xxiv. (21:00)

846 128 38
                                    

Jam sembilan malam.

Jeffri masih ingat betul se-sering apa dia ke rumah Una di jam sembilan malam dan berakhir ketemu Ayah sambil bawa sapu dan udah ancang-ancang mau pukul Jeffri pakai benda itu.

Jeffri juga masih ingat betul kali pertama dia ketemu Una. Setahun lalu, jam sembilan malam, dimana Jeffri dikira tukang ojek sama Una.

Masih banyak yang terjadi di jam sembilan malam. Jeffri nggak tau ini kebetulan atau emang takdir. Tapi yang Jeffri tau, sejak pertemuannya sama Una yang selalu terjadi di jam sembilan malam, dia paham kalau ada rasa yang tumbuh seiring berjalannya waktu dan enggan untuk memudar.

"Una tuh kayaknya lagi sakit," Pelan-pelan, Ayah naruh dua buah cangkir kopi hitam itu ke meja.

Jeffri ngangguk, berlagak seolah-olah dia udah tau soal ini. Padahal sejujurnya cowok itu belum tau dan cukup kaget dengernya.

"Akhir-akhir ini Una emang sibuk, Om. Ditambah suka tiba-tiba panik sama overthinking kalau malam."

Yang barusan dikatakan Jeffri nggak sepenuhnya salah. Tapi jelas itu bukan alasan utama kenapa Una bisa jatuh sakit.

Ayah ngangguk beberapa kali sebelum menyeruput secangkir kopi hitam panas favorit beliau. "Saya tuh masih agak takut sebenernya," jelas beliau tepat setelah naruh cangkir itu kembali ke atas meja.

"Takut kenapa, om?"

"Takut kalau Una ketemu sama anak itu lagi."

Susah payah Jeffri masang raut wajah se-tenang mungkin.

"Dulu sehari setelah kejadian itu, dia sama orang tuanya datang kemari."

"Orang tuanya?!" Jeffri yang sadar kalau barusan suaranya sedikit lebih tinggi langsung berdeham, "maksud Jeffri... Itu tuh Papa sama Mama nya atau..."

"Enggak... dia datang hanya berdua sama Mamanya."

Jeffri bernapas lega setelahnya. At least, Papa nggak ikut waktu itu.

"Kamu tau? Saya kira dia kemari mau minta maaf dan menyelesaikan masalah secara damai. Tapi ternyata dia justru nyalahin dan maki-maki Una. Waktu itu saya benar-benar marah, nggak ada seorang ayah pun yang tega lihat anaknya dimaki-maki begitu."

Tangan Jeffri mengepal saat itu juga. Rahangnya mengeras, rasanya kayak ada benda tajam yang menghantam dadanya. Fakta yang baru dia dengar sekarang nggak sebegitu mengagetkan dibandingkan dengan fakta kalau Hanggara melakukan hal itu karena cowok itu mau Una jadi milik dia sepenuhnya. Dibanding menyebutnya sebagai rasa suka atau cinta, Jeffri lebih milih untuk menyebutnya sebagai obsesi.

"Ayah, dipanggil Bunda."

Una yang biasa Jeffri lihat adalah Una yang selalu senyum, yang selalu ketawa, yang selalu nanya, "martabaknya mana?" kalau Jeffri main kerumah, dan akan bilang, "wah parah, ini sih langsung di blacklist dari daftar calon mantu sama Ayah," Kalau Jeffri main tapi nggak bawa martabak.

Una yang Jeffri lihat sekarang adalah Una yang cuma diam dan nggak banyak ngomong. Wajahnya pucat, matanya sayu, pangkal hidungnya juga keliatan sedikit memerah.

"Bunda dimana, Teh?"

"Dapur."

"Yaudah kalo gitu kalian berdua ngobrol dulu, Ayah nggak bakal ganggu."

Jeffri terkekeh, sedangkan Una cuma senyum tipis.

Una punya alasan tersendiri kenapa akhir-akhir ini dia memilih untuk nggak terlalu dekat sama Jeffri. Semenjak kejadian malam itu-dimana Una ketemu lagi sama Hanggara-dia merasa emosinya jadi nggak stabil.

21:00, jaehyun.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang