D u a E m p a t

7.7K 823 14
                                    

Deo berjalan santai di lorong menuju Apartemennya, sembari membawa beberapa paper bag dikedua tangannya. Semuanya perlengkapan untuk Jeje. Siapa lagi jika bukan untuk perempuan berwajah manis itu.

Setelah puas berbelanja dengan sang ibu dan hendak pulang, saat itu pula Rio datang menjemput sang istri. Sementara Deo kembali masuk ke pusat perbelanjaan dan berbelanja sendiri. Sebenarnya ia cukup bingung, namun hal itu teratasi dengan mbak-mbak penjaga toko.

"Jeje, Jes!" Deo memanggil Jeje sembari menaruh paper bag itu di sofa, berjalan menyusuri ruang Apartemennya dan menemukan Jeje tengah berdiri tenang di balkon kamar.

"Je," panggil Deo sekali lagi hingga akhirnya perempuan yang sekarang memakai kaos polos itu menatap Deo dan berjalan cepat ke arahnya. Memeluk tubuh tinggi Deo membuat cowok itu mematung.

"Deo, laper," ujar Jeje dan Deo terkekeh. Menggandeng tangannya dan membawa Jeje agar duduk di sofa empuk dan ia menyerahkan bungkus makanan berat padanya.

"Sorry ya. Yaudah makan!"

"Gue pake baju Lo, maaf ya. Jadi buka lemari deh," Deo menggelengkan kepalanya sembari mengusap rambut Jeje, ternyata dibalik sikapnya yang kasar. Jeje juga bisa manja.

"Gak papa kok, makan yang kenyang yah. Aku ganti baju dulu," Jeje mengangguk sembari menguyah makanan yang Deo beli untuknya.

Mcd lagi.

Lama sekali Deo dikamar hingga terdengar gemericik air disana, mungkin Deo juga mandi. Selesai makan dan mengambil minum dari dapur, Jeje kembali ke ruang tengah. Hanya duduk, lalu perhatiannya teralih pada pada paper bag yang ada disana. Jumlahnya ada delapan pula. Apa isinya, Jeje jadi penasaran. Tapi ia tidak mungkin membukanya sampai pemiliknya datang.

"Punya kamu semua," ujar Deo yang baru saja datang dengan rambut yang terlihat basah.

"Buat gue?" Tanya Jeje tidak yakin.

"Iyalah, buat siapa lagi."

"Deo," panggil Jeje saat Deo baru saja duduk disampingnya.

"Kenapa?"

"Ada rokok gak? Gak betah banget abis makan," Deo menghembuskan nafasnya setelah mendengar kalimat tidak mengenakan itu. Ia juga bisa menebak jika Jeje akan bertanya perihal itu. Lalu, Deo merogoh celana pendeknya dan menyerahkan sebungkus rokok juga pematiknya.

"Makasih," ucap Jeje dan Deo mengangguk.

Tidak lama kemudian asap-asap kecil keluar dari mulut Jeje, sementara Deo malah asik membongkar paper bag yang paling kecil disana. Isinya ponsel.

"Udah di setting, dan udah ada nomor aku disitu. Tinggal pake."

Mendengar itu, Jeje menghembuskan nafasnya lelah. Sebegitu perhatiannya Deo padanya, ia tidak habis pikir kenapa tuhan menciptakan Deo dan pria itu hadir di hidupnya.

Seharusnya, Deo mendapatkan perempuan yang masih gadis. Cantik, atau paling tidak sederajat dengan keluarganya. Bukan perempuan yang sudah tidak perawan dan miskin sepertinya.

Jeje ingin menangis saja rasanya.

"Je, kok ngelamun?" Tanya Deo mengusap sebelah pipi Jeje dan memegang ujung dagu Jeje dengan gemas.

"Nggak papa."

"Beneran?" Tanya Deo tidak yakin. Jeje menggelengkan kepalanya sembari tersenyum, mencoba menyakinkan Deo jika ia benar-benar tidak apa-apa.

"Mikirin apa sih?"

"Nggak mikirin apa-apa," jawab Jeje.

"Terserah deh," ujar Deo menyerah dan menyerahkan ponsel yang masih mulus itu pada Jeje. Bahkan cowok itu sudah menekan fitur kamera dan tersenyum lebar sembari menempelkan wajahnya di pipi Jeje.

ARDEO MAHENDRAWhere stories live. Discover now