, hidup-hidup gue. Kenapa lo ikut campur?”

Arlan mengusap telinga, takut salah dengar. Tapi, barusan, ia yakin, Anya dengan lancar berbicara tidak sopan. Dan hal itu ditujukan kepadanya kan?

Arlan mendesis, kedua tangannya terlipat di dada.

Kemudian laki-laki itu menunduk, mensejajarkan tubuh dengan Anya. Wajah mereka saling memandang dengan leluasa. Dan karena itu, Arlan bisa melihat kobaran rasa marah di lorong kecoklatan mata sang istri.

Tersenyum sembari menempatkan satu tangannya di atas kepala Anya. Arlan pun berucap, “Ada apa? Coba bilang dulu sama Mas.”

Mas?

Wajah Anya memerah, wanita itu segera berpaling, serta memundurkan langkah. Tak bisa. Ia tak boleh melting di saat-saat begini.

Telunjuk Anya naik, sembari berkata, “Ngomong gitu lagi, kita cerai!” Dan pergi ke arah mobil Arlan yang terparkir di halaman, dekat gerbang rumah.

🍇🍇🍇

Anya tak ada di mana-mana. Di kampus, di toko bunga, dan di beberapa tempat yang sempat Arlan kunjungi untuk mencari gadis mungil itu. Arlan sudah mencoba menelepon, tapi tak Anya respon. Maka karenanya, ia memutuskan untuk pulang ke rumah, siapa tahu Anya ada di sana. Namun, nihil.

Untungnya, setelah Arlan mandi, ia langsung menemui sebuah chat yang asalnya dari sang istri. Katanya kini, Anya tengah berada di rumah Deryl untuk mengerjakan tugas bersama teman-teman kuliahnya yang lain.

Tenang, Arlan pun mengangguk-angguk, sebelah tangan yang tadi mengusak rambut hitam legamnya yang lembab pun turun. Laki-laki itu mengambil kabel pengisi daya dan memasangkannya pada port ponsel.

Bosan di rumah sendirian, Arlan memutuskan untuk pergi ke apartemen, menemui Galih. Pekerjaan mereka tidak terlalu hectic, jadi bisa pulang sore-sore. Dan mungkin, secangkir kopi ditambah obrolan tak berarah bisa membuat Arlan lebih baik. Melupakan sedikit sesak dan tanya tentang ucapan Anya tadi pagi. Tentang perceraian mereka.

🍇🍇🍇

Anya pulang ke rumah saat langit mulai menggelap. Sepi, kosong. Padahal katanya, Arlan sudah pulang.

Kemana laki-laki itu pergi?

Setelah menyimpan tas di meja, Anya bergerak untuk menarik tirai, guna menutupi jendela kamar. Kemudian ia menyalakan lampu-lampu dan bergegas ke kamar mandi setelahnya. Membasuh dan membersihkan diri agar Arlan bisa tetap nyaman.

Usai berganti baju, Anya kemudian mengambil bed cover baru dari dalam lemari, memasangkannya di tempat tidur. Kebiasaan mengganti bed cover setiap hari masih harus diterapkan. Lelah, tapi mau bagaimana lagi?

Kegiatan Anya terganggu kala dentingan ponsel bergema. Matanya dengan cepat melirik ke arah nakas. Menemui satu buble chat di lockscreen ponsel Arlan.

Anya melirik sekitar saat tangannya mengambil barang tersebut. Duduk di pembaringan yang belum sepenuhya terpasangi bed cover dan membuka ponsel Arlan. Sungguh, Anya tak akan berbuat demikian jika bukan nama Ralina yang mencul di sana. Ia tahu ini tak sopan. Tapi Anya tidak bisa melawan keingintahuannya tentang hubungan mereka.

Ponsel Arlan tidak memakai kunci atau sandi, laki-laki itu hanya menggunakan pitur swipe ke atas agar barang elektroniknya bisa diakses. Gemetar, Anya membuka aplikasi pesan dengan logo hijau. Mengklik user dengan nama Ralina kemudian.

Ralina
Jadi sekarang, kamu udah enggak cinta sama aku kan?

Anya menelan ludah.

BRENGSEK!

Apa maksudnya sih?

“Ngapain kamu buka-buka ponsel saya?”

Anya menegang, ponsel yang ada di tangannya diambil cepat oleh pemilik suara barusan. Setelah menutup tirai mata lama, Anya pun mendongak, mendapati Arlan yang memandangnya, bertanya.

“Bodo amatlah!” ujarnya sembari beranjak.

“Mau ke mana?” Arlan mengikuti.

“Boker. Ngapa? Mau ngikut?”

Arlan menggeleng, melangkah mundur. Lalu memandangi Anya yang kini malah ke luar dari kamar.

“Mau boker di mana?” tanya Arlan.

“Pinggir jalan!” jawab Anya asal. Ia marah. Dan tidak ingin berbicara dengan si bajingan Arlan.

A MARRIAGE PROPOSAL (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang