15. Drama

186 50 201
                                    

...

"Nggak usah sok polos, pembunuh."

Shilla tertegun mendengar penuturan itu. Wajahnya memucat diikuti mata melebar, dia memandang Alvin dengan sorot tidak percaya.

"Kenapa, hm?" Alvin menyunggingkan senyum sinis saat melihat perubahan raut wajah Shilla. "Kaget karena gue bisa tau kebusukan lo? Pasti kaget, sih, ya."

Shilla menggeleng sambil mengibaskan tangan didepan dada. "Aku bukan pembunuh!!" bentaknya lirih.

Alvin tidak menggubris ucapan Shilla, cowok itu malah mengangguk seraya terkekeh kecil. "Gue kasih tau Fikri asik kali, ya?"

"Fikri nggak akan percaya sama kamu, karena dia sayang banget sama aku."

Alvin mendengus geli. "Percaya diri banget, sih, mbaknya."

Perkataan Alvin yang terkesan menyudutkan itu membuat Shilla semakin terbakar emosi. Gadis dengan rambut sebahu itu menggeram marah. "Aku bukan pembunuh, Alvin."

"Oh, ya?" Alvin beranjak.

Sebelum benar-benar pergi, dia mendekatkan bibirnya pada telinga Shilla dan berbisik, "dari dulu gue selalu nahan-nahan diri buat nggak nyingkirin lo karena ada Fikri. Sekali aja lo buat Fikri sakit hati, pawang lo udah nggak ada lagi."

Lagi. Perkataan Alvin lagi-lagi berhasil membuatnya terkejut. Shilla meneguk ludah gugup. Matanya menatap kosong.

Menyakiti Fikri? Apa dia sudah mengambil jalan yang salah sekarang?

Fikri benar-benar menuju kantin. Dia tidak berbohong ketika mengatakan bahwa dia akan membelikan Shilla minuman. Pacarnya itu terlihat sangat kelelahan. Peluh mengalir deras membasahi dahinya, menetes ke mata. Terlihat menyedihkan.

Cowok itu menunduk. Menatap botol minuman berperisa jeruk ditangannya dengan perasaan hampa.

Fikri mendengus.

Dia membenci hatinya yang selalu saja memanggil nama Shilla. Dia benci saat hatinya merasa iba begitu melihat Shilla. Dia benci ketika Shilla masih memiliki tahta tertinggi di hatinya.

Mata biru Fikri menggelap. Tidak seharusnya begini. Dia tahu ini salah. Tetapi hatinya sendiri yang memilih melawan arah.

Lelaki itu kembali mendongak. Meluruskan pandangan. Alisnya sedikit terangkat kala melihat seorang cowok yang sedang berjalan sendirian.

"Woy!"

Yang merasa terpanggil menghentikan langkah. Menatap lawan bicaranya dingin. Mata kelabunya menyorot tajam. "Kenapa?"

Suara itu mengalun pelan. Tidak tinggi dan tidak rendah. Tetapi jelas, ada emosi yang laki-laki itu berusaha tahan. Fikri mengerutkan kening. Apakah masalah dirumah sakit waktu itu masih mengusiknya?

"Lo yang kenapa?!" tanya Fikri nyolot. Dia memperhatikan sekeliling sebelum akhirnya kembali menatap Kenan. "Ini kawasan anak IPS, lo kenapa kesini?" mata Fikri menyipit.

Kenan hanya mengangkat bahu acuh sambil merotasikan mata dengan malas. "Gue mau liat-liat aja."

Tatapan Fikri semakin mengintimidasi. Dia terkekeh hambar. "Alasan lo nggak masuk akal Kenan,"

"... lo kira gue bocah lima tahun yang akan langsung percaya dengan apa yang lo bilang?" ujar Fikri melanjutkan.

"Gue nggak minta lo percaya."

Kenan berlalu begitu saja. Mematri langkah menuju gedung IPA. Meninggalkan Fikri yang masih menatap punggungnya. Ada hal janggal di dalam benak Fikri.

Memilih tidak ikut campur terlalu dalam, Fikri bergegas cepat menuju kelasnya. Dia menghampiri Shilla yang sedang duduk dengan kaku.

RepasΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα