29

37K 7.2K 406
                                    

Ada hari yang rasanya menyenangkan, karena banyak sekali hal-hal yang gue lakukan bersama Sean. Sean yang paling banyak mengajak gue untuk melakukan ini itu. Seperti piknik di dekat sawah, lihat matahari terbenam, petik jeruk langsung di pohonnya.

Ada hari yang rasanya membuat kesal karena isi kepala gue begitu penuh. Kalau sudah penuh yang susah bukan hanya gue, tapi Sean juga susah. Sean kadang harus melihat gue menangis, kadang marah-marah, atau mendengar apapun yang keluar dari mulut gue. Kalau nggak segera dikeluarkan rasanya pusing sekali, ketika ditahan malah membuat gue berteriak.

Ada hari yang rasanya membuat gue lelah. Terutama setelah pergi terapi. Kadang gue merasa lelah karena harus membuka semua luka. Kadang juga fisik gue terasa lelah karena terapi nggak melulu isinya curhat, kadang gue diajak untuk bergerak, duduk diatas bola raksasa. Pokoknya lelah dan ingin sudah!

Kemudian, ada hari yang terasa menakutkan, karena harus ke pengadilan dan itu seram sekali! Gue pernah duduk dilihat hakim, kemudian ditanya-tanya macam-macam. Ah! Nggak mau ingat! Seram sekali! Benci! Benci! Rasanya takut! Nggak mau lagi!

Dan selama itu Sean selalu ada di dekat gue. Sean selalu ada. Di mana ada Sean, di situ ada Lanika. Kalau Sean pergi, pasti gue juga diajak.

Ke mana saja.

Belanja sayur, pergi ke peternakan buaya, pergi ke tukang servis mobil, pergi ke bank, pergi ke kecamatan juga gue di ajak.

Gue paling suka ke peternakan buaya. Buaya punya Sean ternyata besar-besar. Katanya mau dijadikan tas mahal.

Hari-hari yang kami jalani. Menyenangkan tidaknya sepertinya bergantung pada isi kepala, dan perasaan gue saat itu. Kalau sedang kacau dan nggak bisa diajak berpikir, maka hari itu rasanya nggak akan menyenangkan, meskipun Sean sudah membujuk ini dan itu.

Pagi ini sepertinya gue mengalami halusinasi, dan hal itu cukup membuat gue merasa sedih.

Kenapa gue nggak segera normal?

Sean sedang memasak di dapur. Sementara gue memilih kembali ke kamar setelah mengira ada kue di meja depan TV.

Di dalam ingatan gue, Sean memanggil gue untuk keluar dari kamar dan menawarkan kue berwarna cokelat. Dia bilang ditaruh di depan TV. Tapi setelah gue ke sana, di sana nggak ada kue.

Sedih sekali.

Gue kembali naik ke atas tempat tidur dan menangis dalam diam sampai Sean membuka pintu kamar.

Tanpa suara apapun, Sean tiba-tiba ikut masuk ke dalam selimut dan memeluk gue erat. Tangan mengusap-usap punggung gue.

"Kenapa?" tanyanya akhirnya.

"Ka?" panggilnya.

"Aku halusinasi lagi," jawab gue pelan sambil menempelkan wajah ke dada Sean.

Sean mengeratkan pelukannya. Dan gue rasanya makin nggak ingin lepas. Bau Sean selalu enak untuk dihidu.

"Enggak apa-apa. Kamu udah bisa sadar kalau yang kamu pikirin itu nggak nyata udah bagus, kok. Meskipun awal kelihatan nyata banget," ucapannya selalu sama.

Katanya bagus kalau gue pada akhirnya bisa menyadari kalau gue tadi hanya berhalusinasi.

"Tadi halusinasi apa?" Sean sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap gue, kepalanya sedikit menundukkan karena gue tidur sedikit ke bawah untuk menempel di dadanya.

Gue mendongak, kemudian bergerak naik untuk mensejajarkan kepala kami. "Kamu nawarin kue coklat di depan TV."

Sean tersenyum. "Aku beliin ya?"

Marvelous HubbyWhere stories live. Discover now