EPILOG

491 45 7
                                    

Kini aku sudah berada dipenghujung kisah ini. Aku masih ingat bagaimana aku memulai kisah ini pada prolog yang berada dihalaman pertama. Halaman penuh kesedihan, marah, kecewa, dan hancur.

Kemudian dihalaman halaman selanjutnya pun sama. Sampai pernah aku berada dititik lelah dan ingin berhenti menjadi tokoh utama dalam kisah ini. Rasanya sakit pada saat itu, seperti dibunuh secara perlahan oleh penderitaan yang terasa menyakitkan.

Namun ternyata aku berhasil melewati semua adegan yang sudah disiapkan. Ternyata aku bisa menjalani peran yang memiliki kisah menyedihkan dan menyulitkan. 

Aku pun tidak menyangka aku bisa. Berada dihalaman terakhir dan menulis epilog dalam kisah ini membuat aku bangga pada diriku sendiri. Selelah apapun aku waktu itu,  sesedih, dan segitu putus asanya aku, aku tetap bisa melewatinya. Sekarang aku menyadari, ternyata aku hebat bisa melewati luka-luka yang begitu sakit.

Tapi apa kalian tau? Luka itu tetap membekas. Luka itu belum sepenuhnya sembuh, luka itu masih meninggalkan bayang bayang menyakitkan. Hingga aku memutuskan untuk pergi meninggalkan luka yang tak ingin pergi dariku. Harusnya memang seperti itu ,'kan? Jika luka itu tak mau pergi, maka akulah yang harus pergi.

"Aku mau bicara sesuatu sama kamu, Bintang," Bintang yang tadinya duduk tenang sambil menunggu bus datang kini cowok itu mengarahkan pandangannya menatapku.

"Kenapa, Lan? Gak mau naik bus? Mau naik motor aku aja?"

Aku menggeleng pelan. Kami memang sedang menunggu Bus karena aku sendiri yang maksa mau pulang naik Bus, sebab aku tidak ingin berduaan dimotor dengan Bintang saat cowok itu maksa ingin mengantarku pulang.

"Bukan itu, Tang."

"Terus kenapa? Dingin, ya? Yah aku gak bawa jaket yang lebih tebel, sih. Maaf, ya, Lan, jadi bikin kamu kedinginan," Bintang membenarkan jaketnya yang melekat dibadanku.

"Bintang, bukan itu," ujarku pelan.

"Terus apa dong, Lan?"

"Aku mau pergi."

Bintang mengangguk pelan, "iya bentar lagi, ya, Lan. Dikit lagi busnya dateng kok," Bintang masih tidak paham juga.

Aku menghela nafas dalam. Bagaimana aku menyampaikannya.

"Bukan itu juga, Bintang," Aku menatap lurus ke arah depan. Tidak ingin melihat Bintang sama sekali. Lebih baik seperti ini dari pada harus merasa tak tega.

Kudengar Bintang menghela nafas dalam juga. Saat aku menoleh, aku mendapatkan Bintang yang sudah menunduk dalam.

"Kenapa harus pergi, Lan?" tanya Bintang.

Aku rasa Bintang sudah paham tadi.  Dia hanya pura pura tidak paham saja.

"Harus pergi, Bintang," jawabku dengan berat hati.

"Iya kenapa? Kenapa harus pergi."

"Tempat ini memiliki terlalu banyak kesedihan buat aku. Buat Aluna juga pastinya. Kalo aku tetap berada disini. Aku gak akan bisa sembuh. Bisa maafin kamu dan temen-temen aja sulit, Bintang. Tapi untungnya aku bisa berdamai dengan kalian."

TITIK LUKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang