Ch 1

35.1K 2.1K 56
                                    

"Aku balik dulu."

Rea bangkit dari duduknya, ia membuat atensi semua yang berada di sana terarah padanya.

"Kok balik sih, Re? Jangan cepet-cepet napa." ucap Tian membujuk.

"Emang di rumah mau ngapain sih? Diem juga kan? Gak ada kerjaan. Bosenin, Re. Mending di sini aja." Allen ikut menyahut. Berharap Rea mengurungkan niatnya untuk segera pulang.

Tapi, bukannya Rea tidak menyukai berada di tengah-tengah mereka. Hanya saja, situasi ini terasa agak berat baginya.

Karena ....

"Mau abang anterin, Re?" Pertanyaan dari Arsen membuat Rea menoleh pada kakaknya itu, dia tengah merangkul mesra Zara -pacarnya.

Ada mereka.

Rea berusaha tersenyum. Dia berusaha menutupi rasa perih di hatinya.
"Gak usah, bang. Aku sendiri aja."

"Sendiri bahaya lho." Yogi tampak khawatir.
"Mending kita anterin aja."

Mereka semua peduli, hanya Zara yang terlihat sibuk dengan ponselnya sedari tadi, bersikap tidak peduli sama sekali. Ia bahkan tidak melirik Rea sedikit pun. Zara memang tidak menyukainya sejak awal, walau Zara merupakan pacar dari kakaknya, cewek itu sama sekali tidak berusaha bersikap manis pada Rea.

"Aku sendiri aja. Aku bisa jaga diri kok." Rea tetap pada keputusannya. Dia membuat empat cowok yang tadi membujuknya menghembuskan nafas pasrah.

"Ya udah. Tapi janji hati-hati ya!" Arsen berpesan, cowok itu tersenyum.

Rea mengangguk sambil balas tersenyum. Ia kemudian berjalan pergi dari sana.

"Dan jangan lupa, selalu di hati ya, Re!" Teriak Tian, berharap Rea bisa mendengarnya. Tapi kemudian ia meringis saat merasakan sebuah jitakan di kepalanya. Tian pun melotot ke arah Allen.

"Lo ngomong apaan sih, goblok?!"

"Itu pesen gue buat yayang Rea. Napa lo? Sirik?" Balas Tian sewot.

Sekali lagi ia meringis, kali ini tulang keringnya yang menjadi sasaran. Arsen terlihat menatap tajam padanya. Tian nyengir.

"Jangan godain adek gue!"

"Yaelah, Ar. Kalo lo gini terus, si Rea kapan punya pacarnya. Bakal jomblo seumur hidup dia punya abang kayak lo."

Sikap posesif Arsen memang kadang kelewatan. Ia akan menegur siapapun yang ketahuan menggoda atau mendekati adiknya. Arsen selalu menegaskan jika Rea belum boleh berpacaran. Itu sebabnya ia begitu melindungi Rea dari para buaya yang hendak mendekat.

"Kalo dia jomblo seumur hidup, gue yang jagain dia." tukas Arsen acuh.

"Kebangetan lo." cibir Yogi. Ia tampak jengkel dengan sikap Arsen yang sulit menerima nasehat tentang bagaimana sikapnya selama ini.
"Dikira sister complex lo lama-lama."

Diam-diam tiga teman mereka yang mendengar itu setuju. Tapi, Arsen tampak tenang menghadapi cercaan teman-temannya.

"Gue sayang ama Rea." papar Arsen, sukses membuat Zara membeku. Sesaat cewek itu terdiam menunggu Arsen kembali bicara, meluruskan.
"Dia adek kesayangan gue."

"Tahu lah lo, asu!" ketus Allen.

Dia tidak mau lagi berdebat dengan Arsen. Mereka sudah cukup lelah, karena Arsen benar-benar keras kepala.

****

Rea menatap langit, di sana warna biru sudah menghilang karena awan kelabu mulai menguasai permukaan. Tampaknya langit pun tahu bagaimana suasana hati Rea saat ini.

Sebentar lagi, langit pasti akan menangis.

Rea menghembuskan napas kasar.
"Emang sulit ya, suka sama kakak sendiri?"

Tidak ada yang bisa diharapkan. Garis takdir mereka hanya menjadi saudara. Rea pun tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menghapus perasaan ini. Sudah empat tahun, dan Rea masih belum berhasil menghapusnya.

Perasaan ini ... terlalu dalam.

Rea meremas dadanya yang sakit, teringat kembali setiap moment di mana ia harus menyaksikan kemesraan Arsen bersama pacarnya.

Perlahan, air mata mulai menggenang di pelupuk mata Rea. Semakin banyak, hingga akhirnya mengalir di pipinya.

Mata Rea terpejam, ia bergumam lirih.
"Ini sakit."

Ia tidak diijinkan untuk berusaha. Bahkan melangkah saja tidak bisa. Rea berada di batas yang tidak bisa ia lewati.

Kenapa tuhan begitu jahat? Menumbuhkan rasa ini hanya untuk menyakitinya. Bukankah itu terlalu kejam?

Rea sudah berusaha mundur dan melupakan, tapi semua tidak berguna. Rasa itu tetap tumbuh, dan semakin berkembang begitu besarnya hingga Rea tidak kuasa menahan diri. Rasanya ia bisa menerjang Arsen kapan saja, ingin memeluknya dengan sangat erat.

Rasa ingin memiliki itu semakin memberontak.

Tapi, apa yang bisa Rea lakukan?

Ia berusaha membuat diri sendiri mati rasa. Karena kehilangan kontrol hanya akan membuat Arsen menjauh darinya. Rea berusaha keras supaya Arsen tidak mengetahui perasaan Rea yang sebenarnya.

Agar Arsen tidak mengetahui jika ia mengalami brother complex.

Tiiiiitttttt !

Rea menoleh, dan tepat detik itu juga sebuah mobil menghantam tubuhnya hingga terpental.

Jerit orang-orang terdengar. Tubuh Rea terasa remuk setelah punggungnya menubruk tembok dengan sangat keras. Ia ambruk di tanah, dengan tubuh yang sudah tidak bisa lagi digerakkan.

Rea terbatuk, seciprat darah keluar dari mulutnya. Ia tersenyum, mengabaikan suasana yang mulai ricuh karena kecelakaan yang ia alami.

Tapi, Rea merasa senang. Ia bersyukur.

Tuhan, jika aku tidak diijinkan memiliki dia. Aku memilih pergi.

Jika aku kembali, aku ingin bersamanya.

Bolehkah?

Perlahan mata Rea mulai terpejam. Sebelum menutup sempurna, ia melihat dia, bersama teman-temannya mendekat dengan wajah shock.

"REA!!!"

Ah, suara itu ....

Walau sudah menutup mata, Rea masih bisa mendengar suara itu. Dan bagaimana tangan itu merengkuh tubuhnya, memeluknya. Rea merasakannya.

"Re, bangun sayang. Jangan kayak gini!"

Hati Rea dipenuhi euforia, walau tahu kata 'sayang' dari Arsen hanya berupa ungkapan sayang pada adiknya. Tapi tak urung, Rea merasa bahagia.

Tetesan air terasa mengenai wajahnya, terasa basah.

Arsen pasti menangis.

Pelukan itu terasa semakin bias. Dan suara orang-orang, suara di sekitarnya, suara Arsen, perlahan mulai tidak terdengar.

Lalu ... semua menghilang

Ternyata, sudah waktunya.

Selamat tinggal, Arsen.

****

My Brother's Girlfriend (End)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن