23. Terungkap

2K 480 43
                                    

Warning: ada beberapa kata kasar. Be wise, okay?

23. Terungkap

"Kerja?"

Elang mengangguk, mengiyakan. Dan hal itu membuat bundanya tertawa kecil.

"Aneh-aneh aja kamu. Tanpa kerja pun kamu sudah punya uang, Nak. Ayahmu masih selalu kirim uang, kan? Belum lagi kakekmu. Buat apa kamu mau kerja sekarang? Di toko Bunda, lagi. Sudahlah, kamu fokus ke skripsi yang baru mau dimulai, baru kerja setelah lulus."

Elang terdiam, memandangi ibunya yang sibuk merangkai bunga. Bunda tidak membahas tentang waktu yang akan ia habiskan nanti di penjara, padahal hal itu sangat penting. Tapi ia juga tidak tega untuk mengingatkan. Tidak sekarang. Ah, dan soal uang yang selalu dikirim oleh ayahnya, mana sudi ia memakai itu?

Ia berdeham sebentar sebelum berkata, "Mau nafkahin Lusi."

Ibunya menoleh dengan kening berkerut. "Lho bukannya selama ini memang kamu yang nafkahin Lusi? Kamu bahkan larang Bunda keluar uang, kan? Ya walaupun kamu pakai uang jatah dari Kakek, tetap saja kamu menafkahi Lusi."

"Dengan uang hasil kerja kerasku, Bun." Elang memainkan selotip di tangannya. "Boleh?"

Vera menghela napas. "Ya sudah, kalau maunya kamu begitu. Kamu bisa kerja di sini, jadi kurir yang antar pesanan. Tapi gajinya nggak besar."

Elang menggeleng. "Nggak masalah."

Vera tersenyum kecil sebelum melanjutkan pekerjaannya, sementara Elang membuka pesan yang baru saja masuk. Mata laki-laki itu menajam begitu membaca tulisan Zuco.

"Sialan." Ia mengumpat pelan dan bangkit dari duduk, membuat bundanya menoleh.

"Mau ke mana, Elang?"

"Jemput Lusi."

Singkat ia menjawab, sebelum keluar dari toko bunga itu dengan kedua tangan terkepal. Jantungnya berdegup kencang. Ia harap Lusi baik-baik saja.

***

Sebelumnya, Lusi tahu bahwa cepat atau lambat semua orang akan mengetahui rahasia yang ia simpan. Entah karena menyadari perubahan pada tubuhnya, atau hal lain. Namun ia tak menyangka jika datangnya secepat dan sememalukan ini.

Di kelas kedua tadi, tiba-tiba kelas ramai karena sebuah berita di grup chat angkatan mereka. Dan berita itu berisi kiriman foto-foto Lusi yang pergi ke poli kandungan bersama ibu mertuanya, juga kadang Kia atau Ela. Bahkan ada foto di mana Lusi diam-diam meminum susu kotak khusus ibu hamil ketika ruang kelas dalam keadaan kosong. Dan di grup itu, bahkan di chat pribadi, banyak yang mencaci makinya. Meski tak sedikit pula yang masih menyangkal dan memintanya menyanggah.

"Gue bilang juga apa? Dia hamil! Nggak percaya sih, kalian!"

Dosen yang harusnya mengisi malah tidak datang, sehingga sekarang tidak ada kelas. Namun anak-anak yang terlanjur masuk, kini berkumpul untuk mendengarkan cercaan gadis di koridor depan kelas.

"Cewek yang kalian bela ini, yang kalian nggak rela gue omongin di belakang, nyatanya nggak sepolos itu, kan? Luarnya aja yang innoncent, dalemnya b*tch!"

"Jaga omongan lo, Galuh!" Irene yang sedari tadi ditahan Lusi, kini bangkit dan menghampiri Galuh.

"Lo nggak terima?" Galuh mengangkat kedua alis. "Setelah lihat foto-foto itu, lo masih mau bela temen lo ini?"

"Jelas!" Irene mengangkat dagu. "Jadi tarik lagi omongan lo soal Lusi atau gue-"

"Atau apa? Lo mau ngadu ke Kak Jefri? Masih punya harga diri, lo? Bukannya kalian udah putus? Ups!" Galuh terkekeh sambil menelisik wajah Irene. "Atau ... lo emang udah tahu kebusukan temen lo? Lo tahu dari awal kalau dia hamil di luar nikah?"

Broken Down (REPOST)Where stories live. Discover now