4. Chaos

2.4K 498 34
                                    

Lusi menundukkan kepala dalam-dalam. Jari jemarinya bergetar dalam pangkuan. Air matanya tak berhenti menetes, meski tak ada isak dalam tangisnya. Tiga bulan lalu, ia memang sudah merasakan kehancuran. Lebih buruk daripada kabar di tengah hari, ketika seorang tetangga memberitahu bahwa bis yang ditumpangi ayah ibunya mengalami kecelakaan maut, menjadikan ia yatim piatu di usia sepuluh tahun. Ia kehilangan kehormatan, dengan cara yang tak pernah ia bayangkan dalam mimpi sekalipun.

Lalu sekarang, lima menit lalu, kehancuran itu kembali meremukredamkan hatinya yang bahkan belum mulai terekat sedikit pun. Ia sudah berniat merelakan perbuatan bejat kakak tingkatnya itu, meski trauma masih merantainya ke dalam mimpi-mimpi buruk. Sungguh, ia sudah ingin melanjutkan hidup dan menganggap yang terjadi malam itu hanyalah sebagai batu sandungan. Tapi mengapa itu tidak cukup? Harus sehancur apa diri Lusi agar hidup berhenti mempermainkannya seperti ini?

Bugh!

"Berengsek lo!"

Lusi memejamkan mata rapat-rapat, ketika Kevin menghantamkan kepalan tangan ke arah Jefri, tepat setelah cowok itu mengakui segalanya. Irene memekik histeris, namun tak juga menghentikan kekalapan Kevin. Pun dengan Rena dan Panji. Mereka bungkam, dengan wajah syok yang begitu menyakitkan bagi Lusi.

Lusi sudah tak punya muka lagi sekarang, di depan orang-orang yang sudah berbaik hati menganggapnya adik. Ia mengecewakan mereka, dengan adanya makhluk kecil yang kini hidup di dalam rahimnya. Leher Lusi terasa tercekik. Dengan mata yang makin berlinang, ia raba leher-mengusir sesuatu yang menghalangi jalannya udara meski nihil. Ia masih sesak napas. Suara pukulan dan umpatan Kevin di ruangan ini serupa dengungan yang berdenging dalam gendang telinga.

"Lusi."

Lusi membuka matanya yang perih, lalu mundur saat Panji berjalan mendekat.

"Hei."

Lusi menggeleng, menepis uluran tangan laki-laki itu. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, bahunya bergetar hebat.

"Lusi."

Suara bergetar Rena, diiringi sentuhan. Namun Lusi berjengit, kembali menepisnya.

"Hei, Lusi." Lusi merapatkan punggung ke sandaran ranjang, karena suara lirih Panji makin mendekat. "Lusi, adik saya. Lihat sini."

Dalam tundukan kepalanya, Lusi menggeleng berulang-ulang hingga terasa pening. Adik? Dulu, ia memang sangat bahagia ketika beberapa kali Panji dan Kia mengajaknya ke rumah mereka, memperkenalkan ia sebagai adik. Tapi sekarang? Masih pantaskah ia dianggap adik? Gadis sekotor ia?

"Andalusia."

Lusi mulai terisak-isak. Panji yang menyebut nama panjangnya, membuat seluruh badannya bergetar ketakutan. Panggilan itu mengingatkan Lusi pada almarhum ayahnya, yang dulu selalu menyebut 'Andalusia' dengan lembut ketika ia melakukan kesalahan. Ia merasa begitu berdosa. Jika saja Ayah masih ada, bagaimana ia menghadapi wajah kecewa cinta pertamanya itu?

"Kak Panji nggak nyalahin kamu."

Kalimat itu sontak membuat Lusi membuka kedua tangan, membuatnya bertatapan dengan mata tajam yang kini terlihat sendu itu. Wajah yang sering berekspresi datar, namun menyimpan kepedulian tinggi.

"Bukan salah kamu," bisik Panji, membuat Lusi kembali sesenggukan. Apalagi ketika laki-laki itu membungkuk, membawanya dalam dekapan. "Everything's will be okay."

Setitik air meluncur ketika Panji memejamkan mata. Semua itu disaksikan oleh Rena dan Kevin—yang sudah berhenti memukuli Jefri—dengan hati terenyuh. Kevin tahu betul, bagaimana sahabatnya dan juga Kia, begitu peduli pada Lusi. Karena itu ia bisa menebak seberapa dalam rasa kecewa Panji saat ini. Bagaimana dengan Kia yang sekarang menunggu kabar di panti? Perempuan berhati lembut itu pasti hancur, jika tahu kondisi adiknya.

"Di mana temen bejat lo?" Kevin beralih menatap Jefri yang masih tersungkur di lantai, dengan kepala menunduk. Sedangkan Rena sigap menahan tangan suaminya yang mengepal, takut memukuli teman kuliahnya itu.

"L-lagi di perjalanan, Om." Jefri menjawab terbata, sembari melirik ke arah Irene yang berdiri jauh darinya, terlihat tak sudi menatapnya. Ia mendesah pelan, bisa membayangkan seberapa besar kebencian kekasihnya itu.

Kevin mengeraskan rahangnya. Ia berharap tak akan kelepasan membunuh Jefri, yang telah menjadi penyebab kehormatan Lusi direnggut paksa. Tapi harapannya tak akan terjadi, ketika tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka kasar dari luar dan seseorang merangsek masuk. Tepat ketika Panji melepas pelukan dan Lusi terlihat lebih tenang.

Semua orang di sana kaget, tentu saja. Namun Elang, sosok itu, tak mengindahkan kehadiran orang-orang. Mata tajamnya yang serupa elang, hanya tertuju pada satu titik-Lusi. Cowok itu berderap mendekat, dengan rahang mengeras dan kedua tangan mengepal. Satu tangannya mencengkeram bahu Lusi.

"Kenapa lo bisa hamil, hah?!" Elang membentak, membuat Lusi terkesiap. "Lo bilang lo nggak bakal hamil! Lo bilang hari itu bukan masa subur lo. Lo bilang nggak bakal hamil, sialan. TAPI KENAPA SEKARANG HAMIL, HAH?!"

Sebuah kesalahan besar. Karena setelah berteriak kesetanan seperti itu, tubuh Elang terpelanting membentur dinding. Panji pelakunya, yang saat ini berdiri dengan wajah dan mata memerah marah.

"Bajingan." Panji mendesis, melangkah maju dan menghantam wajah serta perut Elang bertubi-tubi, tanpa jeda.

Ia menduduki perut Elang, sebelum cowok itu berhasil bangkit. Ia pukuli lagi, tanpa peduli bahwa wajah itu sudah penuh oleh luka lebam. Kevin yang berdiri di belakangnya, menggeleng kecil. Bajingan kecil ini benar-benar memancing amarah sahabatnya. Susah payah Panji menenangkan Lusi, namun bocah bejat ini datang-datang, bukannya meminta maaf, malah membuat Lusi bergetar ketakutan.

Panji memang pendiam, tapi semua orang tahu bagaimana laki-laki itu jika sudah emosi. Bukan sepertinya yang akan sambil mengumpat, Panji justru akan fokus pada kepalan tangan dengan mulut bungkam. Seperti sekarang.

"Nji, udah." Kevin akhirnya bersuara, setelah melihat Elang terkapar karena tak diberi kesempatan melawan. "Lo bisa bunuh anak orang."

Panji mengakhiri hajarannya dengan menendang tulang kering Elang, lalu beringsut mundur. Ia menoleh ke arah Lusi yang kini kembali menangis histeris di pelukan Rena. Amarahnya kembali memuncak. Ia maju kembali karena belum puas menghajar Elang, namun Kevin menahannya.

"Kita bawa Lusi pulang."

Panji mengangguk. "Suruh Gio angkat kasus ini." Lalu tatapan tajamnya menyorot ke arah pelaku pemerkosa adiknya, yang kini tengah termangu dengan tatapan kosong. "Sebelum gue benar-benar bunuh bajingan ini."

***

Yaa gitu deh wkwk

Magelang, 15 November 2021

Direpost 22 !Agustus 2023

Broken Down (REPOST)Where stories live. Discover now