DHA 21❤

156 25 16
                                    

Abizar menghela napasnya kasar, mengingat sore tadi Angel bersikeras tidak mau setoran hafalan padanya. Harus dengan cara apa lagi dirinya mendekati gadis itu?

Umma Fathimah memasuki kamar putra sulungnya sembari tersenyum, di tangannya tidak lupa dengan segelas susu coklat hangat. "Kok murung gitu mas? Ada yang lagi di pikirkan ya?" Tanya Umma Fathimah membuat Abizar menggeleng.

"Ndak umma, bukan apa-apa," jawabnya sembari tersenyum, bukan senyuman menenangkan melainkan senyuman kebohangan. Iya, bohong jika Abizar menjawab seperti itu pada pertanyaan Umma tadi, hanya saja dirinya belum siap untuk mengutarakan semua isi hatinya saat ini.

"Kamu di ajarin bohong sama siapa toh mas? Umma nggak pernah ngajarin putra Umma akhlak yang tidak baik loh," ujar Umma Fathimah membuat Abizar menunduk. Seperti ini lah Umma Fathimah, wanita itu tidak pernah memarahi anaknya dengan emosi, meskipun kedua putranya bersalah. Hanya menggunakan kata-kata dan menyampaikannya dengan lembut, itupun sudah seperti sihir yang mampu membuat siapa saja menunduk.

"Maafin Izar Umma," ujar Abizar lirih.

"Apa yang sedang kamu pikirkan mas?" Tanya umma Fathimah yang kedua kalinya.

Abizar, pria tersebut menatap manik umma Fathimah seraya tersenyum. "Maafin Izar karena sudah diam-diam menyimpan rasa pada gadis yang belum halal untuk Izar."

Umma Fathimah pun tersenyum seraya mengusap pipi Abizar sayang. "Ndak popo Mas, setiap manusia berhak mencintai siapapun. Tapi ingat! Kamu tidak boleh mengutarakan perasaan kamu kecuali ada niat baik mau mengkhitbahnya."

Abizar pun mengangguk, rasanya perasaan aneh yang selama ini ia pendam pun akhirnya terutarakan. Meski, gadis yang dia cintai belum mengetahui hal ini. "Jika Izar ingin mengkhitbahnya, boleh?"

Umma Fathimah tersenyum menanggapi. "Minta restu sama Abah mu dulu lah mas, kalau umma ngikut sama keputusan Abah saja."

Abizar pun mengangguk. "Abah di kamar ndak?"

"Iya, baru saja pulang dari majelis desa," jawab Umma Fathimah membuat Abizar pun mengangguk pelan.

"Izar mau bicarain hal ini dengan Abah dulu, Umma di sini dulu ndak popo?" Umma Fathimah pun tersenyum kemudian mengiyakan.

Abizar pun menghela napasnya gusar. Entahlah, ternyata seperti ini rasanya akan mengkhitbah seorang gadis. Abizar mengetuk kamar Abuya dengan pelan, tidak lupa juga dengan salam. Setelah pintu terbuka, Abizar pun di persilahkan masuk ke dalam kamar Abuya Abdullah.

"Afwan sudah mengganggu Abah," ujarnya membuat Kyai Abdullah menggeleng.

"Ada apa toh mas? Tumben sekali kamu masuk ke kamar Abah di saat Umma mu ndak ada."

Yang di tanya hanya terkekeh. "Abah, salah ndak kalau Izar mencintai gadis yang belum halal untuk Izar?"

"Masyaallah pembahasanmu mas, rupanya putra Abah sudah dewasa. Apakah kamu mempunyai niat untuk mengkhitbahnya?" Bukannya menjawab pertanyaan Abizar tadi, Abuya Abdullah malah bertanya seperti itu.

Abizar mengangguk pelan. "Insyaallah Izar siap untuk mengkhitbahnya Abah."

Kyai Abdullah pun mengangguk. "Baiklah, segerakanlah niat baikmu itu."

Abizar menatap Abuya dengan tatapan berbinar. "Apakah Abah merestui Izar untuk mengkhitbahnya?"

"Untuk apa Abah menghalangi niat baikmu itu mas?"

Benar juga, bukannya niat baik harus segera di sampaikan?
"Tapi Bah, gadis yang Izar cinta belum begitu paham mengenai agama."

"Adanya kamu juga untuk membimbing dia, ndak popo. Kalau memang dia adalah gadis yang sudah di tetapkan untuk kamu, Insyaallah akan Allah mudahkan. Abah menerima keputusan baik kamu."

Diary Hijrah, ANTAGONISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang