4. Sudut Pandang Angel

Start from the beginning
                                    

"Sayang, Ayah mau bicara." Mahendra menatap anak gadisnya serius.

Angel menganggukkan kepalanya. "Iya, Ayah."

"Umur kamu berapa, Sayang?"

Angel menatap kakaknya, seolah berfikir. "17 tahun. Iya, kan, Bang?"

Usman mengangguk sambil tersenyum. "Iya."

"17 tahun, Ayah." Jawabnya menatap sang ayah.

Mahendra menatap istrinya seolah masih ragu, Mutia mengangguk yakin dan tersenyum kepada suaminya.

"Angel sayang, kan, dengan Ayah dan Bunda?" Tanya Mutia tersenyum.

Angel mengangguk cepat. "Iya, Bun."

"Kamu nggak akan kecewakan kami, kan?" Tanya Mutia lagi.

Angel kembali menggelengkan kepalanya. "Enggak, Bunda."

"Kami ada satu permintaan. Angel mau turutin, kan?" Tanya Mahendra menatap anak gadisnya.

Angel mengangguk. "Iya, Ayah."

Mahendra tersenyum. "Janji, anak ayah?"

Angel tersenyum. "Iya, Ayah. Janji."

Mahendra memantapkan hatinya dan kembali menatap istrinya. Mutia hanya tersenyum menatap suaminya yang masih ragu.

"Angel,  umur 17 tahun itu sudah tepat untuk menikah muda, Sayang. Jadi, Ayah sama Bunda ingin kalau Angel menikah."

"Angel mau, kan?"

"Iya, Ayah. Ma—"

Deg

Jantung Angel berdetak kencang. 17 tahun, menikah muda? Bukankah mulai umur dua puluh tahun masuk kategori menikah muda?

"Maksud ayah? Ayah bercanda, ya?" Tebak Angel sambil tertawa.

"Ayah serius, Nak." Jawab Mahendra tetap tenang.

Angel berhenti tertawa, ia mengusap pelan sudut matanya yang mengeluarkan air mata.

"Ayah ingin punya cucu sekarang? Abang Usman aja yang nikah kalau gitu. Abang umurnya udah 25 tahun." Kata Angel miris.

"Nak, dengarkan Bunda. Ayah dan abang kamu pulang, untuk menjemput Bunda. Kami akan terbang ke Tokyo, Ayah dan Abang kamu ada proyek besar di sana. Jadi, kami menikahkan kamu karena kami tidak ingin kamu kenapa-napa, Nak. Bukan masalah cucu atau yang lain. Kami hanya ingin kebaikan kamu."

Angel menggigit lidahnya kuat, dadanya terasa sangat nyeri dan sesak.

"Kenapa harus gini? Angel bisa kok, jaga diri sendiri. Nggak perlu nikah. Angel belum siap." Jawab Angel dengan suaranya yang terdengar parau.

Usman menatap wajah adiknya yang sudah memerah, bahkan bibir mungil itu ikut bergetar.

"Sayang, dengerin Abang. Bukan tanpa alasan yang kuat, Ayah Bunda menikahkan kamu. Mereka nggak mau kalau kamu terjerumus hal yang tidak diinginkan. Abang tahu, teman kamu pasti selalu ada buat kamu. Tapi nggak 24 jam, kan? Iya Abang tahu, di sini ada bibi dan yang lain juga. Tapi, tetap saja mereka tetap percaya kepada suami kamu."

Usman tersenyum lembut menatap adiknya yang menatapnya penuh harap.

"Pasti kamu bertanya, kenapa kamu nggak diikutsertakan ke Tokyo, kan?"

Seketika pertanyaan yang Usman lontarkan, membuat Angel menatapnya penuh harap.

"Iya. Kenapa, Abang? Angel nggak penting, ya?"

"Ya ampun, Angel!" Sentak Mahendra membuat tubuh Angel semakin bergetar.

"Ayah!" Tegur Usman memeluk adiknya yang semakin ketakutan.

Mahendra terdiam menatap anak gadisnya yang berada dalam pelukan sang putra.

"Sebentar lagi kamu akan lulus sekolah, Sayang. Masa iya mau pindah sekolah?"

"Jangan takut, Sayang. Kalau kamu nggak mau, kita bisa saling menjaga." Hibur Usman kepada sang adik.

Angel menggeleng cepat dan melepas pelukan abangnya. "Nggak! Angel nggak mau bikin kalian kecewa."

Angel berdiri dengan gerakan pelan karena kakinya yang masih terasa nyeri. "Aku belum tau jawabannya. Tapi aku berusaha untuk tidak mengecewakan."

"Sayang, besok malam mereka kemari untuk melamar kamu. Kami tidak akan memaksa kamu, karena ini memang kehidupan kamu." Kata Mahendra berjalan mendekati putrinya, kemudian memeluk tubuh mungil yang bergetar itu.

"Ayah..." Angel memeluk ayahnya erat.

"Sudah, jangan menangis, Sayang. Pergi ke kamar kamu, ya. Istirahat." Mahendra melepaskan pelukannya kepada sang putri. Mengusap pelan pipi anaknya yang basah.

Angel mengangguk. "Iya, Ayah. Bunda, Abang, Angel ke kamar dulu. Selamat malam."

"Malam, Sayang."

Mereka bertiga memandangi tubuh kecil yang sedang berjalan di tangga dengan pelan.

"Ayah, apa Ayah sudah yakin dengan ini semua?" Tanya Usman menatap ayahnya sedikit ragu.

"Ayah yakin, Usman. Semua sudah ayah pikirkan dengan baik."

MUMTAZ DANURWENDHA | NEW VERSIONWhere stories live. Discover now