T u j u h B e l a s

8.7K 1.1K 51
                                    

"Kamu ngapain duduk di belakang? Depan!"

Deo berdecak dan keluar lagi dari mobil, duduk disebelah Ayahnya yang duduk dikursi kemudi. Sementara Jeje yang terpaksa ikut sedari tadi masih diam dan tidak berkutik di kursi belakang.

Fortuner hitam pun melaju di jalanan.

"Makan! Belum sarapan kan? Kalo ada masalah tuh pulang," ujar Rio dan Deo mengangguk sekenanya. Membuka paper bag Mcd dan memakanannya.

"Je, mau?" Tawar Deo dan Jeje menjawabnya dengan gelengan kepala. Jeje mendadak jadi pendiam, apalagi tatapan Ayah Deo yang terlihat garang padanya.

Jeje sebenarnya malu, ke gep ciuman dengan anaknya. Apalagi di jam pelajaran. Ia terlalu takut disebut pengaruh tidak baik untuk Deo.

"Kenapa gak pulang?" Tanya Rio lagi.

"Kasus kok ciuman mulu, tawuran dong kayak Mama kamu."

Deo benci sekali dengan Ayahnya tadi, menyusul dirinya ke rooftop bersama ibu Riska, guru BP yang beberapa kali memberinya hukuman.

"Nih minum!" Suruh Rio lagi dan memberikan dua kaleng susu beruang pada anaknya itu.

"Abisin, jangan sering ngilang Deo. Orang tua khawatir!" Deo berdeham dan meminum susu kalengnya, berniat memberikan satunya lagi pada Jeje namun tertahan oleh sang Ayah.

"Gak usah, Om beliin ini. Suka? Udah lama pacaran sama Deo?" Tanya Rio dan Jeje yang tersenyum kaku. Baik sekali Ayahnya Rio ini, membelikan chatime. Sementara anaknya dikasih susu.

Padahal chatime itu titipan Agla.

"Baru, Om."

"Baru? Belum lama maksudnya?" Kekeh Rio dan Jeje mengangguk canggung sembari menggaruk belakang kepalanya. Duh, kenapa jadi kaku seperti ini.

"Iya om. Belum lama," jawab Jeje.

"Belum lama udah cium-cium ya?" Tanya Rio lagi. Jeje jadi malu, apalagi bertatap mata dengan Ayah Deo. Meski lewat cermin, tetap saja membuatnya merasa takut.

"Ayah!" Tegor Deo.

"Apa sih, De? Ayah kan lagi ngetes calon mantu," ucap Rio dan Jeje membulatkan matanya. Calon mantu? Jauh sekali.

"Orang tua masih lengkap, Je?" Tanya Rio yang sekarang nadanya terdengar lebih ramah. Jeje menggelengkan kepalanya dan Rio meminta maaf tanda tak enak.

"Saya gak punya Ayah, Om."

"Ibu saya seorang PSK, saya minta maaf udah lancang pacaran sama anak om," ucap Jeje sembari menutup matanya.

"Jeje," Deo tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tidak menyangka jika Jeje akan mengatakan hal itu pada Ayahnya.

"Gak apa, gue udah biasa nerima penolakan Deo."

"Kamu kira om sejahat itu, Je?" Jeje yang semula menunduk menegakan kepalanya. Tidak menyangka Ayahnya Deo akan bicara seperti tadi.

"Nggak gitu mak...,"

"Selagi kamu bukan janda, om fine-fine aja!"

Itu masalahnya. Jeje itu perawan bukan, janda bukan.

Baru saja Jeje akan menjawabnya Deo menggelengkan kepalanya agar Jeje tidak bicara lebih jauh. Hal itu akan menyakiti hatinya sendiri, Deo tau. Setelah itu ketiganya terdiam, yang terdengar hanyalah suara musik dari payung teduh dan deru kendaraan yang saling bersahutan. Oh, jangan lupakan bagaimana Deo meminta tangan Jeje untuk ia genggam secara diam-diam.

Padahal, sudah jelas Rio melihatnya.

Padahal, sudah jelas Rio melihatnya

Ops! Esta imagem não segue as nossas directrizes de conteúdo. Para continuares a publicar, por favor, remova-a ou carrega uma imagem diferente.


"Kamu udah apain anak orang, Deo?"

"Harus tau batas!" Omel Rio dan Deo berdecak kesal.

"Ngomelnya nanti aja bisa gak, Yah? Deo malu."

Rio diam lagi dan akhirnya mereka sampai di kediaman yang sudah dua minggu Deo tinggalkan. Saat mengambil mobil pun ia tidak masuk rumah, bertemu dengan Mamanya saja tidak.

