16. Sorry

2K 433 24
                                    

16. Sorry

"Lang?"

Elang yang baru saja berdiri di tengah-tengah berlangsungnya kelas, melirik Jefri sekilas sebelum melanjutkan langkah ke arah pintu. Tak lupa, tas beserta buku ia bawa.

"Kamu mau ke mana, Elang?"

Lagi, Elang melirik dosen yang terlihat heran dengan tingkahnya. Laki-laki itu lalu berkata datar, "Ada urusan."

Lalu siapa yang berani menegur cucu pemilik kampus ini? Tidak ada. Makanya dosen itu pun hanya geleng-geleng kepala melihat Elang berlalu keluar begitu saja.

Mencangklong tas di satu pundak, Elang memegang erat ponselnya. Langkahnya panjang-panjang, meninggalkan gedung FT dan bertolak menuju FE yang terpisahkan oleh dua gedung fakultas lain. Pesan dari Edwin-lah yang membuat ia terburu-buru saat ini. Hatinya merasakan sesuatu asing, yang sejak Dara pergi, tak pernah ia rasakan lagi. Sesuatu yang membuatnya ingin segera melihat Lusi, gadis yang menjadi pusat pikirannya belakangan ini.

Napas Elang memburu ketika ia sampai di FE. Dan ketika melihat beberapa gadis bergerombol, ia ingin menghampiri untuk menanyakan keberadaan Lusi. Tapi niat itu urung, begitu teringat jika Lusi akan semakin membencinya. Maka dari itu ia lebih memilih membuka ponsel, kemudian mendial nomor Lusi. Ia mengernyit ketika samar-samar mendengar dering yang cukup familiar. Karena itu ia langsung melangkahkan kaki mendekar, mencari asal suara yang ternyata berasal dari ... toilet.

"Kak Elang?"

Bibir Elang menipis ketika menemukan Irene berdiri di depan toilet, menatapnya kaget. Ia langsung mendekat dan mencengkeram bahu gadis itu. "Kenapa lo nggak bilang ke gue, sialan?"

Irene berusaha menepis tangan Elang yang justru makin mencengkeramnya kuat. "Lusi yang ngelarang gue."

Mata Elang berkilat. Rahangnya mengatup. "Di mana dia?"

"Lusi—"

"K-kakak ...,"

Suara pelan dan lemah itu membuat Elang menoleh dengan cepat. Napasnya tertarik kuat-kuat ketika melihat sosok yang khas dengan rambut keriting panjang dan kulit putih pucat yang makin terlihat pasi itu, berdiri di ambang pintu toilet.

"K-kak," Lusi menatapnya ragu. "Lepasin Irene."

"Shit!" Elang langsung melepas—mendorong, lebih tepatnya—bahu Irene hingga gadis itu terhuyung ke belakang. Lalu tatapannya kembali ke Lusi. "Ayo."

"K-ke ... mana?"

Elang menggeram. "Ke mana lagi? Dokter, bego!"

"Nggak usah kasar!"

Elang langsung melirik Irene dengan tajam, sebelum kembali menatap Lusi. "Ayo."

"Saya ... nggak apa-apa."

Elang menggeram. Ia memang merasa lega karena Lusi mulai berani membuka suara untuk berbicara dengannya, tapi sikapnya ini sungguh membuatnya jengkel. "Lo mimisan, banyak, dan masih bilang nggak apa-apa? Gue bilang, jangan bego!"

Elang langsung merebut tas Lusi yang berada di tangan Irene, lalu dengan isyarat mata, memerintah gadis yang tengah mengandung anaknya itu untuk jalan lebih dulu. Untungnya kali ini Lusi menurut.

"Nggak usah ikut, lo!" Elang memperingati Irene, sebelum berjalan di belakang Lusi.

Elang sengaja mengambil jarak lebih dari tiga langkah dengan Lusi, karena banyak orang berkeliaran di koridor. Sebenarnya ia tak pernah memikirkan asumsi orang lain, namun Lusi tentu beda. Dan entah kenapa, ia selalu tergerak untuk menjaga perasaan gadis itu. Bahkan ia menerima tantangan komitmen dari Edwin dan Zuco, untuk tidak melakukan kekerasan di depan Lusi.

Broken Down (REPOST)Where stories live. Discover now