19. Amarah

2K 461 20
                                    

19. Amarah

Dalam hidup, ada hal-hal yang perlu kita sembunyikan dari pengetahuan orang lain. Entah itu sedikit atau banyak, kita merasa harus merahasiakannya. Dan Lusi punya itu.

Sejujurnya, Lusi sudah lelah menangis. Meski tiap malamnya ia merasakan mimpi buruk yang tak pernah absen menyambangi lelap, ia tetap ingin terlihat baik-baik saja. Di depan semua orang, termasuk keluarga atau bahkan Elang. Meski bukan orang kuat, ia tidak ingin dicap lemah. Namun pertahanannya runtuh begitu saja, ketika di toilet tadi, Galuh menyeletukkan sebuah pertanyaan kepadanya, juga di depan tiga orang senior.

"Lo gendutan, Lus. Di beberapa bagian, lagi, gendutnya. Hamil, ya?"

Hanya itu, namun membuat Lusi tidak bisa bertahan. Selesai dari toilet, ia langsung keluar dari kampus. Tanpa berpamitan kepada Irene yang menunggu di kelas selanjutnya, atau bahkan mengabari Elang. Ah, Elang? Tentu saja ia tidak akan menghubungi laki-laki itu tadi.

Dan di sinilah Lusi berada. Di depan makam kedua orang tuanya. Menumpahkan air mata yang telah berbulan-bulan ia tahan. Begitu beratnya sesak yang ia rasakan, hingga tangisnya sungguh keras memenuhi seluruh sudut pemakaman yang kosong ini.

Hanya isak dan raungan yang bisa mulutnya keluarkan, di saat langit menurunkan gerimis. Ia tak mampu mengatakan apa-apa. Tidak ada mengeluh, atau mengadu. Ia kehabisan kata-kata untuk meluapkan seluruh gusar yang bergelayut di hati.

Tentang kandungannya yang hampir memasuki usia lima bulan. Tentang perutnya yang makin membuncit, dan kakinya yang mulai membengkak. Tentang ketakutannya, bahwa cepat atau lambat harus berhenti kuliah. Ia takut, sungguh. Masa depan yang dulu ia rancang sedemikian rupa, hanya tinggal menunggu waktu untuk hancur.

Tidak. Lusi sudah tidak menyalahkan makhluk di perutnya. Ia tidak bisa, meskipun dulu begitu ingin. Ia hanya tak mengerti bagaimana cara menghadapi semua ini ke depannya. Karena nyatanya, berusaha untuk berdamai dan menerima Elang pun, tidak lantas membuatnya merasa lebih baik.

Tolong katakan, Lusi harus bagaimana?

***

Sejauh hidupnya terjalani dengan datar, Elang tak pernah merasa kacau seperti ini. Tak pernah memiliki perasaan khawatir berlebihan, yang membuatnya mengumpat berkali-kali. Dan juga, tidak ada yang membuatnya merasakan kelegaan yang amat sangat, begitu melihat sosok yang duduk di depan warung penjual bunga ziarah, di depan makam, yang bahkan kosong itu.

Tanpa menunggu lama, Elang langsung mengarahkan langkah panjangnya ke sana. Sambil berusaha menetralkan napasnya yang tak beraturan.

"Oi."

Gadis yang tengah mendekap perutnya itu mendongak, menatapnya terkejut. "K-kakak ...,"

Elang memainkan lidah di bagian dalam pipi, mengamati wajah sembap Lusi yang sangat terlihat jelas. Rahang laki-laki itu mengetat. "Tahu, orang khawatir?"

Mata Lusi bergulir ke segala arah. "S-saya—"

"Lo tahu, orang khawatir?" Kedua tangan Elang terkepal. "Ha?!"

Lusi menunduk, tapi Elang sudah kepalang lepas emosi. Melihat sepinya tempat ini, membuat amarah makin menguasai dadanya. Otaknya membayangkan berbagai kemungkinan buruk, sesuatu yang pasti akan membuatnya kacau jika itu menimpa Lusi. Bagaimana kalau Lusi didatangi orang berengsek? Sangat sulit untuk meminta pertolongan. Apa gadis ini tidak berpikir sedikit lebih pintar?

"Pernah, gue ngelarang lo pergi kalau bukan sama gue? Pernah, gue ngekang lo? Ha? Pernah apa enggak?!"

Lusi menggeleng. "Maaf."

"Gue nggak minta banyak karena tahu posisi gue di hidup lo itu sebagai apa. Gue nggak minta lo ajak ngobrol atau haha hihi kayak yang dengan gampangnya lo lakuin ke Edwin atau Zuco. Karena gue tahu lo nggak akan pernah lihat gue bahkan cuma sebagai manusia rendahan sekalipun."

Elang mengernyit, menekan rasa getir yang merambati kerongkongan hingga dadanya terasa begitu penuh oleh gumpalan.

"Gue cuma minta lo kabari. Cuma itu." Elang menggigit bibir dalam. "Apa sesusah itu?"

Lusi mendongak, membuat Elang tersentak karena cairan yang membayangi sudut mata gadis itu. "Saya ... minta maaf."

"Apa lo sebego itu sampai nggak mikir," Elang memelankan suaranya. "kalau tiba-tiba di sini, di tempat sialan ini, ada orang yang berengsekin lo? Lo mikir apa enggak, ha?!"

"Tempat sialan yang Kakak sebut ini adalah tempat penting!" Lusi menjerit. Air mata gadis itu berlinangan, membuat kepalan tangan Elang mengerat. "Tempat ini adalah rumah dari dua orang terpenting dalam hidup saya. Tempat sialan ini adalah satu-satunya tempat buat saya menenangkan diri dari brengseknya dunia saya. Orang berengsek?" Lusi tertawa hingga tersedak oleh isak tangisnya. "Satu-satunya orang berengsek dalam hidup saya adalah Kakak. Cuma Kakak!"

Gerimis turun lagi, menambah suasana kelabu yang menggelayuti langit sore. Tetes demi tetes itu membasahi ujung kepala Elang, namun badannya terasa kaku bahkan hanya sekadar untuk bergabung meneduh di bawah atap warung.

"Saya capek. Capek, Kak."

Lusi terlihat begitu keras meredakan isak tangisnya. Hanya dengan melihat itu, seluruh tulang belulang Elang terasa lunglai. Ia tidak tahu mengapa, tapi berusaha meminta maaf pun seperti tidak pantas ia ucapkan saat ini. Lusi yang menumpahkan emosi alih-alih raut datar atau ketakutan seperti biasa, mampu membuat ulu hati Elang terasa ngilu.

***

Emosinya dikontrol dong, Lang

Magelang, 14 Desember 2021

Direpost 11 November 2023

Broken Down (REPOST)Where stories live. Discover now