Bab 19

1.3K 310 63
                                    

Play Mulmed
(Why Don't We - 8 Letters)

...

Keadaan sekolah benar-benar sepi ketika Taehyung dan Irene selesai dengan diskusi mereka. Sebenarnya olimpiade yang akan mereka ikuti masih akan dilangsungkan satu setengah bulan lagi tepat sebelum ujian akhir semester, namun guru pembimbing club matematika mereka adalah orang yang kompetitif dan ambisius. Karena itulah mereka selalu dipacu untuk berlatih soal kendati perlombaan masih jauh.

"Saat mengerjakan nomor 3c kupikir lebih baik jika kau gunakan rumus yang kuberikan. Aku mendapat cara singkat itu dari guru lesku saat masih di sekolah menengah pertama," ujar Joohyun sambil menatap kertas soal di tangannya. Ketika mengangkat pandangannya setelah mendengar bunyi klakson, ia pun tersenyum lebar. "Ayahku sudah menjemput. Kau mau ikut denganku? Kami akan mengantarmu pulang."

Taehyung menggeleng kecil. "Aku naik bus saja. Ada yang ingin kubeli sebelum pulang."

"Oh begitu ya. Baiklah, aku pergi dulu. Sampai bertemu lagi, Taehyung!" Joohyun melambai hangat sebelum akhirnya berlari menuju mobil ayahnya yang terparkir di depan gerbang sekolah.

Sesaat setelah kendaraan roda empat itu melaju, bahu Taehyung turun dan ia terpaksa menyingkir. Pening yang menyerang kepalanya kian menjadi hingga ia butuh waktu memejamkan mata dan berjongkok menahan sakit. Sejak tadi kepalanya sudah terasa seperti dihantam oleh gada besar kendati ia berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan Joohyun. Sejujurnya kondisi pemuda Kim itu sedikit kurang baik setelah kelelahan melakukan kebersihan dari pagi, namun ia enggan membatalkan jadwal belajar mereka karena merasa masih sanggup.

"Ah!" ringisan keluar dari mulutnya tanpa bisa dia tahan. Ketika hidungnya ikut terasa nyeri, ia pun membuka matanya dan menengadahkan kepalanya. Waktu seakan berhenti ketika bola matanya menemukan Jennie berdiri di depannya sambil mengulurkan tissue. "Jennie..."

"Aku tidak akan bertanya apa pun," ucap gadis itu dengan suara bergetar. "Ambillah!"

Karena Taehyung tak kunjung menunjukkan pergerakan, Jennie akhirnya ikut menjongkokkan dirinya di hadapan pemuda itu dan dengan hati-hati membersihkan lelehan darah yang mengalir dari hidung bangir yang diam-diam selalu dipujinya itu. Tak ada yang berbicara kendati posisi mereka saat ini terbilang dalam jarak intim.

"Terima kasih," bisik Taehyung nyaris tak terdengar.

Jennie menatap mata tajam milik Taehyung dan menggigit daging bagian dalam bibirnya untuk menahan tangisnya yang bisa meledak kapan saja. Bahkan setelah perasaannya dihancurkan oleh perkataan Taehyung pagi tadi, ia tak dapat membenci pemuda dingin ini hingga mampu mengabaikan eksistensinya yang terlihat kesakitan.

"Kulihat kau bersama Joohyun. Pasti kalian belajar bersama. Apa kau tahu bahwa kau menyebalkan?" tanya Jennie. Kini ia mengusap sisa darah Taehyung dengan ujung almamaternya sebab tissue di tangannya sudah penuh. "Seharusnya jika sedang tidak sehat jangan memaksakan otakmu. Kau mau cepat mati?"

"Aku pasti akan mati, Jennie." Taehyung tersenyum kecil dan mengusap pipi Jennie yang dibanjiri air mata dengan ibu jarinya. "Cepat atau lambat."

"Hei! Jangan bicara kematian!" seruan dengan nada protes gadis itu terdengar nyaring disusul lelehan air yang jatuh lebih banyak dari pelupuk matanya. "Jangan katakan itu lagi, Taehyung!"

"Kau bisa membuat orang lain berpikir aku menyakitimu. Sudah ya? Aku baik-baik saja." Taehyung menatap sekelilingnya dan berkata, "Baiklah. Aku janji tidak akan membahas kematian lagi."

Bukan semakin reda, tangisan Jennie justru semakin menjadi-jadi hingga membuat lawan bicaranya panik dan kewalahan. Meski tak tahu pasti mengenai penyakit yang sebenarnya Taehyung derita, gadis bersurai cokelat itu paham bahwa yang pemuda itu sembunyikan bukan lah penyakit biasa yang bisa diabaikan. Dirinya tak mampu menahan air mata sebab hatinya terasa hancur sekali melihat bagaimana sosok dingin itu meringis kesakitan sendirian demi menutupi semuanya.

"Jangan sakit..." lirih Jennie di sela isakan tangisnya. "Setidaknya jangan menyimpan kesakitanmu sendirian, Taehyung."

🥀


Tak ada percakapan yang melibatkan kedua remaja yang kini duduk bersebelahan di sebuah mini market. Seusai tangis Jennie mereda, Taehyung memutuskan untuk mengajak gadis cengeng satu itu mampir untuk makan mie. Tak ada penolakan sebab Jennie sendiri enggan untuk berbohong bahwa ia tidak lapar.

"Kau tidak makan?" Ketika pertanyaannya dijawab dengan gelengan, Jennie nyaris kembali menangis. "Maaf."

"Untuk?"

"Menawarkanmu mie instan. Kau pasti tidak bisa makan makanan murah," ujar gadis itu sengaja sedikit meracau agar Taehyung tak tersinggung. Menarik ingusnya yang nyaris meleleh, gadis itu berusaha untuk terlihat baik-baik saja dan tidak lagi mempermalukan dirinya dengan menangis. "Setidaknya beli sesuatu yang bisa kau makan. Aku merasa kikuk ditatapi seintens itu saat ingin makan."

"Kau cantik meski baru menangis." Taehyung tersenyum kecil ketika pandangan mereka bertemu. "Karena itu aku menatapmu."

"Diamlah!" sungut gadis Kim itu dengan sedikit salah tingkah. "Untuk apa memujiku jika kau pagi tadi bahkan dengan tega berbicara seperti itu di hadapan orang-orang? Kau tahu tidak perlakuanmu ini bisa memicu kesalahpahaman?"

"Maaf. Aku hanya tidak ingin orang lain berpikir yang tidak benar."

"Memangnya kenapa kalau benar? Kau malu berkencan denganku? Kenapa? Karena aku tidak lebih cantik atau lebih pintar dari Joohyun?" cecar Jennie tak mampu menahan isi hatinya keluar. Menyumpitkan mie ke dalam mulutnya dengan malas-malasan, sang gadis mendadak tersadar sesuatu. "Jangan dijawab!" tambahnya kemudian.

Taehyung itu kadang tidak berperasaan sama sekali. Bisa-bisa Jennie kembali menangis jika pertanyaannya itu dijawab secara jujur oleh kulkas berjalan satu itu.

"Usaha yang kau lakukan sia-sia. Kita bahkan tidak cocok menjadi teman. Aku benar-benar tidak bisa disandingkan denganmu."

Kunyahan Jennie mendadak melambat ketika mendengar satu kata yang keluar dari mulut Taehyung. Tangan panjang itu mengelus surainya dengan lembut dan menyelipkan anak rambutnya ke balik telinga agar tidak masuk ke mulut. Wajah tampan dengan kacamata yang bertengger di hidupnya itu tampak tersenyum tulus kepadanya, seakan perkataannya bukan perkara besar yang perlu dipedulikan.

Taehyung dengan mata berkaca-kacanya kembali bersuara dengan serak dan bergetar, "Aku tidak berniat menjadi temanmu karena pada akhirnya aku hanya akan melukaimu, Jennie. Aku tidak ingin membuatmu bersedih."

Detik setelah perkataan tersebut meluncur dari belah bibir Taehyung, kedua hati yang saling terhubung itu sukses dibuat hancur berkeping-keping.







(tbc)

(tbc)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dear You, Kim Taehyung [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang