🌼01🌼

60.8K 3.4K 96
                                    

PUKUL tujuh pagi ini, langit sudah nampak benderang, terlihat ke biru-biruan berhias awan putih tipis-tipis.

Hari ... yang sangat baik.

Seorang wanita berambut cokelat sepunggung yang sempat menatap pemandangan indah itu menerbitkan senyum. Lalu menarik napas dalam. Seolah, ingin menyerap semua energi baik yang pagi ini dihidangkan oleh semesta.

Sesaat, sosok tersebut mengalihkan pandangan. Memperhatikan toko bunga kecil yang ia kelola, sumber pencariannya selama ini.

Berwarna biru muda dengan bangunan yang terkesan sudah tua. Namun, Anya, si gadis berwajah polos itu malah semakin suka. Ia memang sangat meminati gaya-gaya vintage, baik dari pakaian, hingga kini, bangunan tokonya.

Anya mengobrak-abrik tas yang menyampir di pundak. Lalu melangkah dan memasukan anak kunci hingga pintu toko terbuka. Cahaya kuning temaram dari lampu yang ada di tengah ruangan menyambut. Bunga-bunga tiruan cantik berwarna-warni dan jenis menghias di setiap penjuru. Sedang bunga-bunga asli masih tersimpan rapi di lemari pendingin yang suhunya sudah diatur sedemikian rupa agar tanaman cantik itu tak mudah layu.

Anya memakai apron sebelum bergerak gesit menyingkap tirai putih yang menutupi jendela besar di bagian depan toko. Cahaya dari luar langsung menusuk tajam, membuat sesaat mata Anya berkedip-kedip.

Masih ada waktu beberapa jam sebelum masuk ke jadwal mata kuliah hari ini. Dan kesempatan itu dipakai oleh Anya untuk mencari uang tambahan.

Sebelumya, toko bunga biasa diurus oleh sang ibu. Namun kini, beliau sedang sakit dan mengharuskannya banyak istirahat. Jadi, Anya-lah yang menggantikan dan menjadi tulang punggung keluarga. Mengingat jika sang ayah sudah meninggal dunia. Dan Anya hanya hidup berdua dengan sang ibu yang semakin menua.

Pintu berderit kemudian. Anya menyiapkan senyuman lebar lalu berbalik menatap calon pelanggannya.

Sesaat Anya memperhatikan. Seorang laki-laki berstelan jas hitam rapi dengan rambut hitam klimis masuk ke dalam tokonya. Dia memakai sarung tangan dan masker yang menutupi setengah wajah. Meski begitu, Anya sudah bisa melihat aura ketampanan dan kemewahan yang menguar.

"Tokonya kenapa bisa berdebu gini?" protes laki-laki tersebut sembari mendekati Anya. Tak lupa, ia mengibaskan tangan di depan hidungnya yang tertutup masker.

Anya menatap sekeliling dengan kikuk. Kemudian tersenyum canggung. "Maaf Pak, kami baru saja buka. Dan belum sempat membereskan toko."

"Tidak apa. Tapi jujur, saya merasa tidak nyaman."

Anya menarik napas dalam. Jika saja lelaki tersebut bukan pelanggannya, pasti sudah Anya tendang kuat-kuat. "Maaf sekali lagi, Pak. Jadi, apa yang bisa saya bantu?"

Sosok jangkung berbadan tegap itu berjalan, melirik ke sekeliling, melihat-lihat bunga di rak pendingin yang ada di toko Anya. Lumayan lengkap, juga terlihat segar.

"Tolong rangkaikan bunga carnation pink dan mawar putih. Lalu ...." Lelaki itu terdiam sesaat, kembali memilih. "Rangkaikan juga bunga hydrangea biru serta putih. Jumlah bunganya terserah kamu. Tolong buatkan serapi dan secantik mungkin." Pesannya, sebelum melangkah ke arah bangku tunggu, mengeluarkan tisu, menyemprotkan sebuah cairan, mengelapnya hingga bersih lalu duduk dengan tenang dan memainkan ponsel.

Jujur saja, seumur hidup, Anya baru bertemu dengan orang selebay dia. Toko Anya ini belum dibersihkan tapi, sumpah demi apapun, debunya tidak sebanyak itu. Bahkan keadaan lantai masih terlihat bersih dan cemerlang. Karena kemarin, sebelum ditutup, Anya menyempatkan diri untuk mengepelnya.

Anya menggelengkan kepala sembari bergerak mengambil beberapa batang bunga carnation dan mawar putih. Tak lupa, menambahkan beberapa bunga baby's breath untuk mempercantik buket yang akan dirinya buat. Pun setelahnya, tangan Anya sibuk dengan gunting, lem, kertas dan lain-lain hingga rangkaian bunga pertamanya di hari ini selesai.

Kemudian, empat batang bunga hydrangea diambil dari dalam lemari pendingin. Dua putih dua biru. Yang si pemilik percantik dengan menambahkan kertas abu-abu, pita cokelat juga beberapa pernak-pernik disekelilingnya.

"Ini Pak, bunganya sudah siap."

Laki-laki itu mengangkat kepala dari ponsel. Lalu mengangguk dan mendekati Anya yang kini sudah berdiri di balik meja sedada. Tempat pembayaran. Dia membenarkan letak sarung tangan sebelum mengambil dan memperhatikan salah satu buket bunga yang Anya rangkai.

"Bagus juga," pujinya. Membuat Anya tersenyum tipis.

"Terimakasih, Pak." Tangan Anya terulur untuk menyerahkan dan menyimpan rangkaian buket yang lain ke depan pelanggannya, di atas meja. Tak sengaja, ia menyenggol pot berisi tanaman hias yang tersimpan di sana hingga terjatuh dan pecah di lantai. "Eh, maaf Pak, saya enggak sengaja."

Mata sipit milik sosok bernama Arlan itu menatap Anya tajam. Sebelum melirik ke celana bahan hitamnya yang tadi terkena tanah. Tidak terlihat kotor. Namun, Arlan yakin, tanah itu membawa banyak kuman untuk tubuh. "Kamu ini gimana sih? Kenapa enggak hati-hati?"

"Maaf Pak, sumpah demi apapun, saya enggak sengaja. Maaf banget."

"Tempat ini aneh. Udah tokonya kotor, banyak debu, kamunya juga gak becus melayani pelanggan."

"Iya Pak, saya minta maaf." Dan, Anya masih mencoba untuk bersabar. Ia tak boleh marah kepada pelanggan. Kecuali, kalau pelanggannya sudah keterlaluan. "Lagi pula itu enggak kelihatan kotor kok, Pak."

Arlan makin melotot. "Emang ini enggak kelihatan kotor. Tapi coba kamu zoom pakai mikroskop, bakalan banyak kuman yang jadinya nempel di celana saya. Ngerti enggak?"

"Tapi kan Pak, kuman bisa ada di mana aja. Enggak cuma dari tanah ini doang."

"Kamu udah salah malah nyolot ya!" Arlan menggeleng tak percaya. "Kamu enggak tahu siapa saya?"

"Emang kita harus kenalan ya, kalau saya enggak tahu siapa Bapak?" Anya ikut ngotot, ia sudah sangat sebal kepada Arlan.

"Berani banget ya, kamu! Okei kalau kamu gak kenal siapa saya, fine! Tapi setidaknya hormati saya sebagai pelanggan kamu." Arlan menatap Anya serius.

"Saya kurang mengormati Bapak dari bagian mananya? Saya udah minta maaf berulang kali sejak tadi, Pak. Tapi ocehan Bapak malah bikin saya muak!" Anya melipat kedua tangannya di dada, memandang Arlan dengan remeh. "Cepet bayar pesenan Bapak. Terus keluar! Saya udah males urusan sama orang kayak Anda."

Arlan mengeluarkan ponsel, memotret Anya kemudian secara tiba-tiba. "Awas aja ya, setelah ini enggak akan ada yang mau beli bunga di toko kamu lagi. Saya akan menyebarkan hal ini ke internet."

"Bodo amat! Lagian rezeki itu adanya di tangan Tuhan, bukan di tangan Bapak!" Anya kemudian menulis sesuatu di bon, biaya pembayaran bunga yang sudah Arlan pesan. "Total semuanya jadi delapan ratus sembilan puluh ribu, cepet bayar!"

Dan, Anya tak berpikir panjang tentang risiko apa yang akan dihadapi saat Arlan mengungkap pelayanannya barusan ke dunia maya. Anya terlalu bodoh karena tidak menyadari bahwa, laki-laki yang ada di hadapannya ini bukan orang biasa.

Mendengus sebal, Arlan memberikan uang cash sebanyak sembilan ratus ribu kepada Anya. "Sini kembaliannya, cepet."

Bibir Anya berdecih. Sembari menyerahkan uang kembalian sepuluh ribu ke hadapan Arlan. Gaya boleh selangit, tapi uang sepuluh ribu saja masih diminta-minta.

Merasa tak nyaman dengan tatapan Anya, Arlan pun menaikan kedua alis. Sebelum bertanya, "Kenapa kamu lihatin saya?"

"Iya, iya maaf!" jawab Anya, sembari membiarkan Arlan pergi dari dalam tokonya.

*****

Bantu share ya, temen-temen. Semoga kalian sukaaa. Jangan lupa mampir ke ceritaku yang lain.

Tinggalkan cerita ini jika cerita ini membuat kalian lalai beribadah.

A MARRIAGE PROPOSAL (END)Where stories live. Discover now