24. Jatuh Sayang

2K 481 41
                                    


24. Jatuh Sayang

Di umur sembilan, Elang pernah merasa begitu kacau seolah-olah ada petir menyambar kepalanya. Hari itu, ketika ia melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana adiknya yang baru berumur enam, didorong dari lantai dua. Ia merasa syok, tapi sama sekali tak bisa bergerak. Darah yang mengalir dari kepala dan hidung Dara, terlihat begitu mengerikan. Namun untuk mendekat, kedua kakinya seolah dirantai dengan kuat. Ia ... harus menyaksikan perlahan mata Dara tertutup lalu nyawa gadis kecil itu pergi ke tempat yang tak pernah bisa ia datangi sampai kapan pun.

Saat itu Elang kehilangan kepercayaan, kepada semua orang dan bahkan diri sendiri. Ia nikmati adegan dari kejadian itu terus menyerangnya di malam-malam ketika terlelap. Ia biarkan rasa tersiksa itu menderanya tanpa ampun, sebagai bentuk hukuman atas kesalahannya. Karena demi apa pun, meski bukan tangannya yang mendorong, tapi ia merasa bahwa Dara pergi karenanya. Seandainya ia bisa lebih peka. Seandainya ia menemani Dara kapan dan di mana pun. Seandainya ia bisa menggantikan Dara untuk menjadi obyek siksaan perempuan sialan itu, adiknya pasti masih hidup. Masih bersamanya.

"Lang."

Mengalihkan pandangan dari kedua tangan yang berlumur darah kering, Elang menatap Zuco.

"Nih." Zuco menyerahkan bungkusan plastik. "Ganti baju lo. Tangan lo juga kotor."

Elang menatap tangannya lagi, lalu beralih ke arah ruang UGD yang masih tertutup rapat. Rasa nyeri menyerang ulu hatinya. Lehernya terasa seperti dicekik sesuatu tak kasat mata.

"Lusi lagi ditangani dokter." Kali ini Jefri yang berbicara, sambil memeluk Irene yang menangis. "Lo ganti baju bentar, dia nggak akan ke mana-mana."

Elang masih merasa ragu. Bayangan Dara yang bersimbah darah, juga Lusi yang terkulai lemah dalam dekapannya, kini kembali berputar-putar di benak. Ia merasakan ketakutan yang luar biasa.

"Lang, Lusi bakal baik-baik aja."

Ia mendongak kepada Zuco, sebelum mengembuskan napas kasar. Pada akhirnya ia bangkit dan mengambil bungkusan di tangan Zuco, sebelum berlalu menuju toilet terdekat.

Ia ganti kaus dan jaketnya dengan tergesa-gesa. Begitu pun tangan yang ia gosok dengan cepat, tapi berulang-ulang hingga lecet. Tapi ia tidak peduli. Semakin digosok kedua tangannya, semakin ia puas melampiaskan sesak di dada. Ketakutan yang mencengkeramnya hingga susah bernapas.

Di perjalanan tadi, Elang merasa kacau ketika darah tak berhenti mengaliri kaki Lusi. Ia takut, ketika wajah Lusi yang merintih di dekapannya, berubah menjadi Dara. Saat istrinya hilang kesadaran, jantung Elang terasa seperti diremas erat. Tubuhnya gemetar karena bayangan kematian Dara.

Dengan tergesa, ia keluar dari toilet. Langkahnya lebar-lebar menuju ruangan Lusi ditangani. Napasnya tercekat ketika di sana, ia melihat orang-orang yang dikenal baru-baru ini. Ela, Dave-yang berbalut jas dokter-, Lli dan Rena, bahkan ... Panji. Ela, saudara Lusi itu langsung menghampirinya.

"Dasar jahat!" Ela mendorongnya kuat. "Manusia jahat!"

Elang tak menghindar. Ia hanya nenunduk dengan kedua telapak tangan terkepal.

"Salah lo, Lusi jadi gini!" teriak Ela. "Salah lo!"

"Ya." Elang menjawab lirih. "Salah gue."

Elang makin menunduk. Ya, memang salahnya. Ia telah berjanji kepada diri sendiri, maupun teman-temannya dan bahkan Bian, untuk menjaga Lusi. Namun ia malah membuat Lusi jadi seperti ini. Sama seperti kepada Dara, ia juga menjadi bodoh karena mencelakai Lusi.

"Ela, sudah."

Elang mendongak ketika Panji mengatakan itu sambil mendekat. Elang membalas tatapan tajam laki-laki itu untuk beberapa saat.

Broken Down (REPOST)Where stories live. Discover now