1. SURAT CINTA UNTUK X MIPA 1

Start from the beginning
                                    

Ekspresi marah sangat jelas di wajah guru mata pelajaran matematika itu. Dan sumbernya adalah Bara, dalam dua kesalahannya.

**

Di koridor kosong Bara berdiri seorang diri sembari meruntuk kesal. Sial sekali! belum genap tiga puluh menit jam pelajaran dimulai, ia sudah dikeluarkan saja dari kelasnya. Dan perihatinnya, ia seorang diri. Ia satu-satunya siswa yang bernasib tidak baik di senin pagi ini.

Laki-laki itu kemudian menyandarkan tubuhnya di dinding kelasnya dengan telinga yang samar-samar mendengar suara Bu Dira berpote-pote menjelaskan trigonometri. Lalu pelan-pelan mulai memejamkan matanya, efek kantuk karena ia baru tidur saat jam sudah menujukkan pukul dua malam.

Dari kejauhan, suasana tenang Bara kemudian diganggu oleh gesekan sepatu dengan lantai yang beradu karena pemiliknya cukup tergesa-gesa untuk berjalan. Hingga pas di depan Bara, suara benda jatuh nyaring terdengar.

BRAK!!!

Kumpulan buku paket yang dibawa oleh perempuan dengan rambut yang ia ikat satu itu jatuh berhamburan di hadapannya. Salsa Dhara Adisti, siswa kelas X MIPA 1, langsung menunduk, meraih dan segera merapikan ulang buku-bukunya, karena Ibu Nurul yang merupakan guru mata pelajaran Bahasa Indonesia sudah menunggu di kelasnya.

Bara dengan tatapan masih menyelidik, ikut bangkit membantu tanpa melihat wajah perempuan yang ada di depannya sekarang.

"Lewat X MIPA 2 itu harus pakai pajak, atau paling nggak, baca mantra, supaya aman, diizinin lewat sama penunggunya," ucap Bara, berniat bercanda.

"Sekarang udah jaman modern," balas Salsa, tanpa mengetahui lawan bicaranya karena sibuk menyatukan buku yang berhamburan, "harusnya mitos-mitos yang kayak gitu udah nggak diperlihara lagi sama anak muda jaman sekarang."

Bara tertawa kecil menyadari perempuan itu, adalah perempuan yang beberapa hari yang lalu ia doakan agar bisa bertemu kembali. Salsa

"Tujuan buku ini kemana?" tanya Bara, melainkan pembahasan.

Salsa sempat menghentikan aktivitasnya hanya karena untuk memastikan laki-laki yang sedang bersama ia lagi, dan benar saja, dia orang yang sama di Perpustakaan waktu itu. "Nggak usah, gue bisa bawa sendiri."

"Udah kesusahan masih aja enggan menerima bantuan? emang kalau manusia menolong manusia yang kesusahan, apa manusia yang kesusahan ini tercap buruk di mata Tuhan? enggak kan?" tanya Bara, retoris.

"Tapi gue bisa bawa sendiri," balas Salsa.

"Tapi gue nggak bisa ngeliat perempuan kesusahan," sela Bara. Ia kemudian merebut buku yang ada di tangan Salsa, memindahkannya pada genggaman tangannya. "Tujuannya kemana?"

Salsa menghela nafasnya, mengalah karena ia memang kesusahan, "X MIPA 1."

"Oh, lo anak kelas sebelah?"

"Kenapa?"

"Bagus," jawab Bara.

Salsa mengerutkan alisnya tanda tidak mengerti dengan tanggapan Bara.

"Bagus, soalnya kalau gue ada butuh, bisa lari ke lo buat minjam sesuatu, simbiosis mutualisme antar pelajar SMANDA," jelas Bara.

"Oh."

"Contohnya, gue minjam hati lo saat hati gue lagi luka," ceplos Bara.

Bara senang dengan perempuan yang ia jumpa ini saat pertemuan pertama kemarin, Bara merasa ia cukup beda dan ada keunikan yang menarik perhatiannya. Cara Salsa menatapnya itu beda, matanya jauh lebih jujur menghargai lawan bicaranya, juga mimik wajahnya. Intinya, Salsa Dhara Adisti ini, menarik, lebih menarik dari pelangi yang memamerkan tujuh warnanya, lebih menarik dari cerah setelah hujan, dan lebih menarik dari senja yang menyanjung warna jingganya.

DIA BARAWhere stories live. Discover now