07. Terbelenggu

260 72 56
                                    

Matahari mengintip malu-malu dari ufuk timur. Cahaya hangatnya bahkan baru terlihat seujung kuku. Tetapi seorang Kiara Chira, untuk pertama kalinya, sudah siap dengan seragam sekolah.

"Ma? Kia masuk ya?" ujar Kia sambil membuka pintu kamar Nisa, mamanya. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyum tipis.

"Ma?"

"Eh? Kenapa Ki?"

"Kia mau izin berangkat sekolah."

Nisa bangkit, mengambil ponsel di atas nakas. "Masih jam enam. Kamu mau pergi sekarang?"

"Iya."

"Kenan mana?" Kia menggeleng.

"Marahan?" Kia mengangkat bahu acuh. Nisa mengulas senyum tipis. Dia tahu kalau Kia dan Kenan sedang tidak baik-baik saja. Karena nyatanya sejak dulu pasangan itu selalu bersama-sama. Maka jika sekarang Kia ingin pergi sekolah sendiri, pasti ada sesuatu diantara mereka. "Mama anter."

Kia mengangguk, lalu memilih ke dapur dan mengambil beberapa lembar roti untuk sarapan.

"Kia, ayo."

Ketika membuka pintu rumah, mata mereka terbelalak. Bagaimana tidak? Seorang Kenan sedang meringkuk kedinginan di teras rumah mereka. Kia segera berjongkok, menggoyangkan pundak Kenan beberapa kali hingga mata lelaki itu sedikit terbuka. Kenan menatap Kia dengan perasaan kebas. "K-kiara,"

Kia menggigit bibir bawahnya. Dia mendongak menatap Mamanya yang memasang wajah acuh. "Itu pacar kamu, urus sendiri!" ujar Nisa tidak peduli lalu meninggalkan Kia dan Kenan.

"Kia," Kenan memanggil parau. Gadis itu menunduk, memandangnya dengan sorot kecewa. "Maaf," ucap Kenan bergetar. Seluruh badannya remuk akibat tidur di lantai semalaman. Dia memutuskan tidur di teras rumah Kia. Padahal rumahnya tepat berada di depan rumah gadis itu. Ini demi menebus kesalahan dengan Kia-nya.

"Nanti aja ngomongnya."

Kia membantu Kenan berdiri. Badan cowok itu panas. Demam. Dia memapah Kenan hingga ke dalam dan mendudukkan cowok itu di sofa. Kia meninggalkan Kenan sebentar lalu kembali lagi sambil membawa nampan berisi segelas teh hangat serta beberapa lembar roti dengan selai coklat.

"Makan, terus istirahat dikamar. Obat penurun panas nya habis. Aku nggak sempat beli, aku mau sekolah."

Kia berlalu. Untuk pertama kalinya, dia meninggalkan Kenan sendiri. Bahkan disaat kondisi tubuhnya sedang tidak baik-baik saja.

Kenan tersenyum getir. Menatap nanar punggung mungil yang semakin mengecil di matanya.

"Astagfirullah."

Fikri buru-buru menghentikan mobilnya. Dia melangkah lebar menghampiri perempuan yang sudah tergeletak beberapa meter dari tempatnya berdiri. Perempuan itu,

"... Kia!"

Dengan tergesa, Fikri menggendong Kia masuk kedalam mobil. Gadis itu menyebrang tiba-tiba membuat mobil Fikri yang melaju dengan kecepatan tinggi tidak sempat mengerem. Alhasil, Kia tertabrak dan sekarang pingsan. Kepala gadis itu terluka dan mengeluarkan cukup banyak darah.

"Sorry, Kia, sorry."

Fikri terus menggumamkan kata maaf. Cowok itu menyetir dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menggenggam tangan Kia yang terasa dingin.

Sampai dirumah sakit, Kia langsung dilarikan ke UGD. Rasa bersalah menggerogoti hati Fikri. Dia memegang ponsel Kia dengan perasaan hampa.

RepasUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum