27. Perubahan

1.8K 444 38
                                    


27. Perubahan

Lagi, Lusi harus membuat keputusan. Ini soal kuliahnya. Ia memutuskan untuk cuti, sampai waktu yang tidak ditentukan. Menyedihkan sebenarnya, tapi tidak ada pilihan selain itu. Pun, para abang menyetujui itu. Mereka memintanya fokus pada kandungan dan persiapan kelahiran yang diperkirakan kurang dari tiga bulan lagi.

ada gosip klw galuh gak diterima di mana2. mampus. gue puas

Membaca pesan dari Irene, Lusi meringis. Ia tidak tahu harus prihatin atau apa pada nasib Galuh. Gadis itu akhirnya dikeluarkan dari kampus karena video tidak pantasnya itu. Tentunya karena Galuh tidak bisa membuktikan jika video itu hasil editan seperti yang dikatakannya kepada semua orang.

kakeknya si monster beneran mau ketemu lo?

Pesan lainnya dari Ela, membuat Lusi terdiam. Menyetujui untuk bertemu dengan kakeknya Elang, sebenarnya Lusi cukup takut. Rumor di kampus yang menyebar bahwa pemilik tempat kuliahnya itu adalah sosok yang galak, membuatnya merasa harus mempersiapkan diri. Selain itu, ia juga harus bersiap jika kakeknya Elang tidak menyukainya. Bagaimanapun, hubungannya dengan Elang tidak didasari hal yang benar. Bukan tidak mungkin, ia akan dianggap sebagai si miskin yang menjebak satu-satunya ahli waris keluarga ini. Seperti yang ada di cerita-cerita.

"Mikir apa?"

Tersadar dari lamunan, Lusi mendongak. Ia menemukan Elang berdiri di ambang pintu kamarnya yang memang terbuka. Masih dengan jaket yang laki-laki itu kenakan saat berangkat tadi.

Lusi menggeleng. "Kakak udah pulang?"

"Hm." Elang mengangkat bungkusan plastik di tangannya. "Nasi padang. Ayo makan."

Mendengar itu, senyum Lusi terulas begitu saja. Setelah meletakkan tablet di sisi sofa sebelahnya, ia menumpukan satu tangan di lengan sofa. Semakin bertambah umur kandungannya, ia memang semakin tidak leluasa bergerak. Bahkan untuk bangkit berdiri saja agak susah.

"Tunggu!" Dan seperti kebiasaan belakangan ini, Elang langsung sigap mendekat.

Setelah menaruh bungkusan plastik di atas meja, Elang meraih bahu Lusi dan membantunya untuk berdiri tegak. Semua itu dilakukan Elang dengan hati-hati sekali, hingga kadang Lusi merasa diperlakukan lebih rapuh dari kaca. Padahal tidak perlu sampai seperti itu.

"Gue bilang apa soal 'minta tolong kalau kesusahan'?" Dengan berkacak satu pinggang, Elang menatapnya kesal.

Lusi meringis. Elang memang pernah menyuruhnya untuk meminta tolong jika ia kesusahan melakukan sesuatu, sekecil apa pun. Tapi ia sendiri merasa sungkan, takut merepotkan. Lagipula, sejak dulu ia terbiasa melakukan semuanya sendiri.

"Oi."

Lusi menoleh.

"Ayo."

Memilih berjalan lebih dulu, kening Lusi berkerut. Elang memang mulai berubah dan berjanji tidak berkata kasar lagi, tapi panggilan 'Oi' itu terkadang masih sering digunakan oleh laki-laki itu.

"Biar gue." Elang mencegah Lusi yang ingin mengambil piring ketika mereka telah sampai di ruang makan. "Lo duduk."

Lusi menurut. Ia hanya memandangi pergerakan Elang dimulai dari melepas jaket, mengambil piring dan gelas dari rak, lalu memindahkan isi bungkusan di plastik ke piring. Aroma gurih dan khas masakan padang langsung menguar.

"Jangan kebanyakan sambal."

Lusi mengangguk. Ia menerima piring berisi nasi dan lauk pauknya dari Elang. Setelahnya, mereka mulai makan dalam diam.

Memang, hubungan mereka sangat jauh berkembang sejak malam di mana Elang meminta maaf. Elang benar-benar berubah. Sikapnya sama sekali tidak ada dalam bayangan sedikit pun. Bagaimana laki-laki itu tidak ragu menunjukkan perhatian, tidak gengsi memulai pembicaraan lebih dulu, dan memperlakukannya dengan lembut. Bahkan untuk menyentuhnya yang bersifat membantu, Elang lebih sering minta izin lebih dulu. Sangat jelas mengutamakan kenyamanan Lusi.

Sejujurnya, Lusi masih tidak percaya bahwa mereka akan bisa berinteraksi sesantai ini. Bahkan kini ia mulai tidak terbata-bata lagi saat berbicara kepada Elang. Rasa takut itu perlahan memudar, meski mimpi buruk masih tetap menghantui malamnya. Namun, setelah banyak terapi dengan Dokter Fira nanti, ia yakin akan sembuh. Ngomong-ngomong, sudah tiga kali ia konsultasi dengan Dokter Fira. Dan selama itu, Elang selalu menemaninya.

Tiba-tiba teringat apa yang ia pikirkan hari ini, Lusi mendongak, "Kakak."

Elang menoleh. "Hm."

"Kakeknya Kakak ... jadi ke sini nanti malam?"

"Hm." Elang memiringkan badan, "kenapa? Lo nggak mau ketemu? Kalau nggak mau, gue bisa bilang-"

"E-enggak." Lusi buru-buru menjawab. "Cuma nanya."

Elang terdiam sejenak sebelum bertanya, "Lo takut sama Kakek?"

Lusi diam, menunduk.

"Dia nggak akan apa-apain lo, gue janji." Elang berkata dengan yakin. "Kalau sampai dia ngomong yang nyinggung lo, gue bakal bakar kampus dia malam ini juga."

Lusi spontan mendongak. Keningnya berkerut. "Kakak,"

Elang tersenyum tipis. "Makanya jangan takut. Dia nggak lebih galak dari gue."

Lusi merasa ingin menyengir. Elang memang galak, tapi kata teman-temannya, sekarang laki-laki itu tidak terlalu kasar jika ada yang tidak sengaja membuatnya kesal di kampus. Tidak seperti dulu. Ah, Elang memang berubah. Sekarang jadi rajin ke kampus untuk bimbingan skripsi. Bukan hanya itu saja, Elang juga sekarang bekerja menjadi kurir di toko bunga Tante Vera. Hal yang cukup mengejutkan untuk Lusi.

"Habis ini mau ikut ke toko?"

Lusi menoleh. "Boleh?"

Elang mengangguk. "Lo bosen kan, di rumah terus? Nanti bisa kerjain cover di sana."

Lusi mengangguk sambil tersenyum tipis. "Makasih."

Elang membalas senyum itu sama tipisnya. "Gue mandi dulu. Jangan lupa minum susu."

Lusi mengangguk. Memandangi punggung lebar Elang yang menghilang di balik pintu, ia kembali tersenyum tipis.

***

Kakak Elang makin berubah yes. Seneng nggak?

Magelang, 2 Januari 2022

Direpost 24 Januari 2024

Broken Down (REPOST)Where stories live. Discover now