《BAB 02》

25 10 2
                                    

Pagi hari, gue langsung datang ke kedai boba punya bunda gue. Btw, gue bangun kesiangan jadi nggak bantuin bunda bawa barang-barang kesini. Gue langsung cium pipi bunda dari belakang dan buat bunda berjenggit kaget.

"Assalammualaikum, Bunda. Pagi."

"Astaga, kamu tuh ngagetin Bunda aja. Waalaikumsalam," balas bunda buat gue tersenyum geli. Bunda natap ke arah gue dengan tatapan herannya yang gue balas dengan tatapan tak kalah herannya.

"Kamu nggak berangkat sekolah?" tanya bunda. Oh, jadi ini yang buat bunda gue natap dengan heran. Gue lihat ke arah baju yang gue pakai. Gue cuma pakai kaos putih sama celana jeans panjang selutut. Gue lanjut bantuin bunda nurunin kursi pengunjung ke bawah.

"Enggak, Bun. Jeo nggak sekolah."

"Kenapa nggak sekolah?"

Gue langsung noleh ke arah bunda. Tersenyum tipis teringat kejadian kemarin saat gue berantem sama Dennis. Gue mendekat ke bunda dan raih kedua tangan halusnya. Gue cium dua tangan itu.

"Bunda, Jeo ijin berantem kemarin. Maaf, Jeo baru ijin sekarang," kata gue lirih. Ya, gue udah pernah janji sama bunda, kalo gue mau berantem, gue harus ijin dulu ke bunda. Selain biar gue dapet restu biar menang, bunda juga nggak bakal terlalu khawatir ke gue.

"Kenapa berantem lagi?"

"Bunda ingat Dennis? Dia berulah lagi Bun. Jeo udah peringatin dia berkali-kali, tapi tetep aja Dennis gangguin Ali. Jeo berantem juga mau belain Ali."

Gue lihat bunda narik sudut bibirnya, tersenyum menenangkan ke arah gue. Buat gue ikut tersenyum juga. Berdiri menghadap gue dan rapiin anak rambut gue yang sengaja gue panjangin. "Ya udah nggak papa. Kalo Jeo emang beneran mau belain Ali, Jeo bunda bolehin berantem sama Dennis. Tapi jangan diulangin lagi ya."

"Jeo nggak janji, Bunda," bisik gue pelan yang buat Bunda memukul pelan lengan gue.

"Iya, Bunda. Iya."

Bunda tersenyum, merasa puas dengan jawaban gue. Kemudian balik lagi ke meja penjual. Terlihat bunda lagi siapin beberapa bahan buat dijual. Gue masih menata meja dan kursi pembeli. Gerakan tangan gue terhenti saat bunda berkata.

"Kalau Jeo nggak berangkat sekolah karena diskors gegara berantem kemarin, seharusnya surat peringatan dari sekolah sampai ditangan Bunda. Tapi kenapa sampai sekarang Bunda nggak dapat surat peringatan ya?"

Mampus gue! Gue kudu ngomong apa? Gue kan sebenarnya nggak diskors. Gue harusnya masih berangkat sekolah seperti biasanya. Gue juga nggak dapat surat peringatan dari sekolah karena gue cuma dihukum bersihin toilet. Gue bolos bukan karena gue nggak mau dihukum tapi karena alasan lain

"Anu Bun, itu apa, suratnya--"

"Hayo, Jeo mau bohongin Bunda ya? Jeo mau bolos ya, nggak mau belajar hem?"

"Bukan gitu, Bunda. Jeo cuma--"

"Cuma apa?" tanya bunda dengan tatapan penuh selidik. Kalo begini, udah fix, gue nggak bisa buat alasan lain ke bunda. Karena bunda adalah orang satu-satunya yang nggak bisa gue bohongin. Gue narik napas pelan, siap mau kasih alasan sebenarnya kenapa gue bolos.

"Karena kemarin Jeo sama Dennis berantem, kita berdua dibawa ke BK, Bun. Terus Dennis dapet surat peringatan dari sekolah. Tapi Jeo nggak dapet surat itu. Jeo cuma dapet hukuman buat bersihin toilet. Karena Jeo merasa nggak adil, makanya Jeo juga ikutan nggak berangkat sekolah. Jeo lakuin itu biar nggak ada rasa kecemburuan sosial. Gitu Bunda."

Bunda melangkah mendekat, kemudian meluk gue sayang. Dan langsung gue balas pelukannya. Hem, nyaman banget dipelukannya bunda.

"Bunda bangga sama Jeo. Itu artinya Jeo punya rasa peduli yang tinggi. Meskipun sama Dennis, yang jelas-jelas nggak suka sama Jeo, tapi Jeo masih sempat memikirkan perasaannya. Tapi Jeo jangan lupa juga, lakuin hukuman Jeo kalau Jeo udah berangkat sekolah."

Damn! It's Fake Love [SELESAI]Where stories live. Discover now