06

43.2K 7.1K 1K
                                    

"Aku di rumah aja?"

"Terserah. Di rumah juga masih banyak yang harus diberesin kan?" tanya Sean balik sambil memakai dasinya.

"Iya. Ya udah aku di rumah aja," kata gue akhirnya sambil memperhatikan caranya memakai dasi.

Gue nggak pernah memakaikan Sean dasi, karena gue nggak bisa. Dulu waktu sekolah dasi gue model rekatan, jadi gue nggak tahu bagaimana cara membentuk dasi sedemikian rupa.

Hari ini sepupu Sean yang bernama Ceilin akan menggelar pesta ulang tahun untuk anak mereka. Harusnya digelar dua minggu yang lalu, namun diundur karena anaknya yang berusia enam tahun itu merengek ingin pergi ke Disney Land.

Gue jadi penasaran, kalau kami nanti memiliki keturunan, apakah Sean akan menuruti kemauan anak kami seperti sepupunya yang lain? Atau kah, dia masih pelit seperti ini?

Bicara soal keturunan. Sean belum ingin memiliki anak. Entah sampai kapan, yang jelas di awal pernikahan dia bilang dia belum mau memiliki anak karena harus fokus dengan bisnisnya.

Gue juga nggak masalah, karena gue juga nggak ingin terburu-buru. Apalagi gue harus mempelajari sifat dan kebiasaan Sean terlebih dahulu di tahun pertama pernikahan kami.

Bicara soal ulang tahun keponakan Sean, dan keputusan gue untuk di rumah. Setiap Sean mendapat undangan dari keluarganya, gue akan bertanya pada Sean, apakah gue harus ikut?

Meskipun gue diam dan seolah nggak peduli dengan perlakuan keluarga besarnya, tapi gue yakin Sean tahu persis alasan gue selalu bertanya apakah gue harus ikut. Pertanyaan itu hanya semacam formalitas saja. Kalau ditanya betulan mau atau tidak, jawabannya adalah tidak.

Sebulan setelah kami menikah, gue memang selalu ikut ke dalam acara keluarga Sean. Di sana gue hanya diam, karena mereka terlihat enggan berinteraksi dengan gue. Keluarga Sean itu keluarga besar, kalau berkumpul bisa puluhan orang dan sangat ramai. Menempel pada Sean atau Mami juga hal yang sulit karena biasanya mereka akan sibuk dengan urusannya.

Kalau sudah berpisah dengan Sean atau Mami, gue biasanya hanya duduk diam sambil melihat saja. Untungnya gue bukan orang yang cengeng yang akan mengadu dan menangis.

"Buat acara nikahan besok Minggu kamu harus ikut. Aku nggak mungkin dateng sendiri." Sean yang selesai menggunakan dasi menatap ke arah gue lurus.

"Harus banget, Yan? Nanti jadi pacar kamu lagi?"

Mengingat yang dulu-dulu ketika gue buru-buru dikenal kan sebagai pacar Sean dihadapan banyak orang, sebetulnya menimbulkan efek trauma tersendiri. Sangat mustahil untuk langsung membantah kala itu, karena hal itu akan mempermalukan kami semua.

Tapi mau sampai kapan? Dan mungkin besok hari Minggu adalah jawabannya.

"Paling sebentar lagi nyebar ke mana-mana," jawabnya santai. "Aku mau sarapan," lanjutnya yang merupakan tugas untuk gue supaya menemaninya turun ke meja makan.

Sesaat kemudian langkahnya terhenti karena gue nggak segera ikut berjalan, dan masih terduduk diujung tempat tidur.

"Ka. Mau makan," ujar Sean yang terdengar nggak sabaran.

"Anu..." Gue masih berpikir.

"Apa?"

"Nanti keluargamu gimana? Kalau temen-temenmu tahu, otomatis mereka bakal tanya kenapa nggak cerita dari dulu? Dan kemungkinan mereka bakal tanya kenapa aku disebut pacar kamu?"

Gue bingung harus menjawab bagaimana kalau nanti muncul pertanyaan.

"Nggak usah dijawab. Diemin aja. Ayo keburu siang, aku hari ini harus cek pasir di TB dulu sebelum ke kantor baru. Ada masalah sama kualitas."

Marvelous HubbyWhere stories live. Discover now