3. Sudut Pandang Mumtaz

1.5K 51 7
                                    

"Umur tidak bisa menuntut untuk menikah."

Bintang Mumtaz Danurwendha

°

°

°

"Kak, kartunya balikin nggak nih?" Tanya Ana memperlihatkan kartu ATM milik kakaknya yang tadi siang di berikan padanya.

Mumtaz memejamkan matanya, menyandarkan kepala dan punggungnya di sofa. Perutnya terasa ingin meledak karena baru saja mereka selesai makan malam. Tapi, masalahnya, karena ia sudah cukup lama tak pulang, sang mama memasakkan makanan begitu banyak, sehingga ia harus menghabiskannya.

"Kartu apa sih?" Tanya Mumtaz malas masih memejamkan matanya.

"Ih, buka dulu kenapa sih matanya?" Kesal Ana.

"Kartu ATM, Kak."

"Hmm." Mumtaz hanya berdehem menyahuti perkataan adiknya.

"'Hmm' mulu jawabannya. Ini kartunya masih ada dua puluh milyar, Kak. Ngagetin aja waktu gue beli tas!" Sengit Ana kesal. Padahal ia hanya membeli tas seharga dua puluh juta. Kaget saat mbak kasir menawarkannya tas seharga dua milyar, ternyata karena isi kartu itu.

Sialan.

"Maunya gimana?" Goda Mumtaz masih memejamkan matanya.

"Maunya sih, ambil. Tapi, nanti gue bingung ngabisinnya gimana." Jawab Ana memandangi kartu yang ada di tangannya.

"Lo udah SMA, kebutuhan lo juga pasti banyak. Udah ambil aja. Nggak usah ribet." Final Mumtaz tidak mau ambil pusing.

Ana memukul wajah tampan kakaknya itu kesal dengan bantal sofa. "Gue masih dikasih uang papa! Sebanyak-banyaknya kebutuhan gue, nggak sampai dua puluh milyar kali, Kak!" Sengitnya kesal dengan jalan pikiran kakaknya yang menyebalkan itu.

Ia seperti disiksa untuk menghabiskan uang sebanyak itu. Kakaknya itu cari uang banyak, bingung cara menghabiskannya atau bagaimana sih?

"Anjing." Umpat Mumtaz kesal karena sang adik memukul wajahnya.

"Mumtaz." Panggil sang papa yang berjalan bersama sang mama ke arahnya dan sang adik.

"Papa mau berbicara sesuatu. Dan kamu dalam keadaan mau atau tidak mau, harus menuruti perkataan papa." Kata sang papa yang sudah duduk di hadapannya bersama sang mama.

Mumtaz menganggukkan kepalanya yakin. Tidak ada salahnya juga. "Boleh dicoba. Apa?"

Arthan tersenyum. "Yakin?"

Mumtaz mengangguk lagi. "Yakin."

"Menikah."

Satu kata keluar dari mulut sang papa, otak Mumtaz serasa berhenti bekerja. "Maksudnya?"

Arthan tersenyum penuh kemenangan mendapati ekspresi putranya. "Kamu menikah dengan gadis pilihan papa."

"Ti-dak ada pe-no-la-kan." Kata Arthan lagi, mengejanya penuh penekanan.

"Nggak!" Tolak Mumtaz cepat.

"Kamu tidak bisa menolak." Sarkas Arthan cepat.

Mumtaz mengacak rambutnya frustasi. "Ck, ngapain sih pakai acara jodohin kayak gini?"

"Kuno, tau, nggak."

"Kamu nggak ingat umur kamu berapa? Kamu sudah berumur dua puluh tujuh tahun." Jawab Arthan santai.

"Umur tidak bisa menuntut untuk menikah." Sengit Mumtaz tak mau kalah.

"Nak, dengarkan Mama. Perempuan yang akan di jodohkan dengan kamu itu, bukan perempuan sembarangan. Kami tidak mungkin, memilihkan pasangan yang buruk untuk kamu." Pinta Liana tulus.

"Ck. Bilang aja, penyebabnya itu karena kalian ngira kalah gue belum bisa ngelupain Andini. Iya, kan?" Sarkas Mumtaz tersenyum miris.

"Gue udah bisa ngelupain Andini!"

PLAK!

"Kamu bisa jaga ucapan kamu tidak, Mumtaz?!"

"Kamu bilang mau menuruti permintaan papa!"

"Memang pada dasarnya, kamu belum bisa melupakan Andini, kan?!"

"Move on, Mumtaz, move on!"

Mumtaz mengusap ujung bibirnya yang sedikit robek. "Bodo amat!"

Mumtaz berdiri mengambil jaket hitam dan kunci motornya, berjalan keluar rumah.

"Mumtaz, tunggu!" Teriak Liana kepada putranya.

"Sudah, biarkan." Kata Arthan menenangkan istrinya.

"Aku yang akan mengurusnya."

MUMTAZ DANURWENDHA | NEW VERSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang