12

41.2K 7.5K 888
                                    

Sean menarik paksa dan membawa gue ke dalam kamar tamu. Hal yang terjadi berikutnya adalah gue dikunci di dalam kamar. Gue mendang-nendang pintu sekeras mungkin, namun Sean tak kunjung membuka pintu tersebut.

Pada akhirnya gue hanya bisa duduk di dalam kamar dan termenung. Andai saja di sini terdapat jendela, gue akan nekat memecah jendela agar bisa keluar dari neraka ini.

Tekad gue sudah bulat. Gue ingin pergi dari semua ini. Gue ingin pergi ketempat di mana nggak seorang pun mengenal gue. Gue ingin pergi dari sini, dan membuang semua diri gue yang dulu.

Entah sudah berapa lama gue terduduk di dalam kamar ini. Gue masih duduk sambil menatap pintu dengan pandangan kosong, saat terdengar suara langkah mendekat.

Tak lama Sean datang dengan nampan yang dapat gue lihat membawa baskom berukuran kecil dan secangkir teh panas yang asapnya masih nengebul. Ketika matanya menatap gue, gue buru-buru membuang muka.

Gue merasakan gerakan Sean yang duduk di samping gue. Kemudian dia mengambil tangan gue yang dia tarik paksa. Sean itu badannya tinggi, tegap, dan besar. Bayangkan saja tarikannya yang menarik seorang perempuan dengan berat 48 kilo? Mudah sekali baginya.

Kain basah yang hangat pelan-pelan Sean usapkan ke pergelangan gue. Dari gerakannya, rasanya dia sangat berhati-hati. Di saat Sean sedang mengusap pelan pergelangan tangan gue, yang gue lakukan hanya membisu dan membuang muka.

"Ka?" panggilnya pelan yang mana nada bicaranya sudah tidak sekeras tadi. Melembut? Mungkin...

"Lanika?" ulangnya.

"Kita pisah aja, Yan," kataku dengan tegas dan masih enggan menatapnya.

"Aku usahain Kios baru buat Ayah," ujarnya yang membuat gue akhirnya menatap ke arahnya dengan tajam.

"Kamu pikir ini cuma soal Kios?!" tanya gue sinis. "Enggak, Yan! Lebih dari itu! Ini soal aku, kamu, keluarga kamu, dan keluargaku. Semuanya! Dan kamu hanya berpikir kalau ini soal kios?!" Gue tertawa getir meremehkannya.

Sedangkal itukah pikiran Sean?

"Memang nggak ada yang bisa dipertahanin di sini, Yan. Apalagi yang mau kita pertahanin? Kita ini bisa saling menghancurkan, Yan!"

Sean hanya diam sambil terus merawat pergelangan tangan gue.

"Aku ini nikah sama kamu cuma demi uang, Yan. Memang nggak salah kalau nenek kamu bilang aku ini gold digger. Iya aku emang gold digger, aku mau uang kamu. Cuma itu. Dengan uang kamu aku bisa bantu keluargaku. Aku bisa buat adik-adikku menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Iya! itu rencanaku, Yan. Aku manfaatin kamu."

Sean kemudian berdiri di depan gue, kemudian dia mengambil dompet dari saku celananya. Dengan cepat Sean mengeluarkan kartu-kartu yang ada di sana dan menaruhnya di paha gue.

"Ambil semua. Kamu bisa pakai sesuka kamu, buktikan kalau kamu memang seperti yang dikatakan Oma," tantangnya masih berdiri di depan gue.

Gue buru-buru mengambil semua kartu itu, tanpa basa-basi gue mematahkan kartu-kartu. Tanpa rasa bersalah, gue membuang potongan kartu-kartu itu begitu saja ke lantai.

"Sayang sekali. Sekarang aku nggak butuh. Sekarang aku cuma mau pergi dari sini dan ngejalanin hidupku! Percuma aku di sini, seperti orang jual diri!" Aku hendak berdiri, namun dengan mudahnya Sean kembali mendudukan gue.

"Kamu nggak jual diri!" serunya.

"Oh ya? Terus ngapain? Tukang jaga rumah yang kerjaannya ngurusin tuan rumah, dan jadi pelampiasan nafsu kamu ya?"

"LANIKA!" Teriaknya sambil memegang bahu gue kencang. Sean berteriak tepat di depan wajah gue.

Gue menelan ludah susah payah. Badan gue gemetar, tapi gue berusaha untu terlihat tetap tegar.

Marvelous HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang