BAB 4 : Teman Baru

517 86 6
                                    

"Albrian Rizky?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Albrian Rizky?"

"Nama yang bagus, kan?"

Icha menggeleng. "Terlalu bagus buat siluman kucing kayak dia, Bun."

Bunda dan pemuda itu menatap nyalang ke arah Icha.

"Apa? Kenapa?" tanya Icha, sama sekali tak merasa bersalah dengan ucapannya. "Itu, kan kenyataannya."

"Kamu bener, tapi sekarang dia buka kucing lagi. Dia juga punya nama ... Rizky."

"Nama yang bagus, makasih."

Bunda dan Icha refleks saling berpegangan tangan saat mendengar pemuda yang di beri nama Rizky ini mengeluarkan suara.

Kedua wanita itu terkejut, namun Bunda segera tertawa untuk menenangkan kondisi.
"Iya, nama yang bagus. Kamu suka?"

Pemuda itu mengangguk dan tersenyum. Mengangkat kakinya ke atas sofa seraya menggaruk rambutnya yang terasa gatal, di tambah telinganya yang tak berhenti bergerak saking senangnya mendapatkan nama.

Awalnya ia bingung, karena selama ia menjadi kucing jalanan, tak ada yang memberinya nama. Juga terkadang ia iri dengan kucing lain yang memiliki nama panggilan yang di beri oleh orang-orang- entah sengaja atau tidak.

"Lucu banget, kamu. Semoga nyaman tinggal disini, ya, tapi janji jangan aneh-aneh. Jangan sampai ada orang yang tahu kalau kamu ini manusia kucing. Bisa-bisa mereka laporin kamu ke polisi. Kamu ga mau, kan?"

Rizky menggeleng, menatap cemas ke arah Bunda dan Icha.

"Makanya, jangan ngelakuin hal aneh, kamu juga ga bisa ke luar sembarangan. Oke?"

Sempat merengut sedih, tapi ia juga tak ingin orang-orang menangkapnya. Dan akhirnya ia hanya bisa mengangguk meng-iya-kan ucapan Bunda.

"Anak pinter," kata Bunda seraya mengelus rambut Rizky.

Icha hanya berdecih, lihatlah! Bukan kah tadi Bundanya menyangkal tentang mitos yang ia ceritakan? Lalu kenapa sekarang Bunda seakan mempercayai kebenaran mitos tersebut, bahkan melebihi Icha.

**

"Belum tidur?"

Icha terlonjat, kala suara Bass milik Rizky membuatnya terkejut lagi. "Bisa ga, sih, jangan kagetin gue?" Icha menggegerkan kursi balkon kamarnya saat Rizky duduk di lantai tepat di sampingnya. Padahal lantai sangat dingin, tapi pemuda itu tetap duduk di sana. Atau mungkin itu sudah biasa baginya.

"Aku ga ngagetin, cuma langkah kaki aku aja yang ga kedengeran," jawab Rizky tak mau kalah. Meski ia berubah menjadi manusia, kelebihannya yang mampu melangkah tanpa suara tetap melekat, karena faktanya langkah seekor kucing tak pernah terdengar, bukan?

"Kamu ga kaget waktu aku berubah?"

Icha menukikkan alisnya. Tidak kaget? Yang benar saja. Jantungnya sudah hampir copot saat itu, beruntunglah Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup.

"Engga."

"Kok bisa?" tanya Rizky.

"K-karena, hmm ... ga tau, ah!" Icha nyerah, niat ingin terlihat biasa saja tapi rasa canggung dan gugupnya lebih mendominasi. Apalagi kini Rizky mulai menyandarkan kepala di lututnya.

"Elus," pintanya tanpa ragu.

"L-lo minta ke gue?"

"Iya."

Awalnya Icha ragu, namun entah keberanian darimana, tangannya mulai terulur menyentuh rambut halus milik pemuda itu. Sedikit geli saat menyentuh benda aneh berbulu yang bergerak-gerak di atas kepala Rizky. "Kuping Lo ganggu banget, rambut lo juga panjang, besok gue potong, mau?"

Tak ada jawaban, Rizky justru memejamkan mata menikmati elusan lembut di kepalanya. Inilah kelemahannya, jika sekali saja ada orang yang mengelus kepala dan dagunya ia akan otomatis mengantuk.

