Hana menggeleng cepat dengan ekspresi panik. "Gak usah ditandain aku gapapa, kok, Bi. Gak akan kemana-mana juga...."

"Udah, Bi... Hananya belum mau, masa kamu yang maksa, sih? Tapi, bener ya, Na... Jangan kemana-mana. Umi udah keburu sayang."

"Iya, Mi... aku juga sayang, kok. Tapi, biar aku fokus sama kuliahku dulu, ya... Aku baru daftar S2 soalnya. Nanti kasian Hans kalau gak aku urusin baik-baik karena perhatian aku kepecah ke banyak hal," ucap Hana memohon permakluman.

Hans tersenyum tipis, mengusap pelan rambut Hana sebelum kembali fokus ke makanannya.

"Aku juga setujunya sama Kak Hana. Jangan kemana-mana ya, Kak. Abang jangan ditinggalin, ntar dia ngaco lagi. Pacaran gonta-ganti yang dicari cantiknya doang kayak gak ada kriteria lain yang lebih bagus aja! Ngapain coba dulu begitu? Mending sama kak Hana aja, lah!" ucap Adelani yang tau-tau ikutan nimbrung.

Hana menatap Adelani dengan tatapan memelas. "Makasih, Dek, atas restunya, tapi kalimat kamu agak bikin deg, di hati. Iya emang, aku juga sadar kalau aku pacar Abang kamu yang paling jelek."

"Ehhh, gak gitu, Kak...cantik juga, kok...cantik...." jawab Adelani panik.

Hana tetap memegangi dadanya dengan ekspresi sedih. "Tapi aku bukan model kayak yang lain, Dek... Bukaaannn!!! Abi... Tolong, Bi... Jantungku, Bi....jantungku... Kayak tertusuk sembilu...." ucap Hana memelas sementara yang lain meledak tertawa.

---------------

Hans baru kembali setelah mengantar Hana pulang. Malam ini sesuai dengan permintaan adiknya, dia menginap di rumah orang tuanya. Seru rasanya berkumpul di tengah keluarga setelah sekian lama.

Kali ini mereka berkumpul di ruang keluarga, menonton TV sambil berbincang-bincang santai sampai Abi-nya menepuk bahu Hans, mengisyaratkan ingin bicara serius.

Mereka berdua menyingkir ke ruang tamu yang sepi sebelum akhirnya Abi-nya bicara. "Kamu serius, kan, sama Hana?"

"Serius, kok," jawab Hans yakin.

"Tapi, Hana beneran gak mau dilamar? Kamu dekat gak, sih, sama keluarganya?"

"Deket, kok. Gak ada masalah juga sama papa-mamanya. Ya kalau Abi nanyain restu dari keluarga Hana, harusnya, sih, aman-aman aja. Mereka baik, kok. kapan-kapan aku atur pertemuan, deh, biar Abi sama Umi kenal juga."

Mendengar penjelasan Hans, Abi-nya tampak termenung memikirkan sesuatu.

"Aku sama Hana baik-baik aja, Bi. Cuma kalau soal menikah, sepertinya Hana memang butuh aku yakinkan lagi. Mungkin Hana belum anggap aku cukup dewasa buat jadi suaminya. Buat bimbing dia...

Aku udah pernah nanyain dia soal pernikahan dan dia bilang, dia belum siap. Tadinya aku agak sakit hati ditolak begitu padahal aku ngerasa, aku udah cukup baik, kok, buat dia. Usia kami udah lewat dari batas legal buat nikah, penghasilanku juga lumayan. Seandainya Hana berhenti kerja pun, kurasa aku masih bisa menjamin dia untuk hidup nyaman.

Tapi, ya setelah sekian lama jalin hubungan sama dia, aku baru sadar... Aku masih banyak banget kurangnya dibanding Hana.

Hana, tuh...." Hans terdiam, tersenyum sedikit  mengingat kekasihnya.

"Dia pemikirannya dewasa banget, Bi. Punya perencanaan matang dalam hidup, tau apa yang dia mau dan gimana cara dia usaha untuk dapetin itu. Perencanaan keuangannya juga baik. Bagian itu aku tau banget dari cara dia ngelola dana yang aku kasih. Efisien aja gitu. Gak suka belanja impulsif kayak aku. Cara dia ngelola emosi juga bagus. Kalau aku marah, dia tau cara buat ngademinnya. Dia sering ngingetin aku macem-macem tanpa bikin aku merasa didikte atau dikekang. Dia satu-satunya wanita yang mau aku jadikan pendampingku.

Ha-Ha The Alternate Universe (a very long journey)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora