3. Tiga Bulan

2.7K 476 8
                                    

3. Tiga Bulan

Hari Minggu adalah hari yang cukup ramai di panti asuhan, setidaknya sejak satu setengah tahun terakhir. Tepatnya setelah Lili—sahabat Rena—tinggal sementara di panti ini sebelum pindah ke rumah orang tua, tiba-tiba banyak orang dari lingkaran Rena dan Kevin, suaminya yang rutin datang seminggu sekali. Mereka adalah para sahabat Kevin yang masing-masing sudah memiliki pasangan, bahkan anak. Ada Panji dan Kia, Dave dan Agnes, Gio dan Icha juga Bian dan Bita.

Untuk nama terakhir, Lusi cukup excited karena mengetahui kalau Bita adalah penulis yang sangat ia idolakan. Juga ternyata mereka cukup saling kenal via online sebelumnya, karena pekerjaan sampingan yang Lusi geluti. Karena itulah Bita langsung akrab, juga memperlakukan Lusi seperti adik.

"Om Panji ganteng ya, Lus?"

Celetukan itu membuat Lusi menoleh. Ia menemukan Ela sudah duduk di sebelahnya, dengan tatapan berbinar ke arah Panji yang sedang berbicara dengan Abimanyu-buah hati laki-laki itu dengan Kiara, istrinya.

"Digorok Kak Kia, tahu rasa."

"Kapan coba Kak Kia tega gorok orang? Dia mah baik hati dan lembut. Apalagi sama lo, udah kayak adik kandung aja. Gue kan iri."

Lusi tersenyum tipis. Ia tahu Ela tak sungguh-sungguh saat mengatakan iri. Walaupun benar, kalau baik Kiara dan Panji memperlakukannya sedikit lebih berbeda dibanding saudara-saudaranya yang lain. Mungkin karena dulu awal bertemu Kiara adalah di jalan, ketika Lusi menolong Kiara yang dicopet. Dan ketika mengetahui Lusi adalah penghuni panti asuhan keluarga Kevin, Kiara langsung menganggapnya adik. Begitu pula dengan Panji, yang meski datar dan sedikit dingin, tapi terlihat peduli. Katanya, karena laki-laki itu tidak mempunyai adik perempuan. Tidak seperti Bian dan Gio.

Hari ini, yang datang memang hanya Panji dan Kevin beserta istri-istri mereka. Tapi anak-anak terlihat sangat senang. Lusi juga ikut senang. Meskipun tadi saat datang, Kiara langsung memberondongnya dengan banyak pertanyaan karena wajahnya yang makin terlihat pucat.

"Lusi!"

Baik Lusi dan Ela menoleh, menemukan sosok Irene yang tiba-tiba muncul. Hanya Lusi yang sadar bahwa ekspresi Ela berubah malas sekarang.

"Rame banget nih." Irene bergabung dengan mereka, duduk di atas rumput. "Wah ada Om Panji sama Om Kevin ya."

Lusi kembali tersenyum. "Kok nggak ngabarin kalau mau ke sini?"

"Lupa." Irene menyengir. "Gue cuma mau pinjem flashdisk lo. Lo simpan banyak materi kuliah di sana, kan? Gue mau nugas nih, mumpung Kak Jeff mau bantuin."

Punggung Lusi menegak. Tidak, bukab hanya ia, tapi Ela juga. Saudaranya itu bahkan sudah menoleh sinis pada Irene.

"Cowok lo ikut ke sini?" tanya Ela.

Irene terlihat heran dengan suara ketus Ela tapi mengabaikan. "Iya, tapi lagi di depan gerbang tuh. Dia ketemu Kak Zuco, jadi ngobrol dulu."

"Bagus deh, nggak usah masuk kalau bisa."

Irene menatap Ela dengan tidak suka. "Lo ada masalah apa sih sama cowok gue? Kok akhir-akhir ini sinis banget? Ah, nggak sama Kak Jef aja, sama gue juga. Kita ada salah?"

Ela sudah akan menjawab tapi Lusi dengan cepat menahan lengannya. "La, temenin gue ke kamar yuk. Ren, gue ambilin dulu flashdisk-nya ya."

Ela mendengus, kemudian mendahului pergi.

Lusi menepuk bahu Irene. "Nggak usah ambil hati si Ela, dia cuma lagi kecapekan aja. Banyak tugas sama adaptasi kerja part time."

Setelah itu Lusi menyusul Ela yang kelihatan sudah bersungut-sungut di dalam kamar.

"Harusnya lo nggak baikin si Irene, Lus." Ela yang duduk di ranjang Lusi, berbicara saat Lusi mengambil flashdisk di laci.

"Dia temen kita."

"Tapi dia ada hubungannya sama kejadian itu! Dan gue nggak bisa bersikap biasa aja, apalagi setelah sadar gimana ketakutannya lo karena trauma."

"La,"

"Gue nggak bisa se-naif lo yang gampang maafin dia. Karena kalau bukan karena Irene, lo juga nggak akan dihancurin sama penjahat itu. Dan ngelihat dia masih bahagia sama cowoknya, bersikap seolah nggak terjadi apa-apa di depan lo, gue bener-bener muak."

"Irene nggak tahu apa-apa, La."

"Kalau gitu biarin gue kasih tahu apa yang terjadi sama lo gara-gara dia!"

Lusi menggeleng sambil memegang pundak Ela. "Bukan karena Irene, gue mengalami itu. Gue emang benci cowoknya, tapi Irene enggak. Dan La, udah ya. Cukup lo yang tahu masalah ini. Jangan bikin keributan sampai bikin Ibu dan semua orang tahu rahasia ini. Terutama ... Om Panji sama Kak Kia." Lusi menunduk dan berkata lemah, "Gue nggak bakal punya muka lagi seandainya mereka tahu."

Ela menghela napas dan menepuk-nepuk bahunya. "Sorry."

Lusi mengangguk, lalu mengajak Ela keluar kamar. Tapi baru dua langkah, ia merasakan nyeri di perut bagian bawah. Ia jatuh terduduk, dengan jemari mencengkeram perut.

"Lus!" Ela memegangi bahunya, menatap panik. "Lusi, lo kenapa? Lo kenapa?!"

Lusi meringis. Nyeri itu makin menusuk perutnya. "S-sakit, La."

"Astaga, Lus. Lo kenapa? Gue ... gue panggil Om Panji dulu."

Ela berlalu. Lusi menitikkan air mata. Ia berbaring di lantai. Tubuhnya terasa lemas. Saat suara ribut-ribut dan panggilan panik Kiara menyapa gendang telinganya, saat itulah pandangannya mengabur. Dan ia tak sadarkan diri.

***

"T-tolongh."

"Jangan."

"Saya mohon ... jangan."

"Kak Jef, buka pintunya."

"Kak, jangan."

"Stoooph."

"Diem, gue nggak bisa berhenti."

"Sakit hiks."

"Gue bilang diem!"

"K-kak, tolong saya."

Ia membuka mata. Sedikit kesulitan bernapas membuat kepalan tangannya beberapa kali memukul dada. Ia terengah-engah. Temaram kamar menjadi saksi bisu bagaimana ia sibuk menenangkan diri, dari mimpi buruk yang tak pernah berhenti menyambangi meski berminggu-minggu sudah berlalu.

"Sialan."

Ia mendesis, melempar begitu saja botol air mineral yang baru ditenggak, ke arah dinding. Setengah isinya yang tersisa, tumpah membasahi lantai. Penuh emosi, ia meremas rambut yang acak-acakan. Rasa pening menderanya tanpa ampun. Hingga dering ponsel membuat matanya yang memejam, terbuka. Nama Jefri, sahabatnya terpampang di sana. Ia menyambar benda yang tergeletak di sampingnya itu.

"Lang." Suara Jefri di seberang sana terdengar bergetar.

"Hm."

"L-lusi ... di rumah sakit."

Matanya menajam. Ia mencengkeram ponsel kuat-kuat. "Kenapa?!"

"H-hamil." Jefri menggantung ucapannya. Elang menahan napas. "Tiga bulan."

Ponsel meluncur begitu saja dari tangan Elang. Sesuatu tak kasat mata baru saja menghantam kuat dadanya.

***

Hayo loh Elang ...

Magelang, 15 November 2021

Direpost 17 Agustus 2023

Broken Down (REPOST)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