MINE | Chapter 36

132K 7.2K 2.1K
                                    

Rios memandangi secangkir teh panas yang masih mengepulkan asap di atas meja, didepannya. Teh yang disuguhkan untuknya itu sudah di persilakan untuk di minum, namun Rios sama sekali tak ada niatan untuk mencicipinya. Teh itu warnanya cokelat pekat, sepertinya rasanya manis, aromanya pun sangat wangi.

Tidak. Nara jauh lebih manis dan wangi. Dan yang pasti, lebih menggoda. Titik.

"Saya sangat tersanjung atas kunjungan anda ke sekolah ini Pak Manu," ucap Pria tua berseragam dinas yang memegang jabatan sebagai kepala sekolah Nara itu.

Namanya adalah Hamdan, tubuhnya lumayan tinggi tapi tidak lebih tinggi dari Rios, dan perutnya buncit. Rios tebak orang itu kebanyakan makan uang haram.

Rios menoleh pada Hamdan, punggungnya tetap bersandar di sofa sementara kaki panjangnya berusaha keras agar tidak menyilang demi menjaga sopan santun.

"Dan meskipun sudah lewat beberapa minggu, saya masih ikut bersedih atas kepergian adik Bapak, yang juga merupakan salah satu guru terhormat di sekolah ini...."

"Guru terhormat?" sergah Rios dengan nada sarkas, ingin sekali rasanya ia meludah sekarang juga.

"Ya, almarhum Pak Chanan Galih Fernandes cukup disegani di sekolah ini," kata Hamdan memberitahu, namun sayangnya Rios tak mau tahu dan tak peduli.

"Maaf, kepada Bapak Kepala Sekolah yang terhormat, saya datang kesini bukan untuk membicarakan orang mati," tutur Rios tajam.

Hamdan menelan ludahnya, penampilan Rios khas para pengusaha tulen, namun auranya terasa mencekam dan mematikan. Ia sudah sering kali bertemu dengan Pak Fernandes, dan ternyata putra sulungnya ini jauh lebih menyeramkan daripada Papanya itu.

"Saya datang untuk memenuhi surat panggilan dari salah satu siswi kelas 12 di sekolah ini," ucap Rios perlahan dengan jelas.

"Anda datang untuk memenuhi surat panggilan?"

"Ya, saya datang untuk Nara, Kyra Alinara, siswi kelas 12 IPA II yang sudah lama tidak masuk sekolah," ucap Rios menambahkan, "Bisa kita langsung ke intinya saja? Saya buru-buru!"

"Kyra Alinara?" Hamdan mengulangi nama yang disebut Rios tadi.

"Benar, Kyra Alinara," kata Rios tak sabar.

Hamdan memutar otaknya untuk mencari informasi mengenai Kyra Alinara yang Rios sebut barusan didalam sel-sel otaknya sempitnya.

Rios tidak tahan, ia menyilangkan kaki panjangnya. Persetan dengan sopan santun.

"Nara, Kyra Alinara, gadis yang sangat manis itu istri saya."

***

Dahan dan ranting pohon beringin yang berdiri dibelakang kursi panjang itu meliuk-liuk tersembur angin pagi, pagi yang menjelang siang. Dedaunan keringnya berguguran mengotori tanah kemudian beterbangan kesana kemari terbawa angin.

Dari dalam mobil yang terparkir rapi di tempat parkir sekolahannya itu, Nara mengedarkan matanya ke sekeliling area gedung sekolahnya sejauh matanya memandang.

Sekolahnya sangat sepi, Nara tidak heran karena sekarang sudah masuk jam pelajaran.

Kemudian ia menatap lama kursi panjang dibawah pohon rindang di kejauhan sana. Kelihatannya sangat menyenangkan duduk disana untuk berteduh dari terik matahari siang sambil memakan jajanan dan bercanda ria bersama sahabatnya, Salma. Sudah lama, rasanya seperti sudah berbulan-bulan ia dan Salma tidak bertemu.

Jangankan bertemu, saling mengirim pesan untuk menanyakan kabar saja tidak kedua sohib itu.

Nara tebak Salma pasti marah karena ia tidak pernah memberi kabar. Ibunya waktu itu bilang kalau selama seminggu penuh sejak ia tidak masuk sekolah Salma selalu datang ke rumah untuk menanyakan dirinya, bibi juga bilang kalau Salma mencarinya. Itu adalah kurun waktu dimana ia tinggal di hotel bersama Rios.

MINE  [TERBIT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora