《BAB 21》

8 5 0
                                    

Entah kenapa pagi ini gue ngerasa beda. Gue ngerasa kosong. Padahal apa yang gue harapin selama ini udah tercapai. Gue bisa dapetin Fay dan gue bisa beli motor ninja. Bahkan kemarin gue baru jalan-jalanan dan nemenin Fay belanja. Tapi hari ini pokoknya beda banget.

Gue natap ke cermin, cara berpakaian gue masih sama. Karena Fay adalah seorang aktris, makanya gue harus nyesuaian sama citranya yang bagus. Rambut gue masih tertata rapi, baju disetrika dan dimasukan, ada dasi juga dikerah leher gue, pokoknya gue ngerasa bayangan yang ada didepan gue terlihat bukan seperti gue.

"Lo siapa? Gue nggak kenal sama lo. Lo bukan Jeo. Elo bukan Jeo lagi!" gumam gue kearah banyangan seseorang yang berdiri tepat didepan gue. Tatapannya terlihat kosong sama kosongnya dengan tatapan gue.

***

Saat ini dikelas, gue cuma bengong terpikirkan oleh bunda yang terlihat aneh daripada hari-hari biasanya. Bahkan saat gue ajak bunda buat berangkat ke kedai, bunda malah menolak dan berkata kalo bunda ada urusan makanya kedai akan dibuka sedikit lebih siang. Gue sebenarnya curiga karena baru pertama kali ini bunda mau buka kedai diwaktu siang hari. Saat gue sedang asyik bengong lihat diluar cendela kelas, tib-tiba terdengar gebrakan dimeja gue.

"Je!" panggil Ojan kelihatam marah.

"Jangan sekarang, Jan. Gue lagi nggak pengen gelud sama lo."

"Ck, bego lo! Anak nggak ada akhlak!"

"Kalo gue nggak ada akhlak, terus elo apa?" tanya gue tajam karena Ojan tiba-tiba ngatain-ngatain gue yang nggak bener.

"Lo nyaman jadi bonekanya Fay, hah?"

"Apa-apaan lo. Nggak usah bawa-bawa Fay!" sentak gue marah.

"Gue tahu, lo udah salah cinta sama Fay! Gue tahu dari Rhea kalo Fay nggak sebaik yang lo pikirin."

"Jadi Rhea. Asal lo tahu aja, Jan. Rhea itu suka sama gue. Dia sengaja bilang sesuatu yang nggak bener soal Fay biar gue lepasin Fay dan Rhea bakal rebut posisinya Fay."

"Bego lo! Bego!" maki Ojan kesetanan. Gue juga kesel karena Ojan selalu ngatain gue bego. Gue rasa apa yang gue ucapin itu bener.

"Lo udah gelap mata, Je. Lo udah nggak sayang sama bunda lo?"

"Gue tetep sayang sama bunda gue. Nggak usah sok tahu lo."

"Lo masih bantuin bunda jualan? Enggak kan. Akhir-akhir ini lo sibuk ngurusin cewek lo itu."

"Nggak usah ikut campur urusan gue lo. Pergi sana!"

"Ck, gue salah udah temenan sama lo, Je. Nyesel gue jadi temen lo."

"Gue juga nyesel jadi temen lo!"

"Hahaha, lo nyesel ke gue gegara apa?  Kalo gue nyesel bisa temenan sama lo gegara lo anak nggak punya akhlak. Lo nggak tahu kan kemarin kedai bunda ditarik sama rentenir!"

Deg!

Rentenir. Satu kata yang selalu buat gue overthinking mikirin bunda. Gue baru tersadar, hutang mendiang suaminya bunda menumpuk buat bunda harus lunasinnya. Makanya bunda bangun kedai itu dan jualan boba. Bahkan bunda kerja keras buat nabung biar gue bisa kuliah. Teringat perjuangannya bunda selama ini yang selalu bekerja keras buat gue merasa bersalah. Bener kata Ojan, gue anak yang nggak berakhlak, nggak tahu diuntung. Gue seharusnya nggak pantes jadi anaknya bunda. Seharusnya gue dulu nggak ketemu orang sebaik bunda.

"Gue harap, penyesalan lo belum terlambat, Je. Mumpung bunda lo masih ada," kata Ojan dengan pelan. Dan kalimat terakhirnya buat gue terdiam mematung.

