🍉29🍉

15.2K 2.1K 412
                                    

Hai, di chapter 29! Besok aku up date lagi asal kudu komen yang banyaaaaaaak hihihi
Yok spam 🍉🍉🍉 semangka.

____________

PENGELIHATAN Arlan masih samar kala ia menyadari bahwa sekarang, Anya tengah sibuk sendiri di depan lemari.

Sesaat, Arlan mengerjap-ngerjapkan mata sembari mencoba mendudukan diri. Diliriknya jam dinding hitam yang tertempel di tembok kamar, tepat di atas pintu. Jam setengah dua belas malam, dan Anya tengah memakai jaketnya dengan cepat, sebelum beralih ke nakas, mencari-cari sesuatu, entah apa.

“Kamu kenapa?”

Anya mendongak sedetik, sebelum kembali mengobrak-abrik isi laci. “Nyari kunci motor, aku harus ke rumah sakit, Mas. Ibu kritis lagi. Barusan ada telepon dari nursenya Ibu.”

Padahal, Anya baru pulang beberapa jam lalu dari rumah sakit.

Arlan menyenderkan tubuh di punggung kasur, mengernyit sesaat kala lukanya terasa sangat perih. “Biar saya anter.”

Anya segera menggeleng. “Enggak perlu. Lagian Mas mau gimana? Tangannya kan lagi sakit. Tidur aja.”

Arlan memperhatikan air wajah Anya yang keruh dan masih sedikit sayu. Nampak kepanikan dan ketakutan membayang di lorong kecoklatan matanya. “Kamu tenang dulu. Saya yakin, enggak bakalan bener kalau pergi-pergian dengan keadaan kayak gini. Minta tolong anterin aja sama Galih.”

Anya menggeleng di sela-sela kegiatannya yang tengah menaikan resleting jaket. “Enggak perlu Mas, Anya buru-buru.”

Arlan memandangi kepergian Anya sembari menarik napas panjang dan turun dari atas ranjang, mengambil ponsel yang masih proses isi daya. Menyusul Anya kemudian. “Nanti saya pergi sama Galih.”

Anya menatap Arlan sedikit lama, ia ingin melarangnya. Ingin agar, Arlan bisa mengistirahatkan diri. Apalagi tangannya sedang terluka. Namun, percuma saja larangan itu dilayangkan. Toh, tak akan Arlan dengar sama sekali. Keras kepala.“Yaudah, terserah Mas deh.”

Anya memakai sandal kemudian, sebelum segera berlari menyusuri lorong apartemen yang sepi.

Melihat itu, Arlan sigap berbalik, mengetuk kamar Galih. Cukup lama, Arlan tahu, Galih memang agak sulit untuk dibangunkan, hingga satu menit kemudian, pintu itu terbuka. Memunculkan Galih dengan rambut acak-acakan dan muka bantal, di mana, ada beberapa garis kain yang tercetak di pipi. “Ada apa?”

“Anterin saya ke rumah sakit, Bu Aina kritis.”

“Hah?”

“Ayo cepet! Keburu Anya pergi jauh!”

Tanpa mempedulikan kelinglungan dan otak Galih yang masih loading, Arlan pun menyeret laki-laki itu untuk keluar dari apartemen.

🍉🍉🍉

Arlan berhenti beberapa langkah dari sosok yang kini tengah duduk cemas, kedua tangannya bertaut, seolah saling menguatkan satu sama lain. Matanya berkaca, memerah, mungkin, wanita itu menahan tangis agar tidak tumpah. Membendung ketakukan yang tengah meledak-ledak dan mencoba menguatkan diri. Arlan mengatur napas, sebelum kembali melangkah menghampiri sang istri. Dan duduk begitu saja di sampingnya tanpa banyak kata.

“Kamu beneran nyusul ke sini ternyata,”   ujar Anya, melirik sedetik sebelum kembali menunduk, menarik napas panjang dan memainkan kedua jari tangan.

“Hm.” Arlan mengusak kepala Anya dengan tangan kirinya yang bebas.

Lalu, hening menyelimuti, hingga akhirnya Galih menyusul, membawakan Arlan sarung tangan dan masker yang memang selalu terstok di mobil. Sesaat, kedua laki-laki itu sibuk sendiri. Galih yang membantu Arlan memakai handsinitizer, sarung tangan dan masker. Sejujurnya, Arlan tahu bahwa, ini benar-benar tidak sopan. Hanya saja, ia juga bingung, rasa takut itu masih melekat pada dirinya sehingga ia tak bisa hidup tanpa peralatan ‘suci’ yang selalu melekat di tubuhnya ini.

