12. Mimpi Buruk

2.7K 502 16
                                    

12. Mimpi Buruk

"Lus, ini gue, Irene."

Suara di luar pintu setelah terdengar ketukan, membuat Lusi menurunkan kakinya yang tadi bersimpuh di sofa bawah jendela. Ia melangkah ke arah pintu dan memutar kunci. Sejak pulang dari rumah sakit, ia memang mengurung diri di kamar. Tante Vera sendiri tadi pergi ke toko bunga milik wanita itu, katanya ada urusan penting.

"Hai." Irene melambaikan tangan begitu pintu terbuka.

Lusi tersenyum kecil. "Masuk."

Irene meletakkan tas di atas ranjang, lalu duduk di sana. Sementara Lusi memilih kembali duduk di sofa, menyempatkan diri untuk sejenak menyimpan hasil kerjanya di tablet.

"Lo baru aja gambar?" tanya Irene yang diangguki Lusi. "Nggak pakai laptop?"

"Laptopnya rusak, nggak dibolehin pakai lagi sama Kak Panji." Lusi tersenyum kecil.

Tablet yang dipakainya ini baru tadi diberikan oleh Kiara dan Bita. Mereka bilang, Lusi akan lebih mudah menggunakan tablet yang ringan di saat kondisi seperti ini. Karena merasa terharu dengan kepedulian mereka yang tak ada habisnya, Lusi akhirnya menerima itu. Untungnya semua data pekerjaan, ia simpan di Gdrive.

"Gue seneng, mereka baik banget sama lo." Irene tersenyum lemah. "Nggak kayak gue, yang ngaku sahabat tapi hancurin hidup lo."

Lusi menggeleng. "Gue udah bilang kan, jangan terus-terusan ngerasa bersalah. Udah cukup lo minta maafnya."

"Tapi gue—"

"Gue akan marah beneran kalau lo masih ungkit-ungkit itu."

Irene menunduk. "Sorry."

Lusi menghela napas. "Lo ke sini sama siapa?"

"Sendiri, naik taksi. Tapi dibuntutin sama orang-orang berengsek itu."

Kening Lusi berkerut. "Orang berengsek?"

Irene mengedikkan bahu sambil cemberut. "Salah satunya ya mantan gue."

Mata Lusi membola. "M-mantan?"

Irene menghela napas, wajahnya terlihat lesu. "Gue nggak mau pacaran sama orang yang udah jebak sahabat gue sendiri."

Masih dengan keterkejutannya, Lusi berkata, "Gue penyebab kalian putus?"

"Enggak." Irene bangkit dan pindah duduk di sebelah Lusi. "Gue nggak mau maafin dia, sebelum lo terbebas dari si berengsek Elang. Gue nggak akan pernah bahagia sama dia."

"Tapi lo masih cinta dia."

Irene tersenyum miris, kemudian menatap perut Lusi yang belum terlihat membuncit. "Gue ... boleh sentuh?" Lusi menggangguk, dan Irene mengusap lembut perut Lusi. "Gimana keadaan lo sama si baby? Lo dibuat susah sama dia?"

Lusi menggeleng, ikut mengusap perutnya. "Dia anak baik."

"Alhamdulillah. Lo kalau ngidam atau pengin apa pun, bilang sama gue ya. Gue siap berperan jadi suami lo. Karena gue yakin, si berengsek Elang pasti nggak akan perhatian sama lo."

Lusi hanya tersenyum kecil sambil mengangguk. Ia tiba-tiba merasa bersalah ketika teringat telah menolak janin di perutnya, padahal dia sama sekali tak merepotkan Lusi. Bahkan hasil check up tadi sangat baik. Janinnya kuat, meski dokter mengatakan agar ia menambah berat badan.

"Gue tadi check up," beritahu Lusi.

Irene menatapnya berbinar. "Baik-baik aja kan?"

"Iya."

"Ada foto USG-nya nggak?"

Lusi mengangguk. Ia mengambil foto hasil USG dari dalam tas dan mengulurkannya kepada Irene. Sahabatnya menatap foto itu dengan mata berbinar namun berkaca-kaca.

Broken Down (REPOST)Where stories live. Discover now