🥪28🥪

17.3K 2.4K 595
                                    

Halo ketemu di part 28 maaf up datenya jadi sore gini ya.
Komen banyak-banyak pokoknya.
Spam 🥪🥪🥪 emoji itu biar aku cepet up date! Tungguin jadwalnya meluncur di wall Wattpad aku nanti ya

_____________________

ANYA menatap Arlan dengan sorot lelah. Kini, laki-laki itu sudah mendapatkan perawatan dari rumah sakit terdekat. Dan, tadi, sejujurnya, Arlan sangat-sangat-sangat merepotkan. Para dokter dan perawat tidak boleh menyentuhnya jika tidak memakai sarung tangan, masker, baju dan snelli baru. Atau setidaknya sudah di sterilisasi. Dan untung saja, semua tenaga medis yang ada di sana mau menuruti perintah Arlan dengan cepat setelah Galih menceritakan tentang OCD yang dia idap.

Dan kini, di sinilah Arlan dan Anya, di dalam sebuah mobil yang melaju di jalanan Asia-Afrika, menuju ke apartemen mereka. Arlan tidak mau dirawat di rumah sakit dan memaksa kepada Anya juga Galih untuk bisa pulang ke apartemen. Sungguh, sangat miris. Padahal, dokter menyarankan agar setidaknya, laki-laki itu bisa menginap tiga hari kedepan. Karena lukanya yang kini sudah ditutup oleh kain kasa itu cukup parah. Kulit Arlan yang tadinya memerah lama-lama melepuh, seperti baru terbakar.

Entah siapa juga yang berani-beraninya melakukan hal keji seperti saat ini. Apalagi targetnya tadi adalah Anya. Beruntung Arlan yang katanya melihat seseorang berlari cepat ke arah Anya sigap mendekat dan menghadang.

“Kamu lapar enggak?” tanya Arlan tiba-tiba. “Tadi kan kamu enggak sempet makan gara-gara ini.” Mata Arlan melirik pada lukanya yang tertutup oleh baju.

“Enggak apa-apa, tadi udah di tanyain ke Mbak, katanya udah di masakin. Mas juga belum makan kan? Laper pasti kan?” Anya tahu, perut Arlan juga pasti sama perihnya. Tadi mereka memakan sarapan yang sama, dan sekarang sudah hampir jam tiga sore. Namun, keduanya belum sempat makan apa-apa lagi. “Sakit enggak sekarang?” tanya Anya sembari memperhatikan bahu kanan Arlan.

“Sakiiiit!” balas Arlan.

“Haduuuuuh.” Galih bersuara tiba-tiba, terbit senyum tertahan di wajahnya. Tak pernah ia mendengar nada manja itu dari mulut Arlan. “Lampu merah nih.”

Anya melirik lampu merah yang ada di hadapan mereka. “Bentar ya, Mas. Udah di lampu merah yang ini, berarti enggak lama lagi kita nyampe.”

Arlan mengangguk, lalu, kaki laki-laki itu menendang kursi Galih. Dan Galih malah tertawa puas. Sebelum bersuara, “Sakiiiiiit.”

“Nyetir-nyetir aja sih. Ngapain pake gangguin orang segala? Fokus dong!” perintah Arlan.

🥪🥪🥪

Kini Galih, Anya juga Arlan tengah duduk di stool, menghadap ke meja bar yang sudah dipenuhi oleh makanan. “Aaaa lagi.”

Arlan menerima suapan dari Anya, tangan kanannya tidak bisa digerakan.

Galih tersenyum geli di sela-sela gerakannya mengambil gelas lalu menyesap rakus air putih. Sudah bertahun-tahun menjadi asisten Arlan. Hingga hubungan keduanya bisa akrab layaknya teman. Dan selama itu, ia belum pernah melihat tuannya bermanja kepada seseorang. Biasanya, Arlan akan bersikap tak acuh, sok cool dan terlihat tegas menakutkan. Namun kini, di hadapan Anya, bisa-bisanya sang atasan tiba-tiba bermanja-manja kucing. Tentu hal tersebut membuat bulu kuduk Galih sedikit berdiri.

Meski Galih belum tahu pasti, apa yang kini terjadi dengan hubungan Arlan dan Anya. Namun, dari kelakuan keduanya ia bisa tahu bahwa, semua ... sudah di luar batas kontrak. Pernikahan mereka bukan karena kontrak lagi.

“Apasih? Lihat-lihat?” tanya Arlan risi. Sebab sedari tadi, Galih tak berkedip menatapnya.

Galih menunduk, sembari menggeleng, senyuman tipis masih tertinggal di wajah. Kemudian, tangannya menyimpan gelas kosong yang sedari tadi ia pegang di atas meja bar. “Enggak, saya … cuma senang melihat sisi lain dari Pak Arlan yang biasanya dingin dan kaku.”

Arlan menelan makanannya sebelum berkomentar, “Makan-makan aja, kalau keselek baru tahu rasa.”

