S e b e l a s

9.7K 1.2K 74
                                    

"Mau jadi apa sih kamu nanti hah?" Pertanyaan itu mengalun pelan. Namun, kenapa terdengar begitu menusuk di telinganya. Mau jadi apa? Bukankah itu pertanyaan mudah, namun sulit untuk dijawab.

"Denger Ayah gak?!" Dan Deo mengangguk dalam tangisnya.

Untuk pertama kali selama 18 tahun hidup, Deo tidak pernah mendapat bentakan seperti ini. Ia tidak menyesal sudah menampar Aleta, karena cewek itu ia kehilangan keperjakaan bibirnya. Tapi, untuk ayahnya yang sudah membentak dirinya, ia tidak bisa menerimanya.

"Kalo denger jawab, mental laki tunjukin!"

"Lo kalo ngomong bisa pelan gak? Inget! Lo lagi ngomong sama anak gue," ucap Agla geram dengan kelakuan Rio. Dahi pria itu mengkerut heran sampai akhirnya terkekeh pelan.

"Ta, kamu bisa bayangin gak sih? Deo nampar cewek, dan itu prilaku yang enggak baik."

"Kan lo udah denger alasan anak lo Rio, lo gak bisa seenaknya bentak-bentak dia."

"Kok kamu jadi ikutan marah?" Tanya Rio.

"Emak mana yang gak marah liat anaknya dibentak?"

"Tapi gue bapaknya anjir!" Diam-diam Deo menahan tawanya agar tidak meledak. Ia tidak paham dengan jalan pemikiran kedua orang tuanya. Bisa-bisanya berdebat saat dirinya yang jadi objek permasalahan.

"Lagian mikir dong, Yo. Deo kan gak sengaja nampar Aleta, lagi pula itu kan kesalahan cewek anaconda itu.  Seenaknya ambil keperjakaan bibir anak gue."

Rio berdecak kecil melihat kedua telapak tangan istri dan anaknya saling bertos ria. Entah apa maksudnya, Rio jadi kesal sendiri karena ulah mereka.

"Sebenernya lo lagi kenapa sih, Yo? Masalah ginian doang di gede-gedein? Deo kan cuma di skors bukan di DO. Lo kalo ngomong kayak gak pernah muda aja," ujar Agla lagi membuat Rio yang duduk di sebrangnya tampak mati kutu. Sialan memang istrinya itu, kalau bicara benar semua.

Rio memejamkan matanya sebentar dan membukanya kembali, memijit pangkal hidungnya pelan. Ia terlalu pusing menghadapi masalah di kantor, ditambah ia harus menghadapi masalah Deo di sekolah. Drama Aleta yang katanya mendapat kekerasan dari anaknya. Membuatnya kepalanya pusing tujuh keliling.

"Yaudah terserah kamu, urus anak manja itu!"

Deo menegapkan duduknya dan menatap punggung ayahnya yang tengah berjalan menaiki tangga. Ia tidak terima dengan perkataan ayahnya barusan. Apa? Anak manja.

"Anak manja?" Rio menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya. Deo tersenyum miring dan berdiri. Sementara Agla yang merasa atmosfer kali ini berbeda dengan sigap merapat dengan Deo dan mengusap punggung anaknya.

"Sebenernya cara ayah liat aku itu gimana sih? Bukannya ayah yang selalu ninggalin Deo."

"Ayah ada waktu gak buat Deo selama ini?"

"Kalaupun ada waktu, Ayah pernah gak ngajak Deo liburan. Jangan liburan deh, kejauhan. Main gitu. Pernah gak?"

"Bukannya kalo ada waktu ayah selalu buat plan sama mama buat nanjak dan ninggalin aku di rumah. Ayah pernah nanya gak? Deo kesepian apa nggak? Deo gak butuh duit yang setiap bulan Ayah kirim ke rekening Deo. Buat apa, sedangkan kasih sayang Ayah yang Deo idam-idamkan aja, gak pernah Deo dapet."

Bahu Rio melemas saat Deo berkata begitu panjang tentang keluhannya selama ini. Rio pikir, anaknya sudah dewasa mengenai itu. Rio juga tidak pernah berpikir ternyata Deo juga mempunyai beban dalam hidupnya.

"Kalian terlalu sibuk sama hoby," ujar Deo lagi dan meninggalkan keduanya dilantai bawah.

Ardeo Mahendra dengan segala kekesalannya.

Agla dan Rio saling bertatap dalam diam. Tidak pernah Deo seterbuka ini, tidak pernah Deo sejujurnya ini mengenai perasaannya.

"Lain kali kalo ada masalah di Kantor, gak usah di bawa ke Rumah ya, Yo."

"Mandi sana! Gue udah siapain baju ganti, udah siapin makan juga. Gue ke kamar Deo dulu," Ujar Agla lagi dan Rio mengangguk sekenanya. Kenapa rasa bersalah mendadak memenuhi rongga dadanya.

Sementara Deo yang kini sudah berada di kamarnya menghembuskan nafasnya pelan. Berjalan menuju balkon dan mengeluarkan sebatang rokok dalam sakunya. Jangan bilang siapa-siapa jika ia merokok!

"Keterlaluan gak ya gue?" Gumam Deo.

"Enggak ah, emangnya the Potters." Ujarnya kembali dan menghisap rokoknya.

Deo tidak pernah semarah ini sebelumnya, hanya saja ketika mendengar ayahnya mengatakan dirinya anak manja ia sangat tidak terima. Manja darimana? Ia sangat mandiri.

Mandiri; Mandi sendiri.

Ada yang sudah tau jika selama ini Deo mempunyai usaha? Tidak usah dikasih taulah, nanti kalian suka.

Sampai sebuah ketukan pintu membuat dirinya buru-buru mematikan rokok dan melemparkannya ke taman bawah. Dasar bodoh! Asap rokok akan tetap tercium Ardeo, apalagi asap yang menempel di bajumu.

"Sayang."

"Masuk aja mom," Agla tersenyum lebar. Mommy, artinya anak itu tidak lagi marah padanya.

Agla masuk dan duduk di sebelah anaknya. Ibu yang tengah mengandung itu tersenyum kecil dan mengusap rambut Deo dengan lembut.

"Masalahnya berat banget ya, kok gak pernah cerita?"

"Deo gak pernah punya masalah, Mah. Cuma akhir-akhir ini kayak cape banget, badan juga sering lemes. Ditambah Ayah nanya nanti mau jadi apa? Pertanyaan susah!"

"Perkataan Ayah kamu tadi jangan diambil hati ya!"

"Ya gimana caranya, aku kan punya hati."

"Lembut lagi," ujar Deo lagi dan menumpukkan kepalanya dipaha Agla.

Langit sore yang sebentar lagi senja menemani keduanya, angin lembut turut membelai wajah Deo yang kini menghadap perut Agla.

"Kamu kapan keluarnya sih? Abang udah gak sabar."

"Ada-ada aja, sabar dong!" Ujar Agla.

"Sabang dor!" Jawab Deo dan mendudukan kembali tubuhnya.

"Mah, di dunia ini cuma ada 3 hal yang pengen Deo wujudin."

"Apa itu?" Tanya Agla dan meraih kedua tangan Deo untuk ia genggam. Agla senantiasa tersenyum di hadapan anaknya, kenapa ia mendadak sedih.

"Lulus tes Akademi Militer, bahagiain Mamah sama Ayah. Nikahin Jeje, udah. Itu doang," ujar Deo dengan senyum kecilnya.

"Mama baru tau cita-cita kamu. Gak mau nerusin perusahaan Ayah?" Tanya Agla lagi. Juju saja, ia baru tau jika candaan tentang impiannya memakai baju loreng sewaktu TK adalah cita-citanya.

"Nggak, males banget kerja depan laptop."












_____

Sekian Abad baru update.

Apa kabar?

Disini baik.

ARDEO MAHENDRAWhere stories live. Discover now