***

Hari ini Fay jadwal syuting makanya dia ijin sekolah. Tadi Fay kirim pesan ke gue bilang mau ketemuan di cafe karena dia mau ngasih kejutan. Gue mau cepet-cepet pulang dan mau minta maaf sama bunda. Tapi gue jadi bimbang dengan pilihan ikutin  permintaannya Fay atau pulang saja ke rumah? Pada akhirnya gue lebih memilih Fay dan gue nelpon bunda.

"Bunda, Jeo minta maaf. Jeo nggak tahu kalo kedai---"

"Sshhttt.... Nggak papa Jeo. Bunda ngerti kok. Kamu juga lagi seneng-senengnya punya pacar."

"Bunda, Jeo beneran minta maaf. Udah ngecewain Bunda. Jeo udah buat Bunda kecewa banyak banget."

"Enggak, Jeo. Bunda ngggak kecewa sama kamu. Bahkan Bunda bangga sama Joe karena Jeo mau berkorban banyak buat merjuangin cintanya Jeo. Bunda doian yang terbaik buat hubungan Jeo sama Fay."

"Makasih, Bun. Semoga saja Fay jadi yang pertama dan terakhir buat Jeo."

"Ya udah, sana kamu lanjut. Katanya mau ketemu sama Fay di cafe. Bunda mau nyari lowongan pekerjaan dulu."

Sumpah, denger bunda bilang gitu rasanya gue mau sujud di kaki bunda. Gue mau minta ampun secara langsung. Tapi posisi saat ini gue harus ketemu sama Fay. 

"Bun, Jeo janji bakal cari pekerjaan buat Bunda dan Jeo."

"Kamu jangan maksain diri. Kamu masih sekolah, fokus sekolah dulu. Biar Bunda yang cari pekerjaan."

"Nggak, Bunda. Jeo mau nebus kesalahan Jeo. Biarin Jeo cari pekerjaan yang layak buat Bunda."

"Iya udah nanti waktu pulang saja kita bahas lagi. Keburu Fay nungguin kamu kelamaan loh. Entar kasihan dia sendirian."

"Iya, Bunda."

"Dengar ya, Jeo. Bunda itu bangga banget punya anak kayak Jeo. Jadi kamu nggak usah merasa kecewa sama diri kamu sendiri."

"Baik Bun."

Setelahnya sesi telepon gue sama bunda berkahir.

***

Setibanya di cafe yang udah ditentuin, gue cari ke segala sudut cafe tapi ternyata Fay belum datang. Gue putusin buat nungguin Fay disana. Tanpa sadar gue udah nungguin Fay selama sejam. Selama itu juga gue nelpon Fay berkali-naki tapi nggak ada balasan. Entah kenapa gue ngerasa perasaan gue nggak enak. Gue ngerasa khawatir dan gelisah pada sesuatu tapi gue nggak tahu itu apa.

Apa jangan-jangan perasaan gelisah ini berhubungan sama Fay? Apa Fay baik-baik saja sekarang? Sekarang Fay ada dimana? Kenapa nggak bales telpon gue?

Suara ponsel yang berdering buat lamunan gue buyar. Gue langsung angkat telpon yang ternyata dari Ojan.

"Halo, Jan." sapa gue ditelpon.

"Elo ada dimana, Je? Cepet pulang lo!" teriak Ojan kedengaran lagi marah.

"Gue lagi di cafe nungguin Fay."

"Bego lo. Masih aja mentingin Fay."

"Fay itu pacar gue kalo lo lupa. Fay itu juga berarti buat gue. Jadi gue harus mentingin Fay diatas segalanya. Gue seharusnya----"

"Terus kepergian bunda nggak berarti buat lo?!" sentak Ojan marah dan berhasil buat gue kaget.

"J-Jan. Lo bilang apa? B-bunda pergi?" tanya gue gagap karena gue syok dengan perkataannya Ojan.

"Iya, Je. Bunda pergi. Beliau meninggal karena tabrak lari."

Tut!

Saat itu juga gue langsung matiin telponnya dan keluar dari cafe. Bawa motor melaju ke arah jalan pulang dengan kecepatan penuh. Jadi, inilah penyebab gue merasa gelisah sedari tadi. Bukan karena Fay, melainkan karena bunda. Bunda telah pergi? Gue terlambat. Gue terlambat buat minta maaf secara langsung ke bunda. Bahkan gue belum bersujud didepan mata kakinya. Gue reka ulang ingatan gue tentang percakap tadi ditelepon. Gue syok saat teringat dengan perkataannta bunda.

"Denger ya, Jeo. Bunda itu bangga banget punya anak kayak Jeo. Jadi kamu nggak usah merasa kecewa sama diri kamu sendiri."

.

Damn! It's Fake Love [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang