01

57.6K 7.7K 556
                                    

"Harga ayam naik?"

"Tanya melulu, aku bukan penjual ayam! Naik juga cuma lima ratus perak. Nggak bikin kamu rugi juga!" gerutu gue sambil menaruh semangkuk sup yang gue masak.

Sean masih menatap nota amis bau ayam, dan lecek di atas meja. Setiap hari begitu, Sean akan mendapat nota pembelian ayam atau daging dari Pak Ojat—dia yang mengurusi buaya-buaya Sean.

"Jualan ayam sounds good. Nanti kamu bisa pantau kenaikan harganya. Mau?" tanya Sean santai.

Bercanda ala Sean selalu seperti itu. Dia sering melibatkan uang dan peluang usaha sebagai bahan candaannya.

"Aku kasih tahu. Dalam dunia usahan kenaikan harga meskipun cuma seratus perak itu penting. Kamu bisa rugi kalau nggak tahu update harga. Di langganan kamu harga naik lima ratus perak, bisa jadi di penjual lain naiknya cuma dua ratus perak. Kenaikan harga bahan pangan itu pasti terjadi. Tapi nggak diikhlasin juga," ceramahnya panjang.

Gue memilih mengabaikannya dengan mengambil piring untuk kami, lalu menuangkan air untuk Sean.

"Aku mau kopi," pinta Sean.

Ketika di rumah, Sean biasanya hanya minum air putih. Dia sangat membatasi konsumsi gula, kafein, dan alkohol. Di hari biasa, Sean hanya mau minum minuman dengan gula, kafein, dan alkohol apabila sedang ada acara.

Padahal hampir setiap hari Sean memiliki banyak acara, terutama pertemuan dengan rekan bisnis, belum lagi acara nongkrong dengan kaum boros sosialitanya.

Supaya dia terhindar dari penyakit diabetes dan anteknya, ketika sedang di rumah biasanya Sean hanya akan meminum air putih.

"Nggak ada acara emangnya?" tanya gue sambil membuka laci tempat kopi, teh, dan sebangsanya bersarang.

"Nanti harus ke rumah Mami."

Mami itu mamanya Sean, dan Sean sangat menurut sekali. Apapun kata Mami, Sean akan menurut. Disuruh nikah sama gue aja nurut.

"Oh..." Gue menjawab dengan oh kecil dan melanjutkan pekerjaan gue, membuatkan kopi untuk Sean.

Sean masih duduk di meja makan. Kali ini dia membuka iPad miliknya. Biasanya dia akan memeriksa laporan dari asistennya. Mengelola banyak bisnis tentunya nggak mudah. Butuh orang-orang kepercayaan untuk menjalankan roda bisnisnya.

Baru beberapa saat dia memeriksa laporan bulanan salah satu usahanya, Sean sudah berdecak. Itu tandanya ada sesuatu yang nggak berjalan sesuai dengan keinginannya.

"Bisa rugi kalau begini terus," gumamnya.

"Rugi kasih makan buaya? Bagus dong! Ganti ternak sapi aja, makanya rumput lebih murah. Ya kan?" tanya gue yang sebetulnya gue tahu yang sedang dia bahas saat ini bukan usaha ternak buaya, melainkan usaha yang lain.

Gue yang udah selesai membuat kopi langsung menghampirinya.

"Nih minum dulu." Gue menggeser cangkir kopi untuknya sambil melirik ke arah layar iPad-nya.

Helaan nafas yang kasar kembali terdengar, alis Sean masih menukik tajam.

"Itu usaha apa?"

"Toko bangunan. Yang paling baru."

Jangan kaget dengan yang paling baru. Sean punya lima usaha toko bangunan. Tapi yang paling baru ini memang yang menurutku paling aneh.

Semua usaha Sean itu biasanya didirikan di daerah perkotaan. Target pasarnya memang menengah atas. Semua yang dia jual kualitasnya selalu yang terbaik.

"Lagian kenapa kamu buka toko bangunan di pelosok begitu? Pasti kalah saing lah. Orang desa nggak mikir kualitas, Darto! Kalau bikin rumah yang penting berdiri."

Marvelous HubbyWhere stories live. Discover now