23. Monster 🌱

238 49 40
                                    

Happy Reading

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Happy Reading

Ingat selalu, baik boleh tapi jangan bego.

🖤

Lagi dan lagi secara terus-menerus Aira dihadapkan pada situasi yang sama. Merasa Dejavu saking samanya. Kedua kakinya ditekuk, duduk di atas karpet sambil menunduk kepala. Gebra berdiri sambil melipat kedua tangannya di dada, Gabriel menatap Aira dengan pandangan iba sedangkan Vana dan Edgarka duduk di sofa menatap putrinya tak percaya. Kemarahan terpendam tercetak di wajah seluruh anggota keluarganya, terutama Gebra. Wajah setenang air sungai itu tak lagi membuat Aira tertipu. Gebra sedang berancang-ancang menyiapkan hukuman yang pantas untuknya.

“Airaeva, Papa kecewa berat sama kamu. Level kekecewaan Papa udah ke 10/10. Papa marah sama kamu, Aira. Entah apa yang buat kamu jadi kayak gini,” ucap Edgarka membuka suara, “ dulu kamu enggak pernah kayak gini. Semenjak kamu masuk SMA, kamu berubah. Mati-matian Papa dan Mama nyembunyiin kasus kamu dari keluarga besar. Papa pikir kamu bakal berubah, tapi enggak. Kamu malah semakin buat kesalahan yang lebih besar daripada sebelumnya.”

Vana memijat pelipisnya. “Kami enggak bisa tutup-tutupi kasus kamu lagi. Kasus kamu udah sampai di telinga Om kamu. Mungkin kamu langsung nurut kalau Om kamu yang bilangin,” timpal Vana. Kecewa sekali mendengar kabar ini. Bukan dia malu memiliki anak seperti Aira, tidak, setiap anak adalah anugerah. Tetapi, dia merasa tidak berguna. Sering kali dia berpikir, apa dia salah mendidik?

“Kamu masuk asrama putra, oke! Papa akan meringankan hukuman kamu tapi ... kamu sudah menyuruh teman kamu sendiri ngakuin semua kesalahan kamu! Dia sahabat kamu Airaeva! Dia yang udah mau jadi temen kamu. Dulu kamu kesusahan cari temen, dan baru kali ini ada yang mau temenan sama kamu. Bisa-bisanya kamu nyuruh orang ngakuin kebusukan kamu!” tukas Edgarka, menaikkan satu oktaf nada suaranya.

Air mata Aira mengalir, jemarinya mengerat mencengkeram rok seragam sekolah. Buliran air itu meluncur deras membasahi roknya. Justru Anggita adalah sahabatnya, dia sengaja menutupi semua kesalahan Anggita. Tatapan kebencian itu, membungkam mulut Aira. Seolah-olah mulut Aira ini sudah tergembok rapat.

“Mau ditaruh di mana muka Papa, Aira? Papa harus minta maaf langsung sama teman kamu. Kesalahan kamu kali ini, enggak bisa Papa maafkan. Papa kecewa.” Edgarka mengalihkan pandangannya ke arah lain, lebih tepatnya menatap putra pertamanya. “Kamu sayang banget ‘kan sama, Kakak kamu Gebra? Biar dia yang hukum kamu.” Setelah mengatakan itu, Edgarka bangkit lantas pergi meninggalkan ruang keluarga. Langkahnya begitu cepat, menuju keluar rumah.

“Ma, Aira enggak bermaksud kayak gitu. Coba kita denger penjelasan dia dulu,” pinta Gabriel, tidak kuasa melihat adiknya tertunduk sambil menangis. Kesalahan ini ....

Terasa ganjil.

Vana mengangkat tangan kanannya. “Cukup Gabriel, semua bukti sudah menunjukkan jelas. Mama kecewa sama  Aira, tujuh hari ke depan Mama mau pergi ke rumah kakek kamu.”

Hello, Friend?Where stories live. Discover now