39. Mudah Untuk Mencintai 🌱

301 49 14
                                    

HAPPY READING!!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

HAPPY READING!!




Dua hari Aira dirawat di rumah sakit, dan esoknya langsung pergi ke sekolah. Bukan tanpa alasan, Aira ingin melupakan segala ketakutannya dan kembali bangkit seolah telah melupakan semuanya. Gebra berkata ‘lupakan semuanya, kita akan kembali seperti dulu. Itu pun kalau kamu enggak lagi macam-macam’ ya, itulah yang dikatakan Gebra semalam. Sewaktu dia berusaha menghindar tapi Gebra lebih mengungguli dengan datang lebih cepat ke kamar Aira. Begitu mudahnya Gebra berkata demikian.

Lupakan ....

Semudah itu?

Semudah itukah Gebra mengatakannya? Sebuah kata yang sudah mengikat batinnya. Kejadian malam itu begitu mengerikan. Gebra adalah monster bertopeng manusia. Akal sehatnya saja tidak bisa menyerap apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba Gebra mengamuk dan melampiaskan seluruh kemarahan padanya.

Farel sangat mengkhawatirkan kondisinya. Seakan Farel tahu mentalnya sudah rusak. Jika bukan karena Farel maka Aira tidak akan bisa berdiri di gerbang sekolah saat ini. Tangan lemahnya berupaya menggenggam tali ransel berwarna biru pastel. Tatapan kosong tertuju ke bangunan besar, luas dan mewah di depannya.

Beberapa hari lalu Farel datang. Sampai di hadapannya, cowok itu memeluk tubuhnya erat. Pertama kalinya Aira melihat Farel menangis. Satu yang bisa dia lihat dari Farel, ketulusan. Rasa yang belum dia pernah dapat dari orang lain selain keluarganya. Turun dari parkiran, senantiasa Farel menggenggam tangannya. Lantas beralih merangkul, memberi tepukan pelan. Lewat tatapan berkata, ‘lo kuat, gue yakin itu’.

Apakah Aira bisa melihat Anggita? Apakah dia siap? Ya Tuhan, dia belum siap ternyata.

Sampai di kelas, dia sudah melihat Anggita duduk di kursinya. Anggita terkejut melihat Aira. Farel menarik nafasnya tak beraturan. Sekilas Aira melirik Farel.

“Farel, gue enggak papa. Lo langsung masuk ke kelas lo aja,” kata Aira meyakinkan. Tatapan permusuhan Farel berikan pada Anggita. Dia bingung dari mana Farel tahu Anggita yang sudah membuat kesalahpahaman ini.

“Shan, biarin Aira duduk di meja lo ya,” pinta Farel pada Shana. Gadis bernama Shana mengangguk, berdiri menghampiri Aira. Menuntun Aira duduk di kursi di samping tempat duduknya. Barulah saat itu Farel pergi dari ruang kelas Aira.

Shana bergeming memandang punggung Farel yang sudah hilang di balik pintu kelas. Entah apa yang terjadi pada Aira beserta kedua kakaknya. Sebelumnya Aira tidak pernah bersikap seperti ini, bahkan sesedih apapun. Namun sekarang berbeda. Dari raut wajah saja sudah bisa tahu ada yang berubah dari diri Aira, tidak hanya Aira bahkan Gabriel, Gebra, Farel bahkan Novalen. Suasananya terlihat lebih suram dari biasanya. Kelas ini sudah terasa suram ditambah dengan perubahan mereka, menambah tingkat kesuraman kelas ini.

“Ai, gue ke kamar mandi bentar ya. Di tas gue ada bolu cokelat buatan Bunda Shami. Lo pasti suka, makan gih. Kalau enggak makan, dia pasti marahin gue.”

Hello, Friend?Where stories live. Discover now