Anya terkekeh, sembari kembali menyiapkan makanan di atas sendok dan langsung menyuapkannya ke dalam mulut Arlan. “Emosian banget lo sama Galih.”

“Tenang aja, Mbak. Saya udah biasa. Dari dulu, kalau ada apa-apa nih, dia marahnya pasti sama saya.” Galih mengangkat kedua bahunya sesaat. “Udah biasa jadinya.”

“Kok lo gitu sih, Mas?”

“Galih dipercaya,” balas Arlan cuek. “Suapin lagi.”

“Pak Arlan tuh ya, Mbak—”

“Kamu ngomong lagi saya usir,” potong Arlan.

Galih menciut, kembali mengambil sendoknya dan makan dengan khidmat.

“Mas, nanti Galih ada di sini kan? Soalnya gue mau jenguk Ibu.”

“Tapi nanti pulang ya?”

Anya mengangguk. “Pulang kok, tadi kondisi Ibu udah mulai membaik. Udah bisa ngobrol juga sama gue, meski enggak banyak.”

“Alhamdulillah. Ya udah, enggak apa-apa, kamu jenguk dan temani Ibu aja. Saya bisa kok ngurus diri sendiri atau nanti dibantu sama Galih,” izin Arlan kemudian. Ia tak mungkin melarang Anya. Meski sejujurnya, ada keinginan untuk menahan Anya agar tetap berada di sampingnya. Ini terdengar sangat menggelikan tapi, Arlan ingin Anya memanjakannya. “Saya juga ingin menjenguk Ibu lagi. Karena kondisi saat ini tidak memungkinkan jadi, tolong sampaikan permintaan maaf saya sama beliau ya.”

“Ibu pasti ngerti kok, Mas.” Anya menyuapkan makanan terakhir untuk masuk ke dalam mulut Arlan, kini ketiganya sudah selesai makan.

“Mau dianter sama saya, Mbak?” tanya Galih kemudian.

“Iya, kamu dianterin sama Galih aja ya?” tawar Arlan.

“Hm oke deh. Tapi sekarang Mas harus ke kamar dulu. Buat istirahat, bedcovernya udah gue ganti.”

Arlan turun dari stool dengan pelan, sigap Anya segera memegangi lengannya yang tidak terluka, mereka beriringan masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Galih yang tahu diri bahwa, ia harus mencuci peralatan makan kotor bekas mereka barusan. Dan tentu Galih tak keberatan dengan hal itu, toh gaji yang didapatkan sudah mencakup semua pekerjaan yang bisa ia kerjakan.

Sementara, Anya langsung merebahkan tubuh Arlan kala keduanya sudah sampai di dalam kamar. Ia menurunkan suhu AC, dan menutup sebagian tubuh Arlan dengan selimut.

“Enggak biasa banget saya langsung rebahan padahal beberapa menit yang lalu baru makan.”

“Takut perutnya buncit?” tanya Anya sembari mengusap rambut depan sang suami.

Mata Arlan memejam nyaman. “Hm begitulah. Kurang baik juga untuk kesehatan kan?”

“Enggak apa-apa. Sekali-kali ini kok.” Anya kembali memperhatikan bahu Arlan yang perbannya mencuat terlihat dari baju. “Makasih banget ya, Mas. Lo udah nolongin gue. Lo udah ngelindungin gue.”

Kasus penyiraman air keras itu kini masih bergulir, Malik yang tengah mengurusnya. Menelusuri apa motif orang tersebut hingga dengan tega ingin menyerang Anya. Padahal, Anya yakin, ia tak pernah memiliki masalah dengan siapapun. Apalagi dengan orang yang menurut beberapa saksi mata, memakai seragam salah satu media portal online terkenal. Entah itu untuk penyamaran atau apa.

“Enggak apa-apa, udah kewajiban saya buat jagain kamu.” Arlan menggengam tangan Anya, menyimpannya di dada kemudian. “Saya akan lebih sakit jika saja tadi, kamu yang celaka.”

“Sekarang gue malah ngerasa bersalah sama lo, Mas.”

“Saya punya penawaran.”

Anya terkekeh. Arlan dan segala penawarannya. “Apa?”

“Untuk bisa menebus semua rasa bersalah kamu, gimana kalau mulai sekarang, ganti kata panggil terhadap saya. Dari gue-lo jadi aku-kamu?”

“Dih.”

Arlan menaikan alis. “Bukannya kamu juga sering begitu jika sedang berada di hadapan semua orang ya? Soalnya saya merasa lebih nyaman dan dekat dengan kamu saat, hal sesederhana aku-kamu keluar dari sini.” Arlan mengusap sekilas bibir Anya. “Boleh kan?”

Anya mengangguk. “Iya, boleh.”

Arlan tersenyum senang. “Sini peluk dulu.”

__________

Kesan pesan yang mau dikasih setelah baca bab ini apa?

A MARRIAGE PROPOSAL (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang