Momen Kedua Puluh Satu

Start from the beginning
                                    

Untuk pengawas dalam bus anak-anak kelas X akan diambil alih oleh beberapa guru yang ikut. Sebagian besar guru-guru yang ikut Persami adalah mereka yang memegang tanggung jawab sebagai pembina sebuah ekskul.

Aku masuk ke bus paling akhir--atau begitulah perkiraanku--karena harus memenuhi panggilan alam lebih dulu. Berharap aku bisa duduk dengan Anindya atau Mbak Nura, eh, malah dua orang itu duduk bareng. Mana ambil yang hanya dua bangku. Menyebalkan sekali mereka. Tidak setia kawan.

"Curang enggak ngajak-ngajak!" protesku saat melewati bangku mereka.

"Maafkan." Mbak Nura menangkup dua tangan di depan dada, tetapi tersenyum jail. "Lagian, salah sendiri telat."

"Kan, panggilan alam. Enggak bisa ditolak." Aku memberengut.

"Kan, masih ada bangku kosong, Tha. Tuh, di belakang." Anindya menunjuk deretan dua bangku yang masih kosong atau lebih tepat memang bangku itu yang tersisa. Hanya satu bangku, di sebelahnya karena di sebelah lagi sudah ada pemilik. Entah siapa karena hanya ada jaket yang tersampir. Sementara seluruh bangku sudah terisi tas, jaket, dan anak OSIS lainnya.

Ya, apa boleh buat.

Aku menukar posisi. Jaket yang tersampir tadi berada di bangku pinggir jendela, sedangkan aku tidak bisa duduk di bangku dekat orang lalu-lalang. Kalau nanti dia protes, aku harus mengeluarkan jurus rayuan macam apa, nih?

Ah, masa bodoh. Biar itu dipikirkan nanti. Aku duduk di sana, membuka sedikit jendela agar udara masuk, lalu menutup wajah dengan jaket. Kalau tidak salah, perjalanan menuju lokasi butuh 2 jam. Kan, lumayan kalau dipakai untuk tidur.

Eh, iya. Titip pesan dulu ke Anin atau Mbak Nura biar membangunkanku saat bus sampai lokasi.

"Anind!" panggilku sambil melongok dari bangku samping.

Bangku Anindya dan Mbak Nura berjarak tiga bangku di depan.

"Apa?"

"Bangunin aku kalau udah sampai lokasi, ya?"

"Beres!" Jempolnya sampai mengacung.

Sip! Tidak perlu khawatir kalau begitu. Yosh! Mari kita nikmati perjalanan ini dengan bobo. Bodo amat siapa yang jadi teman perjalananku ini. Eh, omong-omong. Anak OSIS cowok belum semuanya masuk, ya? Waduh, otomatis yang duduk di sini cowok, nih. Bisa-bisanya rebut tempat duluan, tetapi orang menghilang entah ke mana.

***

Sayangnya, pesanku untuk Anind tak menjadi nyata. Aku malah terbangun lebih dulu. Pada dasarnya memang tidak bisa begitu nyaman tidur jika bukan di kasur sendiri. Apalagi tidur sambil duduk begini. Sangat kurang nyaman.

Aku merasakan dingin yang berbeda. Jendela bus yang tadi terbuka sedikit pun, kini tertutup sempurna. Begitu mendongak, aku paham dari mana udara dingin itu berasal. Baru ngeh juga kalau ternyata bus pariwisata yang ini pakai AC. Perasaan, pas masuk tadi aku tidak menyalakannya--memang sudah menyala lalu aku tidak tahu atau seseorang menyalakannya saat aku tertidur.

Aku menengok ke samping untuk tahu siapa teman duduk sepanjang perjalanan kali ini. Jaket yang tadi tersampir di bahu bangku sekarang malah menutupi wajahnya. Iseng dan penasaran, kusingkap sedikit jaket itu. O, ternyata Si Manusia Dingin anak Mading.

"Ngapain buka-buka? Ganggu orang tidur aja."

Eh, dia kebangun?

"Maaf. Kan, pengen tahu siapa yang duduk di sebelahku." Syukurlah bukan Raga yang di sini.

"Kalau udah tau, mau apa emang?"

"Hmm ...."

Aku memiringkan kepala, pura-pura berpikir keras. "Gangguin."

Ada yang Memang Sulit DilupakanWhere stories live. Discover now