Arlan kembali melirik Anya lalu, ia mendekatkan tangannya kemudian, membuat Anya kebingungan. “Mungkin … kamu butuh tangan saya? Setidaknya, kamu tahu saya di sini. Meski tangan saya tidak cukup untuk menguatkan kamu, menyerap keresahan kamu atau menghilangkan segala ketakutan yang ada di bayang mata kamu. Saya … di sini dan kamu enggak sendiri.”

Anya tersenyum tipis, menatap tangan yang terbungkus sarung hitam itu sebelum mengenggamnya erat. “Makasih ya, Mas.”

Arlan mengangguk, ia mengusap mata berkaca Anya. Membuat air yang terbendung itu luruh, meninggalkan jejak basah di sana. Di kelopak indah yang selalu Arlan puja.

“Ibu lagi ditanganin?”

Anya mengangguk, tangan kecilnya memainkan jari Arlan.

“Sama dokter Chandra?”

“Dokter Chandra lagi enggak jaga malam ini. Jadi dokter Mita yang gantiin dulu.” Anya melirik Arlan, memperhatikan kantung matanya yang mulai menghitam. Akhir-akhir ini, laki-laki itu memang kurang tidur. “Mas istirahat gih, ke hotel atau apa gitu.”

“Saya mau nemenin kamu.”

Anya melirik Galih yang sudah terlelap. Dengan kepala yang tersimpan di tembok dan tubuh yang sepenuhnya sudah tersandar di punggung kursi besi. “Kasiang Galih, Mas.”

“Dia mah, enggak apa-apa.” Arlan menunjuk bahunya dengan gerakan mata. “Kamu mau tidur? Di sini?”

Anya kontan menolak, ia sadar diri bahwa, kepalanya lumayan berat. Ia tak ingin melukai bahu Arlan yang lain. Dan mana bisa di kondisi seperti ini, ia memejamkan mata. Kantuk yang beberapa jam lalu menyerang kini lenyap begitu saja. Digantikan oleh rasa takut, cemas, was-was yang bercampur baur di dalam otak. Membuat dada Anya terasa tak nyaman. Gelisah.

“Mas aja yang tidur ya?” Anya menepuk bahunya. “Sini.”

“Boleh?” Arlan bertanya, dan langsung menyimpan kepala di bahu Anya. “Maaf kalau berat.”

“Enggak apa-apa.” Kedua tangan Anya menggengam tangan Arlan yang besar. “Yang penting kamu istirahat.”

Anya menatap langit-langit. Sembari meresapi hening yang kini melingkupi. Dokter tak kunjung keluar dari dalam kamar Ibu. Mungkin, di sana, dokter Mita tengah memantau langsung kondisi alat vital Aina. Tadi, Anya sempat bertanya pada nurse yang menjaga. Katanya, Aina sempat apnoe, sehingga dokter Mita langsung melakukan defibrilasi serta RJP. Dan untung saja, denyut jantung Aina kembali terdeksi di mesin EKG. Lalu setelahnya, dokter Mita tidak lagi keluar dari dalam ruang rawat.

Dan, meski diperbolehkan untuk menjenguk ke dalam, Anya tetap terpaku di sini. Mendudukan diri dengan lemas di kursi setelah memacu motor maticnya dengan kecepatan tinggi di jalanan tadi. Ia takut. Ia ... cemas. Anya merasa tak akan kuat melihat tubuh Aina yang kembali terbaring lemah.

Anya mengerjap sesaat kala seorang perawat keluar cepat dari dalam kamar Aina, lalu menghilang di balik tikungan lorong. Diembuskannya napas, mencoba berpikiran jernih, mungkin, sedang ada pasien lain. Yang membutuhkan pelayanan. Namun, beberapa saat perawat itu kembali sembari membawa sebuah alat yang entah apa, Anya tidak tahu.

Lalu, seorang perawat berbeda datang dari arah yang berlawanan. Berjalan cepat, menyusul perawat pertama tadi memasuki ruangan sang ibu. Dan, Anya sudah tidak bisa menahan diri lagi. Kilat, Anya berdiri, membiarkan Arlan hampir saja terjerembab karena sandarannya hilang begitu saja.

Dan sungguh, Anya merasa kehilangan napas kala di sana, para dokter tengah berusaha keras untuk menyelamatkan nyawa Aina.

🍉🍉🍉

Apnoe: Berhenti napas
RJP (Resusitasi Jantung Paru) : Tindakan pertolongan pertama untuk mengembalikan fungsi napas dan sirkulasi yang sempat terhenti
Mesin EKG : Adalah alat yang berfungsi untuk merekam aktivitas elektrik jantung

A MARRIAGE PROPOSAL (END)Where stories live. Discover now