xxvii. perkara puisi

552 64 8
                                    

Butuh waktu sekitar empat puluh menit untuk perjalanan dari villa milik Papa sampai ke rumah Una. Jalanan pagi ini cukup basah sebab guyuran hujan semalam. Eksistensi matahari juga nggak terlihat, tertutup oleh awan mendung pagi ini.

"Tuh, tau gitu mending bawa mobil kan aku."

Una nggak menggubris omongan Jeffri barusan. Cewek itu lebih memilih untuk ngecek ulang barang-barang yang ada di dalam tas nya. Takut-takut ada yang tertinggal.

"Jeff, nanti mampir apotek dulu, ya. Persediaan obat maag aku habis."

Setelahnya Jeffri ngeluarin satu strip obat maag dari balik denimnya.

"Idih, cenayang ya lu?"

"Ya kan semalem lo cerita ke gue, yang. Inisiatif aja sih tadi mampir dulu ke apotek."

Una sama Jeffri nggak selalu pakai aku-kamu kalau ngobrol. Mereka juga masih pakai lo-gue kadang. Spontan aja, kayak barusan.

"Ayah sama Bunda mana? Mau ijin."

"Tuh, bentar lagi kesini."

Bener aja, Ayah sama Bunda tiba-tiba udah ada di ambang pintu. Ya nggak tiba-tiba muncul juga, cuma memang pas keduanya jalan ke arah pintu, Jeffri nggak liat. Liatnya pas tau-tau Ayah sama Bunda udah berdiri di ambang pintu.

"Bunda, Om." Jeffri sun tangan Ayah sama Bunda.

"Anak Ayah nanti dijagain yang bener, pokoknya harus ada di deket Una terus," pesan Ayah.

Bukan Jeffri namanya kalau nggak membalas dengan jawaban yang tengil. "Begini ya, Om?" katanya sambil ngerangkul Una.

"Hey, aduh, tengil banget ini pacar si Teteh." Ini Bunda yang komentar sambil nepuk bahu Jeffri.

Jeffri responnya cuma ketawa aja, tapi tetep, itu rangkulannya nggak dilepas sampai keduanya berhenti tepat di depan motor yang akan mereka tumpangi.

"Bentar, ada telfon."

Jeffri akhirnya ngelepas rangkulannya dari bahu Una. Cowok itu ngarahin ponselnya tepat di depan wajah. Di sela-sela pembicaraannya dengan orang di seberang telfon, mata cowok itu ngelirik Una sebentar sambil bilang, "Ini Ibu yang telfon" tanpa suara.

Una narik pelan lengan Jeffri. "Aku mau ngobrol," katanya. Lantas Jeffri ngarahin ponselnya ke Una.

"Pagi, Ibu cantik!"

Di seberang sana Ibu tertawa. "Pagi juga Una cantik. Udah izin sama Ayah Bunda?"

Una ngangguk antusias, tambah antusias lagi sewaktu Ibu ngarahin ponselnya ke Nana yang lagi duduk di kursi kemudi.

"Ih, Ibu tau nggak? Una udah lama banget tuh nggak ketemu si bungsu. Coba tanyain kemana aja dia, Bu, kemarin?"

Di seberang sana Nana ikut ketawa. "Habis hunting ayang, Teh."

"Wah... dapet nggak?"

"Dapet lah, habis ini mau dijemput."

"Lo yang bawa mobil?" Ini Jeffri yang nanya. Nana ngangguk sebagai jawabannya. "Hati-hati, jangan ngebut."

"Iya, nih si Aa kayaknya takut Nana kenapa-napa, Bu."

"Lebih takut mobilnya yang kenapa-napa sih gue."

"Aa nggak boleh gitu ah."

"Iya enggak, Aa bercanda aja tadi, Bu."

"Udah ya, Ibu tutup, jangan melipir kemana-mana, langsung ke tempat tujuan aja."

"Langsung, Bu, liat deh nanti yang sampai duluan pasti Una sama Jeffri," balas Una bercanda.

"Bener ya, Teh? Kalo Nana duluan yang sampe, Teh Una traktir Nana makan di Sushi Tei."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 03, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

21:00, jaehyun.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang