D u a E n a m

6.5K 779 59
                                    

Semuanya terlihat gelap, disini juga terasa dingin.

Jeje tidak tau ia sedang berada dimana, yang jelas tempat ini asing dan tidak pernah ia datangi. Sampai sosok perempuan memakai baju putih mendekatinya, Rinda dengan senyum kecil dan mengusap rambut Jeje.

"Mamah?"

"Ini Ayah sayang, bangun!" Rinda ditelan cahaya tergantikan dengan sosok pria yang berdiri disampingnya. Mimpi itu terasa begitu nyata. Heran, itu yang Jeje rasa. Siapa pria di depannya ini.

"Ayah?"

Jeje baru sadar jika ia sedang berada di rumah sakit, luka di wajahnya juga perlahan kering. Tenggorokannya juga haus sampai pria kisaran umur 37 itu memberinya segelas air putih, lalu Jeje menenggaknya hingga tandas.

"Om siapa?" Jeje tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya, apalagi pria itu menyebut dirinya Ayah.

"Ayah kamu," jawabnya lalu mengeluarkan kartu nama membuat Jeje bingung setengah mati. Jika ia ayahnya, kenapa baru datang sekarang, kenapa harus setelah Jeje sudah terbiasa dengan sendiri.

Jika boleh jujur, Jeje tidak pernah menyangka sosok ayahnya setampan ini. Ia kan tidak cantik, wajar saja Jeje dibuat heran.

"Dan ini pekerjaan, Ayah."

"Jes, Ayah pengen kamu tinggal bareng sama Ayah." Lanjut Fery, sembari menaruh id card tepat di hadapan Jeje. Jeje menatap mata pria yang masih ia ragukan jika itu Ayahnya sendiri, sampai akhirnya orang yang lagi-lagi tidak Jeje kenal datang.

"Shaloom," ucap Nenek tua yang membawa dua plastik putih itu ke dalam ruangan tempat Jeje di rawat. Jeje sempat risih kala nenek tua itu mencium pipi juga mengusap rambutnya, ia tidak pernah merasa disayang seperti ini.

"Gil."

"Iya, Mah?"

"Kamu belum jelasin apa-apa sama Jesica?" Fery menggelengkan kepalanya dan nenek bernama Amara itu menghembuskan nafasnya lelah, mau sampai kapan Fery  menyembunyikan rahasia sebesar ini.

"Yaudah, Mama balik lagi kesini kalo kamu udah jelasin semuanya." Amara melenggang dari sana, tidak lupa mengusap sebelah pipi Jeje sebelum ia pergi.

"Jelasin apa?"

Fery Gideon, seorang pilot di maskapai penerbangan nasional Indonesia. Garuda Indonesia, jadi tempat selama ini ia bekerja, Fery tidak tau anaknya sudah tumbuh besar seperti yang ia lihat saat ini.

Lima tahun sudah pencarian Fery selama ini, mencari anak semata wayangnya yang sudah tumbuh besar berwajah manis dengan mata sayu yang terlihat menggemaskan, Fery memang tidak pernah melihat Jeje sekali pun sampai detik ini pula, ketiga hari ia menemani Jeje di rumah sakit ia masih merasa speechless. Jeje terlalu nyata meski hanya untuk ditampik.

"Mulai sekarang panggil Ayah ya," Jeje tampak tidak bergeming, hingga detik ke delapan Fery meneteskan air matanya kala mendengar suara Jeje memanggilnya dengan sebutan Ayah. Seperti ada gelenyar aneh yang meletup di dadanya. Fery terlalu bahagia hari ini.

"Ayah sama Mama kamu itu pacaran sejak SMK, kami kenalan di tempat tongkrongan, dia anaknya bandel sampai pernah di DO dari sekolah dan berakhir luntang-lantung di jalan, karena orang tuanya tidak menganggapnya lagi. Akhirnya kami tinggal seatap, di Apartemen Ayah sampai kejadian itu terjadi, kami kelewat batas dan Mama kamu hamil. Je, Ayah mau lanjut sekolah sampai nenek kamu sendiri yang mengusir Rinda dari Apartemen. Nenek pikir, Rinda penghambat masa depan Ayah, nenek nggak mau masa depan anaknya hancur karena perempuan. Padahal, anaknya sendiri yang sudah hancurin masa depan juga mental anak orang. Je, Ayah minta maaf. Jangan benci nenek juga yah!"

"Jadi Mama sendirian?" Fery paham betul arti kata sendirian yang baru saja Jeje lontarkan itu, Rinda memang sendirian menghadapi semuanya.

"Jangan benci Ayah ya sayang."

"Gimana aku mau benci, sedangkan sosok Ayah yang selama ini aku tunggu." Fery tersenyum hangat dan memeluk tubuh ringkih Jeje ke dalam dekapannya.

"Hari ini kamu bisa pulang dan kita mulai hidup dari nol lagi, oke?" Jeje menganggukkan kepalanya membuat Fery gemas dan mencubit hidung anaknya itu.

"Ayah gak bakal biarin kamu terbang sendirian, Je. Ayah Janji, kamu bahagia setelah ini." Jeje mengangguk dan memeluk tubuh Fery lagi, sampai Amara kembali dan tersenyum senang melihat anak dan cucunya tengah berpelukan.

Sore harinya setelah Jeje benar-benar diperbolehkan pulang, Fery membawa mobilnya pelan dan sesekali melirik Jeje yang terlihat gelisah menatap layar ponsel. Rencananya sebelum pulang mereka berdua akan menyambangi restauran dulu dan makan bersama untuk pertama kalinya.

Sementara Amara sudah pulang duluan dan menunggu di rumah. Fery membuka kan pintu dan menggandeng tangan Jeje keluar dari mobil, katanya Jeje ingin sekali makan di restoran Shabu dan BBQ.

"Mau Ayah gendong, masih lemes kan?"

"Nggak usah!" Beberapa pengunjung mall tampak melirik Jeje yang tidak sadar suaranya sangat keras, Fery terkekeh dan mengusap rambut Jeje lembut. Restauran itu tepat di dalam pusat perbelanjaan, tidak salah juga ia juga bisa langsung membeli keperluan Jeje hari ini.

"Angkat dulu telponnya, gak baik diemin orang." Meski Jeje masih kaku dan belum terbiasa dengannya, Fery harus ekstra sabar dan menunggu Jeje untuk bisa terbuka dengannya.

"Gak perlu, Yah. Gak penting," Fery mengangguk saja dan membiarkan Jeje mematikan ponselnya secara total, kenapa baru sekarang Deo menghubunginya.

"Pacar kamu?"

"Jesi gak ada pacar, Yah." Fery mengangguk lagi dan menggrill daging, Jeje yang tidak paham dengan bumbu apa saja yang sedang Ayahnya racik hanya bertugas memakan saja.

"Jes, Ayah emang orang baru di hidup kamu. Tapi janji jangan rahasia-rahasiaan ya."

"Iya, Ayah!" Kekeh Jeje dan memakan daging yang baru saja Fery kasih pada mangkok kecil yang ia pegang.

"Makan yang banyak, kamu harus gemuk."

"Jahat banget nyuruh anaknya gemuk."

"Kok jahat, bagus dong!"

"Kalo aku obesitas gimana?" Tanya Jeje berniat bercanda, Fery malah tertawa dibuatnya. Hingga larut malam akhirnya mereka pulang, tentu saja dengan tangan penuh. Ternyata niat belanja dan membelikan banyak barang untuk Jeje benar adanya, bahkan Fery tidak sayang dengan seringnya kartu debitnya di gesek beberapa kali.

"Astaga, kalian ini. Nenek nunggu dari siang!" Amara mengomel sembari menyambut Jeje ke rumah barunya, memeluk cucunya dan membawanya masuk ke dalam. Sementara Fery di biarkan diluar dengan tumpukan paper bag di kedua tangannya.

"Bi Sari udah siapin kamar kamu dari kemarin, nanti Jesi tidurnya di kamar atas ya!" Jeje mengangguk saja sembari melihat isi kamarnya yang di dominasi warna coklat juga putih, terlihat begitu aesthetic dengan beberapa buku komik di rak kecil  yang tertempel di dinding.

"Sekarang istirahat dan jangan mikirin apa-apa, besok Ayah yang nganterin kamu sekolah." Fery meletakan paper bag itu di ranjang kamar anaknya , Jeje tersenyum kecil dan menatap Fery lama.

"Kenapa?"

"Aku boleh peluk Ayah lagi gak?" Fery tentu saja tidak menolak dan menyambut Jeje ke dalam pelukannya, mengusap punggung ramping Jeje dan mencium pucuk kepalanya berkali-kali.

Amara tidak bisa membendung kebahagiaannya sampai air matanya menetes, ikut bergabung dan memeluk anak dan cucunya itu, mengucapkan beberapa kata maaf pada Jeje.

"Makasih."







_____

Jadi laper.

Makan seblak enak kali ya.


ARDEO MAHENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang