8. Baguslah

2.3K 459 28
                                    

8. Baguslah

Sembilan hari setelah malam itu.

"Lus, mereka datang lagi."

Itu yang dikatakan Ela saat gadis itu masuk kamar, sepulang kuliah. Sementara Lusi langsung menghentikan kegiatan tangannya pada layar laptop. Kamar mereka sepi, itulah yang mungkin membuat Ela berani berbicara tanpa bisik-bisik.

"Usir." Jawaban Lusi sama seperti sebelum-sebelumnya, selama kurang lebih seminggu ini.

Meletakkan tas di atas ranjang, Ela mendesah. "Kali ini mereka mau nekat ketemu Ibu, kalau lo nggak mau nemuin mereka."

Lusi menggigit bibir, menundukkan kepala yang terasa berdenyut nyeri. Baru kemarin ia pulang setelah lima hari dirawat di rumah sakit karena typus. Tepat dua hari setelah pengalaman mengerikan itu terjadi. Kata dokter, ia terlalu stress dan kelelahan, sehingga imun tubuhnya melemah. Ibu dan Kia mewanti-wanti agar ia tidak terlalu memforsir tenaga. Hal yang cukup membuat Lusi lega karena semua orang tidak curiga akan alasan sebenarnya ia stress.

Padahal sebenarnya sejak malam itu, ia terus dilanda ketakutan dan trauma. Apalagi Elang dan Jefri tak berhenti berusaha menemuinya, melalui Ela. Untungnya sampai saat ini Ela berhasil mencegah dua cowok itu masuk ke panti. Lusi sendiri menghindar. Karena ia yakin tidak akan bisa mengendalikan ketakutan jika bertemu tatap dengan orang jahat itu. Ia juga tidak sudi menemui Jefri, orang yang melemparkannya pada kehancuran itu.

"Mereka mau apa?" tanya Lusi pelan.

"Gue juga nggak tahu." Ela mengangkat kedua bahu. "Orang jahat itu cuma mau ngomong langsung sama lo, katanya."

Lusi tersenyum datar. "Dan itu nggak akan terjadi."

Untungnya, sejak malam itu, Lusi belum bisa kembali ke kampus dan berkuliah seperti biasa. Typus itu cukup ia syukuri, karena bisa menjadi alasan kuat ia absen tanpa membahayakan beasiswanya. Dan ia bisa menghindar dari mereka. Irene pun bersikap biasa saja, yang menandakan bahwa sahabatnya itu sama sekali belum tahu apa-apa. Tentu saja. Jefri tidak akan punya nyali sebesar itu untuk menceritakan tentang kejahatannya, karena Lusi tahu bahwa cowok itu tidak ingin dibenci Irene.

"Mereka mau nemuin Ibu, Lus." Ela kembali mengingatkan, membuat Lusi menggigit bibir.

"Gue nggak mau ketemu mereka," kata Lusi, lirih.

"Ya udah, biarin aja mereka ketemu Ibu. Sekalian kita panggil Om Panji, biar mereka dihabisi tanpa ampun."

Lusi menutup wajah, menggelengkan kepala. "Jangan."

Ela menepuk-nepuk punggung ringkih Lusi. "Mereka nggak akan menghakimi atau menyalahkan lo, Lus. Gue janji. Lo korban, dan lo nggak perlu malu atau takut karena itu. Lo nggak salah. Sama sekali nggak salah."

Gelengan Lusi makin kuat. Ela menghela napas, merasa lelah membujuk saudaranya ini. Tidak hentinya selama sembilan hari ini ia berusaha membuat Lusi berubah pikiran, agar menceritakan kejadian buruk itu pada orang-orang dewasa. Tapi Lusi tetap pada pendirian dan ketakutan-ketakutannya.

Bagaimanapun, Ela berusaha memahami apa yang dirasakan Lusi. Banyak artikel maupun kasus-kasus pelecehan di mana korban memang memilih diam. Jika ada yang berani bicara dan melapor, itu pasti karena mempunyai mental yang kuat. Sedangkan mayoritas, memutuskan tutup mulut karena merasa salah, kotor, cacat dan tidak siap dengan beban moral dan sosial yang nanti akan diterima.

Ela paham akan hal itu. Karena mereka hidup di tengah-tengah masyarakat yang lebih sering langsung berasumsi dan menghakimi tanpa mencoba mencari tahu keadaan yang terjadi sebenarnya. Beban karena kehilangan kehormatan, juga mengalami trauma, akan terasa lebih menyiksa jika ditambah stigma masyarakat yang akan menyalahkan korban. Apalagi pada jiwa muda seperti mereka, yang langsung akan mereka cap jika itu bukan pemerkosaan melainkan suka sama suka. Itulah yang Lusi takutkan.

Broken Down (REPOST)Where stories live. Discover now