🥙32🥙

14.5K 2K 390
                                    

Ah kalian lama banget, padahal aku enggak sabar mau up load 😣😣😣 maafkan aku please.

Btw komen yang banyak yaaa
Masih dengan emoji yang sama 🥙🥙🥙
Minggu ini aku udah up dua kali, jadi jangan nagih-nagih lagi please😣

____________________

ARLAN menatap Anya yang duduk di depan televisi, matanya terlihat lurus memperhatikan siaran yang tengah ditayangkan. Namun, Arlan tahu bahwa Anya tak menyimak para artis di layar kaca sana.

Mengembuskan napas pelan, Arlan pun beranjak mendekat. Ditangannya, ada puding cokelat yang terhias stoberi dengan lumuran fla. Sudah lima hari berlalu semenjak pemakaman Aina, dan luka Anya masih belum sembuh sama sekali. Sekuat apapun Anya menyembunyikannya, Arlan tetap akan mengetahui karena, jauh sebelum Anya, ia juga pernah merasakan sakitnya kehilangan.

"Nih."

Anya mengerjap, tubuhnya sedikit kaku karena merasa kaget kala tiba-tiba, Arlan menyodorkan sepiring puding. "Makasih."

Arlan duduk perlahan. Tangannya sudah lepas dari bebatan tapi, lukannya belum benar-benar sembuh. Kemarin, ia bahkan baru pergi check-up dengan Galih. "Enak loh itu. Saya pesen dari restoran langganan. Kamu harus cobain."

Anya mengangguk kecil sembari menatap Arlan. Kemudian, tangan wanita itu bergerak menyedok kecil puding. Sesaat, rasa manis mendominasi mulutnya, lembut. "Iya, enak."

"Di kulkas masih banyak, kamu bisa habisin."

"Emang Mas enggak mau?"

"Saya udah," jawab Arlan sembari mengambil remot yang tersimpan di atas meja lalu memindahkan channel. Mencari tayagan yang menarik minatnya. Hingga kemudian ia berhenti di salah satu siaran berita. "Besok saya harus kerja. Kamu enggak apa-apa di apart sendiri? Atau mau ikut sama saya?"

Hening sesaat, Anya menatap lama puding yang ada di tangannya. "Kayaknya besok aku mulai kuliah juga deh. Dan ... toko bunga bakalan jalan lagi. Soalnya kan, enggak mungkin aku gini-gini aja. Life must go on. Mau enggak mau."

Waktu akan terus maju, apapun yang terjadi. Kesedihan dan kehancuran seseorang bukanlah penghalang dunia berhenti berputar. Anya mengetahui dan sudah memikirkannya semalaman. Meski lukanya masih berdarah-darah, meski rasa sakitnya masih begitu mematikan, ia harus tetap menjalani hidup seperti biasa. Berangkat kuliah, membuka toko bunga, mengerjakan tugas, mengurusi Arlan. Ya, mengurusi Arlan. Setelah ibunya tiada, waktu Anya menjadi lebih luang hingga, ia akan menyerahkan semua waktu yang tersisa untuk sosok laki-laki yang kini berada di sampingnya.

"Seperti biasa, setelah semua hal yang terjadi. Masalah-masalah yang memuncak, kesedihan yang menyayat, waktu akan selalu kembali pada titik 'baik-baik aja' jadi mungkin ... aku enggak perlu banyak pikiran lagi."

Arlan menerbitkan senyuman tipis, ditatapnya Anya lekat. Punggung telunjuknya mengelus lembut pipi sang istri empat kali. "Saya akan selalu ada di samping kamu. Menemani di saat apapun."

Lalu, kedua tatap itu bertemu. Saling menyelami. Hingga beberapa saat kemudian, bel apartemen berbunyi. Hal tersebut membuat kening Arlan dan Anya mengerut di saat yang bersamaan.

"Siapa ya?" gumam Anya, sembari beranjak. Lalu mengintip tamu itu dari layar monitor.

"Ehm." Arlan berdehem, sembari mengusap hidung.

"Kamu kenal Mas?" tanya Anya, berbasa-basi.

"Ralina kan?" Arlan berujar.

Anya kontan mengangguk, ia tahu bahwa wanita yang kini ada di sebalik pintu apartemen Arlan adalah Ralina. Seorang aktris dan model cantik. Namun, pertanyaan Anya barusan itu merujuk pada, apa Arlan memiliki hubungan seperti teman atau sodara dengan Ralina?

A MARRIAGE PROPOSAL (END)Where stories live. Discover now