8. Kesempatan Anggita🌱

194 34 26
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


“Mau pulang bareng?”

 
Langkah Aira terhenti, kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman kecil. Inilah yang sedari tadi dia tunggu-tunggu. Sengaja dia melambat-lambatkan gerakan ala merapikan buku, demi bisa diajak Novalen. Akhirnya cowok itu peka.

Sekarang Aira berdoa, semoga Novalen tidak sadar kalau dia di sini menunggunya pulang bersama. Semoga.

“Gue tau lo mau nagih janji ‘kan?” tebak Novalen, pergi ke hadapan Aira.

Sial.

Aira menyengir, menunjukkan sederet gigi putihnya. “Tau aja. Motor gue disita, Gabriel lagi nyelesaiin projek. Naik bus males nunggu, jadi mending sama lo.”

“Kasian banget si, yaudah yuk. Emang gue udah niat ngajak lo si.”

Cowok itu tertawa, menggenggam tangan Aira erat lalu diajaknya jalan bersama sambil menikmati suasana sore. Angin sepoi-sepoi bersemilir kencang, mengembuskan dedaunan rimbun di area sekolahnya. Sambil berjalan, Novalen bercerita panjang lebar. Apa pun, cowok itu ceritakan. Langkahnya lambat, seolah cowok itu memang ingin terus bersamanya.

Novalen bercerita dan Aira mendengarkan, sesekali menimpali. Kadang Aira terlena, menatap wajah Novalen yang tidak ada bosan-bosannya dipandang. Lama memandang wajah Novalen yang sibuk bercerita, tatapannya teralih ke tangan cowok itu. Genggaman tangan yang begitu erat, mengajak jantungnya menari zumba. Berdegup kencang, sampai suara Novalen terdengar samar di telinganya.

Hatinya bertanya, apakah perasaan ini hanya dirasakannya seorang? Atau, Novalen juga merasakannya?

Bibir Novalen tiada henti bergerak, membicarakan hal-hal lain seperti urusan sekolah, tugas, dan apa yang akan dilakukan beberapa tahun ke depan. Hari ini Novalen berangkat ke sekolah mengunakan motor matic, mirip sekali dengannya hanya berbeda warna saja.

“Ngobrol sama lo asik banget ya, Ra? Nyambung aja gitu,” kata Novalen, melirik sekilas wajah Aira di kaca spion.

“Iya dong,” sahut Aira menyombongkan diri.

Novalen terkekeh pelan. “Awalnya gue ngira lo judes, sombong, galak, ya ... walau emang bener si,” canda Novalen, langsung mendapatkan pukulan oleh Aira, “aduh sakit dong, Ai.”

Benar, semua orang yang belum mengenalnya pasti beranggapan seperti itu. Wajahnya terlihat galak, judes, ketus, menakutkan, tapi percayalah itu semuanya tidak benar. Aira selalu membuka tangan untuk orang yang ingin berteman dengannya.

“Tumben diem, biasanya abis mukul langsung nyerocos panjang kali lebar. Marah ya?”

Kening Aira berkerut. “Huh?! Apaan gak kedengaran?”

“Lo marah?” tanya Novalen sekali lagi, dengan meninggikan suaranya.

“Apaan si! Yang kenceng, gue gak denger?”

Hello, Friend?Where stories live. Discover now