"Kamu bawa Deo pulang?" Deo bisa mendengar suara Mama bertanya pada Ayahnya. Rio mengangguk dan masuk ke dalam rumah, sementara ibu yang tengah mengandung itu berdiri di teras menunggu anaknya keluar dari mobil.

"Yuk!" Ajak Deo pada Jeje.

"Takut," cicit Jeje dan Deo terkekeh pelan.

"Mama gue galaknya cuma ke Ayah doang kok," ucap Deo dan Jeje mengangguk. Keduanya keluar dari mobil dan Agla menyambut Deo dengan hangat.

Memeluk dan menciumi seluruh wajah Deo.

"Mama khawatir loh kamu gak ada kabar, bawa mobil udah kayak maling."

"Maaf," sesal Deo.

"Mama apa kabar?" Tanya Deo selanjutnya. Pemuda itu mengusap perut Agla yang semakin hari makin membuncit. Ia tidak sabar menunggu kelahiran adiknya. Jika dipikir-pikir jauh juga selisihnya ia dengan adiknya nanti.

"Baik. Kamu bawa siapa?"

"Manis banget kayak Mama waktu muda," ujar Agla dan Deo menampilkan ekspresi jijik.

"Makasi tante, saya Jesica," ujar Jeje memperkenalkan dirinya. Mamanya Deo cantik sekali, meski terlihat agak bulat karena tengah hamil hal itu tidak mempengaruhinya.

"Yuk masuk! Mama seneng loh Deo bawa pacar ke rumah," seru Agla dan menggandeng tangan Jeje memasuki kediamannya. Sementara Deo, menatap punggung dua perempuan itu masuk kedalam sembari menggelengkan kepalanya.

Agla dan Jeje duduk di sofa ruang tamu, sementara Deo yang baru saja mendudukan dirinya harus kembali bangkit kala Ayahnya menghubunginya lewat pesan singkat.

Jika sudah begini, pasti ada obrolan serius.

"Nginep ya disini?"

"Semalem aja, gak apa kok." Ujar Agla kesenangan. Bicara tentang menginap padahal hari masih pagi.

"Nanti jadi beban, ngerepotin banget," cicit Jeje dan Agla menggelengkan kepalanya sembari tersenyum hangat.

"Gimana? Mau kan?" Tanya Agla lagi dan akhirnya Jeje menganggukkan kepalanya.

Detik selanjutnya Agla mengajak Jeje ke kamar Deo, kamar yang sering ditinggal pemiliknya. Selalu terlihat rapi pertanda tidak ada kehidupan disana. Sebenarnya Agla cukup sedih karena Deo sering sekali menghilang tanpa kabar, Apartemen yang kini sandinya tidak diketahuinya bahkan Deo susah sekali jika dibujuk ke rumah.

Padahal Deo juga kesepian, dirumah tidak ada orang yang bisa ia ajak main. Jadi, jangan heran mengapa Deo tidak sabar menunggu adiknya keluar.

"Nah, ini kamar Deo."

"Dia itu suka banget ngoleksi buku, tapi gak pernah dibaca." Ujar Agla memulai obrolan. Jeje hanya mampu tersenyum, andai saja Mamanya seperti wanita yang ada dihadapannya kini. Pasti hidupnya tidak akan hancur.

"Emang buku apa?"

"Gak tau, dia beli kalo covernya bagus."

"Yang paling parah, ngoleksi motor tapi gak pernah dipake," ujar Agla lagi dan menunjuk gantungan kunci yang disana terdapat banyak kunci motor yang tergantung.

"Ayahnya yang nurutin, tapi yang paling sering dipake motor beat," Jeje terkekeh mendengarnya. Kelakuan orang kaya ada-ada saja.

"Seriusan loh, Je. Katanya kalo bawa motor yang lain terlalu keren," ucap Agla lagi sembari terkekeh.

"Tante," panggil Jeje dan Agla menatapnya sembari tersenyum hangat.

"Saya boleh jujur?" Agla mengerutkan keningnya. Namun, tidak kama kemudian ia pun mengangguk.

"Saya cinta sama Deo, tapi kalo buat bareng sama dia saya gak bisa."

Agla terdiam beberapa detik dan mengusap rambut anak perempuan yang duduk disampingnya. Jeje menunduk sembari meremas jemarinya, sementara Agla masih menatapnya.

"Kenapa?" Tanyanya kemudian.

"Saya malu, saya gak bisa. Kita gak setara."












Udah ah ngantuk, see you.

ARDEO MAHENDRAOnde as histórias ganham vida. Descobre agora