"Lo tidur?"

Rizky menggeleng, lalu menaruh dagunya di paha Icha, menatap wajah gadis itu dengan seksama.

"Kenapa?"

"Makasih, ya."

Icha memiringkan kepalanya tanda bingung.

Karena kurang nyaman dengan posisi keduanya, Icha memilih untuk ikut duduk samping Rizky.

"Makasih buat apa?"

"Kamu nolongin aku di sekolah tadi, meskipun temen-temen kamu tetep nyiksa aku setelahnya."

Icha merasa hatinya mencelos, merasa tak enak karena gagal menolong kucing oren itu tadi siang. Sepertinya kucing ini benar-benar di siksa saat di sekolah tadi.

"Maaf karena ga bisa lindungin lo, lagian kenapa harus ikut gue ke sekolah? Lo itu kucing yang tadi pagi naik ke atas mobil orang, kan?"

Rizky tertawa lalu mengangguk. "Aku emang pengen pergi, tadinya mau ikut mobil itu tapi aku tau kamu liatin aku, jadi aku ikut aja sama kamu."

Icha tak habis pikir, bisa-bisanya Rizky ikut dengannya hanya karena ia memperhatikan Rizky saat di jalan tadi.

"Aku ga tau kalo bakal banyak yang ngejar aku di gedung itu."

"Gedung? Maksud lo sekolah?"

Rizky mengangguk, meski ia tak tahu selebihnya apa itu sekolah.

"Itu karena orang-orang pada pengen nyabut kumis lo."

"Iya, dan itu sakit banget. Tapi waktu kamu yang cabut, itu sama sekali ga kerasa sakit."

Icha menaikan satu alisnya. Tunggu, apa Rizky tau mengenai mitos kumis kucing yang tersebar luas ini? Kenapa reaksinya biasa saja saat mengetahui dirinya berubah?

"Lo tau tentang ini sebelumnya? Lo tau kalau kucing bisa berubah jadi manusia?"

Anggukan menjadi jawaban untuk Icha. Pemuda itu mengalihkan pandangan, menatap langit malam yang penuh di taburi bintang-bintang.

"Waktu itu, aku ga sengaja liat satu kucing yang di cabut kumisnya sama orang di gang deket biasa aku tinggal. Kucing itu tiba-tiba jadi manusia, dan habis itu aku liat mereka masuk ke dalem mobil."

Icha mendengarkan cerita Rizky dengan seksama.

"Dan disitu aku tau, kalau kami bangsa kucing bisa jadi manusia karena di cabut kumisnya."

"Itu artinya bukan cuma lo yang jadi manusia?"

Rizky mengangguk. Ia kembali tatap Icha dengan mata tajamnya membuat gadis itu gelagapan di buatnya.

"Aku seneng bisa berubah jadi manusia, dan lebih seneng lagi karena yang bikin aku jadi manusia itu orang baik kayak kamu."

Icha sedikit menegang, sebisa mungkin ia menghindari tatapan Rizky. Perkataan pemuda itu sukses membuat Icha merona. Entah kenapa, itu sungguh menyentuh hatinya.

Malam itu, mereka menghabiskan waktu berdua. Bercerita dan menjelaskan dunia manusia agar Rizky paham.

Icha tak tahu apa jangka waktu Rizky menjadi manusia itu lama atau tidak. Juga mengenai kumis kucing yang tak kunjung ia temukan itu, bagaimana jika sudah hilang tersapu Bunda?

Kata Sabrina ia harus menyembunyikan kumis itu dari pemiliknya agar jika merasa tidak cocok, ia bisa membakar kumis itu agar si pemilik kumis bisa jadi kucing seperti semula.

Tetapi, yang ia lihat pemuda di depannya ini tampak baik. Setidaknya, jika Rizky tak menjadi jodoh seperti yang di katakan mitos itu, dia bisa menjadi teman untuk Icha. Jadi, ia tak butuh kumis kucing untuk ia bakar, karena Rizky mungkin akan menjadi temannya.

*

Bersambung...

[✔] Kumis Kucing Where stories live. Discover now