21. Obrolan

2K 440 7
                                    

21. Obrolan

Tante Vera pergi pagi-pagi sekali ke toko bunga karena ada banyak pesanan. Sementara Lusi yang sebelumnya sudah meminta izin kepada mertuanya itu, kini sedang berkutat di dapur. Ketika bangun tadi tiba-tiba ia ingin makan sambal cumi, karena itu sekarang memasaknya untuk makan siang. Elang? Laki-laki itu sepertinya sudah tidak ada di rumah sejak sebelum sarapan.

Sebenarnya ia memang cukup bisa memasak, tapi baru sekali ini punya kesempatan setelah tinggal bersama Elang. Di panti, ia selalu membantu Ibu membuat makanan untuk adik-adiknya. Tidak hanya ia, tapi Ela, Sari dan Desi juga. Jadi dapur bukanlah tempat asing untuknya. Dan sambal cumi adalah lauk kesukaannya, berawal dari Kia dan Panji yang mengajaknya makan di sebuah restoran seafood. Namun karena sayang jika harus membeli, ia pun belajar memasaknya sendiri sampai bisa mendapatkan rasa yang pas.

Suara dehaman seseorang, membuat Lusi yang baru memotong daging cumi, menoleh kaget. Di pintu dapur, ia mendapati Elang yang mengenakan kaus tanpa lengan dan celana training. Wajah laki-laki itu berkeringat.

"Ngapain?"

Lusi mengerjap, lalu memalingkan pandangan. "Masak."

Elang berdecak. "Beli aja."

Lusi menggeleng. "Pengin masak."

Lusi bisa merasakan jika Elang masih memperhatikan, tapi ia berusaha tak acuh dan memilih melanjutkan kegiatannya. Dan saat langkah laki-laki itu terdengar menjauh, barulah ia menoleh.

Satu jam berkutat dengan masakan itu, akhirnya Lusi selesai juga. Bertepatan jam makan siang tiba. Setelah menaruh masakannya ke meja makan, Lusi termangu. Pandangannya tertuju ke lantai dua, pada kamar Elang. Ia bingung. Di rumah ini hanya ada mereka berdua, karena tadi mertuanya sudah bilang akan makan di toko. Lusi ingin memanggil Elang, tapi ragu dan agak takut. Lusi tidak ingin Elang marah jika ia mengganggu laki-laki itu.

Terdiam menatap makanannya, Lusi terkaget karena ponsel di saku roknya berbunyi. Nama Bita muncul di layar, sehingga ia langsung mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum, Tante."

"Wa'alaikumsalam, Lusi Sayang. Besok jadi check up?"

Lusi mengangguk, lalu meringis saat tersadar bahwa Bita tak melihatnya. "Iya."

"Saya sama Bian mau ikut. Nggak apa-apa?"

"Boleh."Seketika, senyum Lusi merekah. Dengan riang, ia berkata, "Nanti Lusi sekalian mau lihatin desain cover buat novel terbaru temannya Tante."

"Wah, sudah dapat ide? Nggak sabar mau lihat." Bita tertawa, membuat Lusi ikut tertular. "Besok kabarin lagi ya. Kamu lagi ngapain?"

Lusi menggeleng. "Lusi barusan masak."

"Masak?" Suara Bita terdengar terkejut. "Tapi pelan-pelan, kan? Nggak kecapekan?"

"Lusi hati-hati kok, Tante."

"Harus. Ya sudah, saya tutup ya. Kamu makan yang banyak. Assalam'ualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Sambungan terputus. Dan ketika membalikkan badan, Lusi terkejut karena sosok yang kini sudah duduk di kursi seberangnya.

"Siapa?"

"Tante Bita." Lusi berkata pelan.

"Ngapain?"

Lusi mengerjap. Kenapa kesannya Elang ingin tahu sekali? "B-besok ... mau ikut check up." Lusi memelankan suaranya. "Boleh?"

Elang mengangkat sebelah bahu. "Nggak ada yang larang."

Lusi tersenyum tipis. "Makasih."

Ucapannya itu membuat Elang menatapnya lekat, namun laki-laki itu tak mengatakan apa-apa. Menggigit bibir, Lusi mengambil piring kosong dan mengisinya dengan nasi. Ketika mendongak, matanya langsung bertatapan dengan Elang yang ternyata tengah memperhatikannya.

"Segini?"

Elang mengerjap. "Buat gue?"

Lusi terdiam, lalu meringis. Dulu, ia terbiasa menyendokkan nasi untuk adik-adiknya, jadi tadi refleks saja. Biasanya ia diam karena Tante Vera selalu menyendokkan makan untuk Elang. Tapi saat mereka berdua, ia spontan melakukannya.

"Nggak ... boleh?" tanyanya, pelan sekali.

Elang menggeleng. "Lauknya."

Lusi langsung menambahkan sambal cumi dan terong goreng di atas nasi, sebelum menaruh nasi itu ke hadapan Elang.

"Thanks."

Giliran Lusi yang mengerjapkan mata. Ia menundukkan kepala agar tak bertatapan dengan Elang, lalu mengangguk. Mendengar laki-laki itu berterima kasih, entah kenapa rasa lega merayapi hatinya.

"Nggak usah sama Bunda." Elang membuka suara setelah mereka selesai makan.

Lusi mengangkat kepala, menatap Elang penuh tanya.

"Check up." Elang mengangkat kedua bahu. "Sama gue."

Lusi mengerjap. Elang? Ingin menemaninya check up? Bukankah selain yang karena ia mimisan waktu itu, Elang tak pernah mau menemaninya?

"Nggak boleh?" tanya Elang, karena Lusi terlalu lama diam.

"B-boleh." Lusi mengerutkan kening. "Kakak kan ... ada kelas."

"Bolos."

Mata Lusi membulat. "T-tapi ... besok Kakak kuliah,"

"Jangan bantah."

Mendengar suara dingin Elang, Lusi langsung menunduk.

"Dan," Elang menjeda ucapannya. "Maaf."

Lagi, Lusi mengangkat kepala. "Buat?"

Elang menatap gadis itu lekat, sebelum menjawab, "Di makam."

Lusi tercenung. Ia pikir, Elang tidak mau meminta maaf. Karena soal masalah mereka tiga hari lalu, bersikap seolah tak terjadi apa pun. Bukannya Lusi ingin dimintai maaf, tapi bukankah harusnya Elang merasa bersalah? Karena Lusi sadar jika Elang berbeda. Siapa dirinya hingga mampu membuat Elang menyesali perkataan pedas yang keluar dari mulut laki-laki itu?

"Lain kali, bilang gue." Elang berkata sepotong-potong lagi. "Ke mana pun."

"I-iya."

Hening lagi. Keduanya sama-sama diam. Lusi yang tak tahu harus apa, langsung bangkit dan menumpuk piring. Namun Elang tiba-tiba ikut berdiri dan merebut piring kotor itu, membuat Lusi terkejut. Lalu Elang membawanya ke wastafel, dan membuat Lusi terperangah, karena laki-laki itu sekalian mencucinya. Sebuah hal yang tidak biasa. Kalau Edwin melihat ini, mungkin akan tertawa sangat keras.

"Minum susu."

Lusi tersadar dari lamunan begitu mendengar Elang mengucapkan itu, bahkan tanpa menoleh. Gadis itu langsung mengambil susu ibu hamil yang tersimpan di kulkas, sebelum membuatnya. Ia yang meminum itu dalam beberapa kali tegukan, merasa canggung karena Elang mengamatinya setelah selesai mencuci piring.

"Lo kerja?"

Lagi, Lusi terkejut karena pertanyaan tiba-tiba Elang. Keningnya berkerut. Dari mana Elang tahu?

"Edwin kasih tahu."

Lusi mengangguk paham. Ah, mungkin Edwin tahu dari Irene. Belakangan keduanya memang terlihat dekat, meski seringnya adu debat.

"Karena gue nggak kerja?"

Lusi mengernyit, lalu buru-buru menggeleng. "Udah dari dulu."

"Kenapa?"

"Buat," Lusi membasahi bibir. "biaya kuliah."

Elang terdiam lama, kelihatan termangu setelah mendengar jawaban Lusi. Sementara Lusi merasa bingung.

"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Elang, sebelum laki-laki itu pergi begitu saja keluar dari dapur.

Lusi memperhatikan punggung laki-laki itu dengan bingung. Apa yang salah?

***

Direpost 22 November 2023

Broken Down (REPOST)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum