9. Bermalam bersama

19.8K 1.8K 14
                                    

•••

"Gus mau mandi lagi?" tanyaku ketika melihat tangan Gus Athar memegang handuk. Tanpa menjawab dia hanya melewati ku yang masih berdiam diri, di campakkan.

Sedari dulu aku bahkan tidak pernah sekali pun merasa tercampakkan oleh keluarga terdekatku, bahkan jika aku hanya diam pasti ayah, bunda, dan abang bertanya entah apapun yang mereka tanyai. Aku pun hanya menjawab seadanya atau biasanya pergi seperti Gus Athar lakukan sekarang.

Jadi seperti ini rasanya? Kok sakit yah, apalagi dia adalah suamiku sendiri.

Daripada bertambah pusing, aku memilih pakaian yang nanti akan gus ku kenakan saja. Ini akan jadi lebih baik, tapi aku bingung. Semua pakaian di lemari hanya warna putih dan hitam. Sangat tidak berwarna seperti diriku yang memiliki berbagai warna mejikuhibiniu.

Mungkin jika nanti ada toko menjual berbagai pakaian muslim aku akan membelikan untuk gus berbagai macam warna. Aku akan berbelanja sendiri untuk sebuah kejutan spesial pada suamiku ini.

Ketika tangan ku sudah membuka bungkusan entah dari siapa itu, aku memegangnya dengan tangan gemetar. Baju sangat minim, sebut saja lingerie. Aku bergidik ngeri, mengapa ada yang memberikan aku seperti ini? Siapa yang berani?!

Sungguh menyebalkan, apalagi warna itu sangat merah mencolok.

"Astaghfirullahalazdim," gusar Gus Athar setelah keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkar di lehernya.

Aku yang terkejut malah membuang baju itu tepat di wajah sugus. Ya Allah, hal gila apa lagi yang kulakukan. Bisakah aku kabur untuk menyelam dalam danau di sekitar sini?

Tapi tunggu, aku lupa jika aku saja tidak bisa berenang. Bisa jadi ketika aku tiada nanti suamiku ini akan menjadi duda paling berkharisma. Dan akan ada ribuan wanita yang sengaja menggoda dia, imajinasi apa itu di otakku!

"Masya Allah," kagum ku tak sengaja melihat dada Gus Athar yang kancing-kancing pakaiannya belum tertutup.

Gus Athar sekarang ada di hadapanku. Aku menahan nafas gugup. "Kamu yang membelinya?" tanyanya menggantungkan di tangan.

"Hah?"

"Y-ya bukan Hazna lah, Gus!" jawabku sedikit terputus.

"Beneran! Hazna nggak boong. Baju itu udah ada di bungkusan hitam itu," tunjuk ku agar dia percaya. "Biar Hazna taro lagi aja, sekarang udah malem banget."

Aku merapikan semua barang-barang yang ada di kasur lalu berjalan menuju kamar mandi untuk berganti baju tidur agar nyaman. Jilbab masih aku kenakan, rasa malu masih ada walau kami sudah sah di mata agama dan hukum.

Menatap sekitar ruangan kamar, aku menghembuskan nafasku berat. "Nggak ada sofa, yah..." ucapku pelan.

"Untuk apa?" sela Gus Athar masih mengeringkan rambutnya yang basah.

"Tidur, Hazna tau kok Gus masih belum nerima Hazna seutuhnya di kehidupan Gus. Untuk itu biar Hazna yang ngalah dulu," cetusku tersenyum.

Menaruh handuk sesuai tempat, Gus Athar duduk lalu menepuk kasur di sebelahnya. "Masih ada guling untuk perbatasan, lagi pula saya masih punya hati nurani untuk tidak memberikan izin seorang istri tidur di sofa yang kamu inginkan."

"Hazna tidurnya kaya kuda lumping lho," ujarku memberi tahu.

"Tidak baik menolak perintah suami," pungkasnya tajam membuat aku mengangguk tak berdaya.

Ya sudahlah, toh dia sendiri yang berbicara seperti itu. Lagi pula ini juga kesempatan bagus untuk aku agar lebih dekat dengan suamiku sendiri. Dan di saat sudah berbaring di kasur aku langsung akan menutup mata, rasa kantukku sudah tidak bisa lagi ku bendung.

Terdengar helaan nafas di sebelahku, "Jangan lupa wudhu dan berdo'a," ucap Gus Athar mengingatkan.

"Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa 'Ya Allah, ampunilah hambamu si Fulan karena tidur dalam keadaan suci." (HR Ibn Hibban)."

Dengan sigap aku turun kembali untuk berwudhu, sampai lupa jika hal itu belum aku lakukan. Dan ketika sudah di kasur kembali mataku terasa mulai sayu.

Gus Athar lagi-lagi berusaha sabar dan memberi tahu ku dengan posisi masih duduk. Aku pun mengintip sedikit ketika sudah berbalik badan menghadap diriku.

"Alangkah lebih baiknya sebelum tidur umat muslim melakukan 4 amalan yang diantaranya mengkhatamkan Al-Quran, membaca sholawat, memohonkan ampunan untuk seluruh kaum muslimin, melakukan ibadah haji dan umrah,-"

"Tapi Gus, Hazna baca surat Al-Baqarah saja masih di ayat 5. Mana mungkin Hazna bisa hafal dalam sekian detik," protes ku menyela.

Lirikan maut suamiku membuat aku menciut. "Saya masih belum selesai bicara, Nana," seru Gus Athar membuat pipiku memanas karena sebutan nama yang dia ucapkan.

Nana, bagus juga!

"Jika kamu membaca Surah Al-Ikhlas sebanyak tiga kali, maka pahalanya sama dengan mengkhatamkan Al-Quran,-"

"Allah baik banget," haru ku dan tatapan tajam itu kembali terarah kepadaku. "Iya iya, Hazna mau diam aja sekarang."

"Bagus. Jika kamu membaca sholawat untuk Nabi Muhammad Saw dan para nabi sebelum Nya, maka mereka semua akan memberikan syafaat kepada kamu di hari kiamat kelak. Jika kamu memohonkan ampunan untuk seluruh kaum muslimin, maka mereka semua akan rida kepadamu. Dan jika kamu membaca 'Subhanallah wal hamdulillah wala ilaha illahu wallahu akbar,' maka kamu telah melakukan haji dan umrah," jelas Gus Athar sampai tidak tahu jika aku sudah tertidur pulas karena penjelasannya.

"Tapi ada salah satu surat yang memiliki banyak keutamaan ketika sebelum tidur, yaitu surat Al Mulk. Keistimewaan surat ini sebagai penghalang dari siksa kubur, apa bisa di pahami Na--" Menengokkan kepalanya kesamping yang ternyata aku sudah tertidur membuat Gus Athar harus banyak bersabar.

"Jadi selama ini saya bicara sendiri?" Akunya menggerutu kecil.

Hingga beberapa kali Gus Athar menggelengkan kepalanya, dia melihat jelas kerudung ku naik hingga akan menutup wajahku. Gus Athar pun perlahan mengyampirkan hingga ke bawah kembali. Wajah damai ku yang tertidur terlihat jelas di mata Gus Athar.

"Cantik," ucapnya spontan namun, sedetik kemudian Gus Athar ikut tidur dengan posisi memunggungiku setelah dia sudah berdoa.

***

Subuh tiba, suara kicauan burung saling menyahuti di rimbangnya pepohonan. Ruang kamar yang berada di lantai paling atas dengan nuansanya begitu elegan membuat kedua insan itu masih saja tertidur damai. Udara dingin masuk karena jendela yang terbuka tak bisa membuat keduanya terusik begitu saja.

Setelah di jam 3 pagi aku dengannya sudah melaksanakan sholat sunnah tahajud, kemudian memutuskan untuk kembali tidur.

Dengkuran halus dapat aku dengar dengan jelas di telinga ku. Apalagi kepalaku sepertinya bersandar di sesuatu yang cukup keras dan padat, bukannya tidak nyaman tapi malah terasa sangat nyaman. Mungkin bantal yang ku gunakan terbuat dari semen yang di isi kapas.

Begitu aroma musk sangat dapat aku cium, tubuhku seperti melayang di alam mimpi. Aku semakin mendusel menyerap aroma itu sampai aku puas. Dan yang terdengar sebuah lenguhan kecil membuat aku tersadar melototkan mataku.

Aku seperti memeluk tubuh suamiku dengan kepalaku berbaring nyaman di dadanya. Sebelum tertangkap basah, aku akan bangun di tengah kesadaran ku yang masih belum pulih seutuhnya.

"Aaaaaa." Teriakan keras ku keluarkan ketika sesuatu lengan kekar malah memeluk pinggang ku kencang.

Pelukan erat itu membuat aku susah untuk terbangun, berusaha keras dengan berbagai cara aku terlepas malah semakin kencang yang aku rasakan.

"Gus!" bisik ku tajam di telinganya.

•••

Nyaman (Hazna)

Love, -Wii

Halalin Hazna, Gus! [END]Where stories live. Discover now